Kunjungan delegasi FIFA-AFC telah usai dan merekomendasikan pembentukan tim ad-hoc yang bertugas melakukan reformasi persepak bolaan di Indonesia. FIFA menghendaki bahwa tim ad-hoc harus diisi oleh stakeholders sepak bola Indonesia termasuk perwakilan PSSI dan pemerintah. Inilah yang menarik, karena pemerintah melalui kemenpora dan tim transisi (baca: negara) selalu menolak keterlibatan PSSI dalam proses pembenahan sepak bola di negeri ini, terlebih pemerintah pun tak mengakui kepengurusan PSSI dan “membekukan” kegiatan PSSI, seolah PSSI memang tak eksis di hadapan pemerintah. Pasca rekomendasi FIFA terkait pembentukan tim ad hoc, kini pemerintah harus berdialog, berkomunikasi, dan bekerjasama dengan PSSI yang selama ini mereka anggap tak ada.
Hukum Komunitas
Sistem FIFA adalah sistem yang mengikat komunitasnya, termasuk didalamnya segala aturan hukum yang bersifat transnasional. Hukum transnasional dibentuk oleh komunitas internasional yang bukan negara (international society) dan berlaku bagi komunitasnya melintasi batas-batas wilayah negara secara administratif, dalam konteks sepak bola kita mengenalnya dengan istilah statuta FIFA. Perlu dibedakan sanksi FIFA terhadap PSSI dan sanksi pemerintah pemerintah terhadap PSSI. FIFA resmi menjatuhkan sanksi kepada PSSI karena dianggap tak mampu menjaga kewibawaan dan kedaulatan sepakbola di Indonesia terkait ketidakmampuan PSSI untuk independen dari intervensi pemerintah. Sejatinya inilah yang disebut “pembekuan”, karena yang dapat membekukan PSSI sebagai federasi adalah organ di atasnya-dalam hal ini FIFA, sementara apa yang dilakukan oleh kemenpora terhadap PSSI kurang tepat jika dikatakan sebagai “pembekuan”, tindakan kemenpora lebih tepat disebut tindakan sepihak dari state terhadap federasi.
Pasca sanksi FIFA, kemenpora merasa mereka berhak mengambil alih kewenangan sepakbola, sedangkan PSSI tetap mempertahankan eksistensi mereka, karena sesungguhnya sanksi FIFA bukan tidak mengakui federasi, namun menunda keanggotaan mereka hingga dianggap sesuai dengan statuta FIFA (dalam hal ini pasal 13 dan 17 statuta FIFA), sanksi tersebut hanya membatasi ruang gerak dan eksistensi PSSI dengan komunitas sepakbola FIFA lainnya, namun terkait urusan internal dalam negeri maka PSSI berwenang penuh, begitupun terkait kepengurusan PSSI, FIFA hanya mengenal kepengurusan hasil kongres yang menjadikan La Nyalla Mattalili sebagai ketua PSSI, tak peduli walau pemerintah tak mengakuinya.
Dalam beberapa kasus, FIFA bukannya anti sama sekali dengan negara, mereka menerima penjelasan logis dan selama keterlibatan negara tidak dalam rangka intervensi. Bahkan kali ini FIFA justru memberi kesempatan bagi negara untuk “masuk” dan terlibat, hal ini mengindikasikan bahwa sesungguhnya FIFA pun mengakui bahwa kondisi PSSI tidak ideal dan tak sepenuhnya sesuai dengan ekspektasi FIFA berdasar statuta.
FIFA sehingga perlu didampingi oleh negara, namun di lain pihak FIFA tetap konsisten dengan statuta mereka dengan hanya mengakui PSSI kepengurusan La Nyalla Mattaliti sekaligus menekankan bahwa dengan terlibatnya PSSI lah maka proses reformasi sepak bola Indonesia mendapat legitimasi FIFA.
Saling Melengkapi
Hasil rekomendasi FIFA menunjukkan satu hal penting, bahwa sesungguhnya kewenangan yang dimiliki oleh federasi dan negara tidaklah harus selalu diperhadapkan, termasuk hukum negara dan hukum FIFA, keduanya justru harus saling melengkapi dan tidak saling meniadakan, terlebih begitu banyak aspek di mana sepak bola justru membutuhkan aturan negara untuk mewujudkan terselenggaranya sepak bola profesional, seperti aturan hukum tentang pajak, keimigrasian bagi pemain asing, ketentuan badan hukum bagi klub sepak bola dsb. Itikad baik benar-benar harus ditunjukkan oleh kedua pihak jika ingin menjadikan pembentukan tim ad hoc ini sebagai momentum reformasi sepak bola Indonesia. Jangan lupakan juga bahwa sesungguhnya FIFA dan Republik ini beririsan terkait salah satu tujuan mulia mereka yaitu memajukan kesejahteraan umum.