Seiring dengan proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat (RUU PPHMHA), berlangsung juga proses penyusunan dan pembahasan RUU KUHP yang mengakomodasi hukum adat secara lebih tegas agar tidak dipertentangkan dengan asas legalitas. Asas legalitas merupakan asas yang paling penting dalam hukum pidana. Dari perspektif hukum positif (ius constitutum) asas legalitas diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang merupakan asas legalitas, formal. Pada RUU KUHP, dikaji dari perspektif ius constituendum asas legalitas baik legalitas formal dan legalitas materiil yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP yang menyatakan: “tidak satu perbuatan pun dapat dikenai sanksi kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.” Selain itu dipertegas pada ayat (2) bahwa dalam menetapkan adanya tindak pidana, dilarang menggunakan analogi.
Meski demikian, dipersyaratkan bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut berlaku sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), hak asasi manusia, dan asas- asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab dan dalam tempat hukum itu hidup. Lahirnya pengakuan terhadap keberadaan hukum yang hidup di masyarakat (hukum adat) merupakan langkah positif untuk merespon kenyataan hukum di Indonesia yang sebagian masih menggunakan tata cara penyelesaian sengketa secara damai melalui hukum yang hidup di tengah masyarakat mereka sendiri (Muhammad Koesno, 1971: 551). Hal ini dapat dilihat dari hukum adat yang menempatkan kepala adat sebagai penengah dan memberi putusan adat bagi sengketa di antara warga. Berbagai suku bangsa di Indonesia mempunyai budaya penyelesaian sengketa secara damai, misalnya masyarakat Jawa, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, Dayak, Sumatera Selatan, Lampung, Lombok, Irian Jaya, dan masyarakat Toraja.
Diakuinya hukum yang hidup dalam masyarakat membawa konsekuensi logis bahwa pembentuk RUU KUHP harus menarik hukum tidak tertulis menjadi hukum formal. Hal ini membuat penegakan hukum yang hidup dalam masyarakat akan dilakukan oleh negara melalui sub sistem peradilan pidana. Dengan adanya dasar hukum yang tegas mengakui eksistensi hukum yang hidup (hukum pidana adat) maka tugas, tanggung jawab dan beban relatif lebih berat kepada aparat penegak hukum, terutama hakim untuk lebih dapat memahami dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hakim harus benar-benar memahami perasaan masyarakat, keadaan masyarakat, terlebih masyarakat Indonesia yang majemuk dengan pelbagai macam adat istiadat, tradisi dan budaya yang berbeda-beda, yang tetap dipertahankan sebagai hukum yang hidup. Mata, pikiran dan perasaan hakim harus tajam untuk dapat menangkap apa yang sedang terjadi dalam masyarakat, agar supaya keputusannya tidak kedengaran sumbang (Soedarto, 1983: 81). Hakim dengan seluruh kepribadiannya harus bertanggung jawab atas kebenaran putusannya baik secara formal maupun materiil.
Seiring dengan proses tersebut, untuk dapat memahami dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, maka hakim perlu dibantu oleh sebuah panduan praktis berupa kompilasi hukum pidana adat agar pemahaman dan penggalian hukum adat untuk diterapkan dalam putusan dapat berlangsung lebih cepat dan mengandung kepastian hukum. Oleh karena itu maka perlu untuk segera menyusun Kompilasi Hukum Pidana Adat yang sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) RUU KUHP, yaitu: pertama, nyata-nyata hidup dalam masyarakat; kedua, sesuai dengan nilai- nilai yang terkandung dalam Pancasila; ketiga, sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945; keempat, selaras dengan hak asasi manusia; dan kelima, selaras dengan asas- asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab. Kompilasi ini pada dasarnya merupakan re-identifikasi hukum adat dan sekaligus verifikasi terhadap hukum nasional.
Arfan Faiz Muhlizi (Analis Hukum di Badan Pembinaan Hukum Nasional)
Penulis
Irfan
Oka Septa Tinambunan
Sayyida Nucha Aulia
BONDAN EKA NUGRAHA