Anak-anak Rohingya yang ikut orang tuanya mengungsi di Aceh saat ini sedang dan terancam mengalami gizi buruk, diare, dehidrasi akut, dan penyakit lainnya. Hal lain yang juga mengancam anak-anak adalah rawan terjadi kekerasan karena tidak adanya sistem perlindungan anak di lokasi pengungsian. Hal ini disampaikan oleh Yayasan KKSP berdasarkan pemantauan yang mereka lakukan di lokasi pengungsian Rohingya di Lhokseumawe, Aceh Timur, dan Aceh Utara. [http://www.ham.go.id/berita/nasib-anak-anak-dan-perempuan-pengungsi-rohingya-di-aceh.html]
Hasil pendataan yang dilakukan Badan PBB Untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) mengungkapkan dari total 1.001 pengungsi etnis Rohingya asal Myanmar yang tersebar di beberapa kamp penampungan di Aceh, 374 di antaranya adalah anak-anak tanpa orang tua. "Fakta yang kita temukan ini cukup memprihatinkan karena anak-anak tersebut tidak didampingi oleh orang tua mereka. Mereka yang menjadi prioritas perhatian kami untuk segera ditangani," kata Jeffrey Savage, petugas senior Urusan Perlindungan UNHCR. [http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/06/03/npdiyt-sebanyak-374-anakanak-rohingya-di-aceh- tanpa-orang-tua]
Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak mampu bertanggung jawab dalam keberlangsungan bangsa dan negara, setiap anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial. Untuk itu, perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa perlakuan diskriminatif.
Dalam Konvensi Internasional tentang Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) sebagaimana telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak Anak) diatur mengenai hak-hak anak. Konvensi tentang Hak Anak tersebut merupakan instrumen paling terkemuka dari semua instrumen tambahan karena secara inheren anak sangat rentan disebabkan alasan fisiologis, anak-anak bergantung pada orang lain untuk kelangsungan hidup mereka dengan cara yang tidak dapat dibandingkan dengan kelompok lain. Anak juga dapat menderita pelanggaran sekunder Hak Asasi Manusia (HAM) apabila hak atas pemelihara utama (primary carier) mereka dilanggar.
Anak-anak Rohingnya termasuk yang dijamin dan dilindungi hak-haknya berdasarkan Konvensi tentang Hak Anak. Yang dimaksud dengan anak dalam Konvensi tentang Hak Anak adalah setiap orang yang belum mencapai usia 18 tahun. Hal tersebut juga tercantum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Oleh karena itu anak-anak Rohingya yang ada di Indonesia berhak atas perlindungan diri mereka dari tindakan kekerasan dan diskriminasi.
Berkenaan dengan status anak Rohingya, berdasarkan Pasal 22 Konvensi tentang Hak Anak dinyatakan:
1. Negara-negara pihak harus mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin bahwa seorang anak yang sedang mencari status pengungsi atau yang dianggap sebagai pengungsi, sesuai dengan hukum dan prosedur internasional atau domestik yang berlaku, apakah tidak diikuti atau diikuti oleh orang tuanya atau oleh orang lain manapun, harus menerima perlindungan yang tepat dan bantuan kemanusiaan dalam perolehan hak-hak yang berlaku yang dinyatakan dalam Konvensi ini dan dalam instrumen hak-hak asasi manusia atau kemanusiaan internasional yang lain, dimana negara-negara tersebut merupakan pesertanya;
2. Negara-negara pihak harus menyediakan, seperti yang mereka anggap tepat, kerjasama dalam usaha apapun oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi antar pemerintah yang berwenang, atau organisasi non pemerintah yang bekerja sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melindungi dan membantu seorang anak semacam itu dan melacak setiap orang tua atau anggota keluarga yang lain dari pengungsi anak, agar dapat memperoleh informasi yang diperlukan untuk melaksanakan repatriasi dengan keluarganya. Dalam kasus apabila orang tua atau para anggota kelularga lainnya sama sekali tidak dapat ditemukan maka anak tersebut harus diberi perlindungan yang sama seperti anak lainnya, yang secara tetap atau sementara dicabut dari lingkungan keluarganya karena alasan apa pun seperti yang dinyatakan dalam Konvensi itu.
Indonesia sebagai negara pihak pada Konvensi tentang Hak Anak sudah sepatutnya melaksanakan ketentuan Pasal 22 Konvensi tersebut. Anak-anak Rohingya di Indonesia yang statusnya dianggap sebagai pengungsi ataupun yang sedang mencari statusnya tetap dilindungi hak-haknya dan diberikan bantuan kemanusiaan. Penentuan status seseorang dikategorikan sebagai pengungsi dilakukan oleh United Nations of High Commisssion for Refugees (UNHCR) terkait pemenuhan unsur-unsur pengungsi yang tercantum dalam Konvensi tentang Status Pengungsi Tahun 1951. UNHCR bertanggungjawab memberi perlindungan kepada pengungsi. Berkenaan dengan kewajiban negara Indonesia, berdasarkan Pasal 22 ayat (2) Konvensi tentang Hak Anak, Indonesia dapat melakukan kerjasama antara lain dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam hal ini UNHCR, Kementerian Sosial, organisasi antar pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat baik dalam negeri maupun luar negeri, pemerintah daerah, dan juga negara-negara ASEAN terkait pemenuhan hak anak-anak Rohingnya.
Berkenaan dengan hak anak-anak Rohingnya salah satunya terdapat dalam Pasal 20 Konvensi tentang Hak Anak menyatakan:
1. Seorang anak yang secara sementara atau tetap dicabut dari lingkungan keluarganya, atau yang demi kepentingannya sendiri yang terbaik tidak diperkenankan tetap berada di lingkungan tersebut, berhak atas perlindungan khusus dan bantuan yang disediakan oleh negara.
2. Negara pihak sesuai dengan undang-undang nasional mereka harus menjamin pengasuhan alternatif bagi seorang anak semacam itu.
3. Perawatan tersebut dapat mencakup antara lain penempatan orang tua anak, kafalah dalam hukum Islam, adopsi, atau kalau perlu penempatan dalam lembaga yang tepat untuk pengasuhan anak. Ketika mempertimbangkan penyelesaian-penyelesainnya maka harus diberikan perhatian yang semestinya pada keinginan yang berkesinambungan dalam pendidikan seorang anak dan etnis, agama, latar belakang budaya dan linguistik anak.
Negara pihak mengakui dan atau memperkenankan sistem adopsi harus menjamin bahwa kepentingan terbaik anak merupakan pertimbangan terpenting dan mereka harus:
a. Menjamin adopsi seorang anak disahkan hanya oleh para penguasa berwenang yang menetapkan, sesuai dengan undang-undang dan prosedur yang berlaku berdasarkan semua informasi yang berhubungan dan dapat dipercaya, bahwa adopsi diperkenankan menurut status anak mengenai orang tua, saudara-saudara, dan wali hukum dan bahwa jika dipersyaratkan, orang-orang yang bersangkutan telah memberikan persetujuan adopsi berdasarkan konseling sebagaimana yang mungkin diperlukan;
b. Adopsi antar negara dapat dianggap sebagai cara alternatif pengasuhan anak, jika anak tidak dapat ditempatkan dalam asuhan orang tua angkat atau keluarga adoptif atau dalam setiap cara yang cocok tidak dapat diasuh di negara asal si anak;
c. Menjamin bahwa adopsi anak antar-negara memperoleh perlindungan yang standar yang sepadan dengan perlindungan dengan standar yang ada dalam kasus adopsi nasional;
d. Megambil semua langkah yang tepat untuk menjamin bahwa dalam adopsi antar-negara, penempatannya tidak berakibat dalam penghasilan keuangan yang tidak cocok bagi yang terlibat di dalamnya;
e. Meningkatkan, apabila tepat, tujuan-tujuan ini dengan membuat peraturan atau persetujuan bilateral atau multilateral dan berusaha di dalam kerangka kerja ini, menjamin bahwa penempatan si anak di negara lainnya dilaksanakan oleh para penguasa atau organ-organ yang berwenang.
Selain itu Pasal 24 ayat (1) Konvensi tentang Hak Anak dinyatakan negara pihak mengakui hak anak atas penikmatan standar kesehatan yang paling tinggi dapat diperoleh dan atas berbagai fasilitas untuk pengobatan penyakit dan rehabilitasi kesehatan. Negara pihak harus berusaha menjamin bahwa tidak seorang anak pun dapat dirampas haknya atas akses ke pelayanan perawatan kesehatan tersebut. Kemudian dalam Pasal 35 Konvensi tentang Hak Anak dinyatakan bahwa negara pihak harus mengambil semua langkah nasional, bilateral dan multilateral yang tepat untuk mencegah penculikan, penjualan atau perdagangan anak-anak untuk tujuan apa pun atau dalam bentuk apa pun.
Negara pihak mengakui bahwa tiap-tiap anak mempunyai hak yang melekat pada kehidupan (Pasal 6 ayat (1) Konvensi tentang Hak Anak). Indonesia sebagai negara pihak pada Konvensi tentang Hak Anak sudah sepatutnya melaksanakan semua ketentuan yang ada dalam Konvensi. Anak harus memiliki hak atas kebebasan mengeluarkan pendapat, hak ini mencakup kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan semua macam pemikiran tanpa memperhatikan pembatasan baik secara lisan, dalam bentuk tertulis maupun cetak, dalam bentuk seni, atau melalui media apapun pilihan anak (Pasal 13).
Penghormatan dan perlindungan HAM di Indonesia telah diakui secara yuridis formal. Negara Indonesia sangat menjunjung tinggi termasuk di dalamnya hak asasi anak dengan adanya jaminan perlindungan dan pemenuhan hak anak dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai tindak lanjut dari penghormatan dan perlindungan HAM maka telah dibentuk Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang di dalamnya juga mengatur mengenai hak anak. Selain UU HAM, terdapat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan baik yang bersifat nasional maupun internasional memberikan perlindungan hak anak.
Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati pemenuhan Hak Anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan/atau mental (Pasal 21 ayat (1)). Selain itu setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi (Pasal 16 ayat (1)). Demikian pula halnya berkenaan dengan hak anak, dalam UU HAM secara khusus terdapat pengaturan mengenai hak anak yang tercantum dari Pasal 52 sampai dengan Pasal 66. Dengan adanya ketentuan tersebut maka pemenuhan hak anak berlaku pula untuk anak-anak Rohingya yang berada di Indonesia.
HAM mengajarkan prinsip persamaan dan kebebasan manusia sehingga tidak boleh ada diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap manusia yang harus diletakkan pada prinsip kebebasan yang bertanggungjawab dan penghormatan terhadap hak-hak orang lain. Demikian pula halnya dengan anak-anak rohingya yang secara hukum harus dihormati hak-haknya sebagai manusia yang bebas. Pemenuhan hak anak-anak Rohingya merupakan kewajiban pemerintah Indonesia sebagai negara pihak pada Konvensi tentang Hak Anak dan juga sebagai negara yang menjunjung tinggi HAM, karena anak-anak Rohingya berhak menikmati HAM dan kebebasan internasional secara penuh yang merupakan hak setiap manusia sejak lahir.
Sebagai negara pihak dalam Konvensi tentang Hak Anak dan juga negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, Indonesia mempunyai kewajiban untuk melakukan berbagai upaya dalam menjamin dan memenuhi hak anak-anak Rohingya antara lain dengan:
a. Membuat sistem perlindungan anak di pengungsian;
b. Melakukan pencegahan agar anak terhindar dari penculikan, penyelundupan, dan penjualan;
c. Menyiapkan sarana dan prasarana untuk memberikan tempat singgah sementara bagi anak-anak Rohingya sambil menunggu proses pendataan dan hasil penilaian dari UNHCR terkait status anak sebagai pengungsi;
d. Menerapkan sistem adopsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. Menempatkan anak-anak yatim piatu Rohingya ke Rumah Perlindungan Sosial Anak (RSPA) yang berada di bawah Kementerian Sosial. Selain itu juga dapat dilakukan dengan menempatkan anak-anak Rohingya di pesantren menyusul adanya sejumlah pesantren di beberapa daerah yang bersedia menampung anak- anak Rohingya; dan
f. Melakukan kerjasama baik secara nasional, bilateral, maupun multilateral terkait pemenuhan hak anak-anak Rohingya.