Pemberitaan dugaan pengaturan skor terkait pertandingan sepak bola menghiasi headlline media beberapa waktu terakhir ini, membuat publik seakan-akan dikenalkan dengan fenomena baru dalam sepak bola, padahal ini telah berlangsung lama, tak hanya di Indonesia, bahkan negara kiblat sepak bola seperti Italia pun sempat menjadi sorotan dengan skandal calciopolli serie A sekitar satu dekade lampau. Suap dan pengaturan skor yang populer dengan istilah match fixing seakan menjadi momok dalam sepak bola profesional.
Motif utama terkait pengaturan skor adalah uang, sindikat judi bermodal besar berani membuat skenario terkait suatu hasil pertandingan karena mereka memiliki banyak uang untuk bermain dibanyak titik. Namun harus dipahami bahwa selama tak memenuhi unsur-unsur tertentu yang diatur secara pidana maka suatu pengaturan skor tak dapat dimasukkan kategori kejahatan/kriminal namun tetap saja mencederai fairplay, karena ada juga pengaturan skor yang motifnya bukan uang tetapi murni strategi untuk menghindari/memilih lawan dan sebagainya. Kejelasan motif menjadi sangat penting dalam pengusutan pengaturan skor, karena sepanjang tak memenuhi unsur delik pidana maka urusan sanksi hanya sebatas ada di tangan komisi disiplin (komdis), komisi banding (komding) dan komisi etik PSSI. Begitupun sebaliknya, ketika proses penyelidikan dan penyidikan menemukan fakta lain yang melibatkan pihak-pihak di luar football family seperti bandar judi, mafia dan lain- lain maka federasi tak dapat menjangkaunya dan harus menggandeng aparat penegak hukum (baca: negara) untuk memberantasnya. Kolaborasi seperti ini memang perlu komitmen dan itikad baik dari federasi juga negara seperti apa yang FIGC (PSSI-nya Italia) tunjukkan ketika membongkar kasus calciopolli, ketika terindikasi ada suap- menyuap dan pengaturan skor di serie A maka FIGC menjalankan perannya, menjerat para pelaku di lingkaran football family dengan sanksi-sanksi seperti skorsing, hukuman degradasi dan sebagainya. Tak cukup sampai disitu, ketika terbukti memenuhi unsur pidana yang merupakan yurisdiksi negara, maka federasi pun membuka akses yang seluas-luasnya bagi aparat kepolisian dan kejaksaan untuk melaksanakan tugasnya. Lain di Italia lain juga di Indonesia, beberapa kasus yang terkuak dan nyata terbukti, ketika berada dalam jangkauan negara justru dibiarkan berlalu, terbaru tentu saja terkait Johan Ibo yang tertangkap tangan saat berupaya melakukan suap kepada salah satu tim yang akan bertanding di Surabaya beberapa waktu lalu, sungguh mengejutkan ketika aparat kepolisian justru melepasnya dengan alasan tak ada aturan yang dapat menjerat Johan Ibo. Contoh lain ketika skandal mafia wasit di era Djafar Umar terkuak, meski jelas terbukti dan telah memasuki tahap pemeriksaan oleh aparat namun tiba-tiba kasus ini menguap begitu saja, terlebih saat itu belum ada media sosial dan media online sehingga informasi terkait perkembangan begitu minim dan sulit didapat. Alasan pihak berwenang ketika tak melanjutkan kasus mafia wasit Djafar Umar pun sama, yaitu tak ada aturan hukumnya, benarkah demikian? Membuat kita bertanya-tanya, ada apa dengan sistem pidana di negeri ini?mengapa tak berdaya untuk menjerat para pelaku suap dan pengaturan skor lapangan hijau?
Otoritas negeri ini seakan menganggap pemecatan, skorsing dan sanksi-sanksi administratif saja sudah cukup, padahal terkait suap menyuap sebenarnya diatur juga di KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)atau jika ingin lebih spesifik maka dapat kita lihat ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap. Suatu tindakan dapat dipidana jika termasuk dalam delik pidana, suatu delik haruslah memenuhi unsur-unsur tertentu, dan penyuapan terkait pengaturan skor memenuhi syarat tersebut jika kita melihat ketentuan pasal 2, pasal 3, dan pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 yang secara garis besar menyatakan bahwa adalah termasuk tindak pidana kejahatan barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, serta menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum.
Terlebih dalam penjelasan pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "kewenangan dan kewajibannya" termasuk kewenangan dan kewajiban yang ditentukan oleh kode etik profesi atau yang ditentukan oleh organisasi masing- masing. Kode etik profesi ini tentunya mengikat para pemain yang masuk kategori berprofesi pemain sepak bola, dan mereka yang terlibat suap jelas-jelas melanggar pula ketentuan dan etik yang ditetapkan oleh organisasi-baca: federasi dari tingkat nasional hingga pusat (FIFA).
Entah mengapa aparat berwenang selalu beralasan ketiadaan hukum untuk menjerat para pelaku suap sepak bola, padahal pada kenyataannya Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1980 masih eksis dan berlaku sebagai hukum positif di negeri ini. Mungkin saja karena selama ini tindak pidana suap seringkali dikaitkan dan mengacu kepada Undang-Undang tindak pidana korupsi yang tentu saja unsur-unsur deliknya berbeda, sehingga terdapat “kecelakaan berpikir” bahwa suap dalam sepak bola tidak dapat dipidana karena tak memenuhi unsur “merugikan keuangan negara” sebagaimana diatur dalam Undang- Undang tipikor. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 menjadi harapan untuk menjerat para pelaku yang terbukti terlibat dalam pengaturan skor sepak bola, namun mengingat usia Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 yang cukup tua-seperti sanksi maksimal dengan nominal belasan juta yang dirasa sangat ringan di era sekarang, sementara modus operandi match fixing terus berkembang maka terobosan-terobosan dan penemuan hukum/rechtsvinding utamanya yang dilakukan para hakim menjadi sangat penting karena dapat dijadikan preseden dikemudian hari, terlebih Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman menjamin hak dan kewajiban hakim untuk menemukan hukum dalam setiap putusannya.
Eko Noer Kristiyanto (Peneliti Hukum Olahraga di Badan Pembinaan Hukum Nasional-Kementerian Hukum dan HAM RI)
Penulis
Irfan
Oka Septa Tinambunan
Sayyida Nucha Aulia
BONDAN EKA NUGRAHA