Rencana Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang- Undang (UU No. 1 Tahun 2015) dianggap oleh banyak pihak akan berpotensi mempersulit calon perseorangan dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada). Hal ini sebagaimana dikatakan oleh para relawan pendukung calon perseorangan yang berkeinginan maju dalam Pilkada di Tahun 2017. Para relawan tersebut berasumsi bahwa rencana perubahan kedua UU No. 1 Tahun 2015 memiliki muatan politis untuk mengganjal calon yang didukungnya sehingga mengakibatkan syarat calon yakni sejumlah kartu tanda penduduk yang telah terkumpul menjadi sia-sia (https://m.tempo.co/read). Apakah benar revisi tersebut adalah upaya untuk menjegal atau mempersulit calon perseorangan dalam Pilkada?
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007
Selama lebih dari 1 (satu) dekade lamanya pengaturan mengenai Pilkada dijalankan berdasarkan pengaturan yang terdapat dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 32 Tahun 2004). Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam Pasal 59 ayat (1) disebutkan bahwa “Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan Secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”. Hal ini menujukkan bahwa sejatinya dalam UU No. 32 Tahun 2004 mekanisme pengusulan pasangan calon Pilkada hanya dilakukan oleh parpol atau gabungan parpol yang diambil berdasarkan pertimbangan bahwa mekanisme demokrasi yang dibangun di Indonesia adalah berdasarkan basis parpol dan bukan perseorangan.
Adapun yurisprudensi lahirnya pengaturan mengenai calon perseorangan calam Pilkada adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 (Putusan MK No. 55/PUU-V/2007) dimana Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pencalonan secara perseorangan sebagaimana telah lebih dahulu diatur dalam Pasal 67 Ayat (2) Undang-Undang
UU No. 1 Tahun 2015 pun membuka peluang bagi calon untuk dapat maju lewat jalur perseorangan. Namun terdapat penyempurnaan pengaturan mengenai calon perseorangan dalam perubahan atas UU No. 1 tahun 2015 yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan
Hal ini juga merupakan upaya untuk mendorong keseriusan calon perseorangan agar dapat membuktikan bahwa dirinya mendapatkan dukungan yang signifikan oleh masyarakatnya. Kebijakan ini diambil karena tidak jarang juga dalam praktik pelaksanaan Pilkada selama kurang lebih 1 (satu) dekade ini dukungan masyarakat yang didapat untuk maju sebagai calon diragukan keasliannya (sering terjadi dukungan ganda). Sehingga syarat yang tadinya diharapkan dapat menjadi dasar legitimasi dukungan bagi seseorang yang berniat untuk maju, justru berdampak sebaliknya.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XIII/2015
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XIII/2015 (Putusan MK No. 60/PUU-XIII/2015) diajukan oleh M. Fadjroel Rachman, Saut Mangatas Sinaga, dan Victor Santoso Tandjasa (Para Pemohon) dalam Perkara Nomor 60/PUU- XIII/2015 yang menguji Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2015 karena dianggap telah merugikan hak konstitusional yang dimiliki oleh Para Pemohon. Mahkamah Konstitusi pun pada akhirnya dalam putusannya mengubah norma terkait syarat dukungan calon perseorangan sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d yang semula menggunakan acuan “jumlah penduduk” menjadi berdasarkan “daftar pemilih tetap”. Adapun dalam Pertimbangan Hukum alinea terakhir dari Putusan ini, Mahkamah menyatakan sebagai berikut: “Bahwa mengingat tahapan-tahapan pemilihan kepala daerah telah berjalan, sementara putusan Mahkamah tidak berlaku surut (non-retroactive), agar tidak menimbulkan kerancuan penafsiran maka Mahkamah penting menegaskan bahwa putusan ini berlaku untuk pemilihan kepala daerah serentak setelah pemilihan kepala daerah serentak Tahun 2015”. Sehingga walaupun putusan ini diucapkan tanggal 29 September 2015, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa hal ini baru bisa berlaku untuk Pilkada serentak setelah 9 Desember 2015 yakni Pilkada serentak pada 15 Februari 2017.
Perubahan kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 merupakan salah satu dari 40 (empat puluh) judul rancangan undang- undang pada daftar Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2016 (Prolegnas Prioritas Tahun 2016). Perubahan kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 ini pun merupakan keniscayaan, hal ini dikarenakan pasca UU No. 8 Tahun 2015 diundangkan pada tanggal 18 Maret 2015 sampai terlaksananya Pilkada serentak untuk pertama kalinyapada tanggal 9 Desember 2015, telah terjadi 25 (dua puluh lima) gugatan untuk UU No. 8 Tahun 2015 ke Mahkamah Konstitusi dimana terdapat 7 (tujuh) gugatan diantaranya dikabulkan. Salah satu gugatan yang dikabulkan adalah terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU- XIII/2015 yang juga oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan berlaku untuk Pilkada setelah 9 Desember 2015. Perubahan undang-undang dikarenakan Putusan Mahkamah Konstitusi pun sesuai dengan pengaturan dalam Pasal 10 ayat
Sehingga jika hal ini kembali dihubungkan dengan asumsi yang ada saat ini dikarenakan sudah semakin dekatnya perhelatan Pilkada serentak untuk tahun
Achmadudin Rajab (Tenaga Fungsional Perancang Undang-Undang dengan pembidangan Politik, Hukum, dan HAM di Pusat Perancangan Undang-Undang pada Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia)
Penulis
Irfan
Oka Septa Tinambunan
Sayyida Nucha Aulia
BONDAN EKA NUGRAHA