Kompetisi liga Indonesia (QNB league) musim ini resmi dinyatakan usai oleh PSSI, federasi sepakbola negeri ini menganggap pembekuan PSSI oleh pemerintah adalah sama artinya bahwa kondisi liga nasional tanpa restu dan izin pemerintah sehingga tiada kepastian jadwal dan tak memungkinkan untuk melanjutkan kompetisi QNB league. Pro-kontra bermunculan, sebagian memilih berpikir pintas dan emosional dengan menuding Menpora-Badan Olahraga Profesional (selanjutnya disingkat BOPI) adalah biang keladi dihentikannya kompetisi yang baru berumur dua pekan, sebagian lagi mencoba berpikir jernih bahwa sesungguhnya akar persoalan adalah PSSI yang tak memiliki itikad baik dalam membenahi permasalahan fundamental dalam sepakbola yang bersinggungan dengan kewenangan negara.
Sports Law
Teori pluralisme hukum memandang ada eksistensi sistem hukum ketiga setelah sistem hukum nasional dan sistem hukum internasional, yaitu sistem hukum transnasional. Hukum transnasional dibentuk oleh komunitas internasional yang bukan negara (international society) dan berlaku bagi komunitasnya melintasi batas-batas wilayah negara secara administratif. FIFA sangat tepat untuk mewakili sistem hukum ketiga ini. Lex Sportiva disebut sebagai sistem hukum transnasional (olahraga) dalam wilayah yurisdiksi pengaturan, penyelenggaraan kompetisi sepakbola profesional, serta mekanisme penyelesaian sengketa yang ditimbulkannya. Sistem hukum yang demikian berlaku universal di seluruh dunia dimana sepakbola profesional dipertandingkan.
Pada dasarnya, terdapat dua kelompok sports law (hukum olahraga) yang memiliki cara pandang berbeda dalam melihat bagaimana hukum diberlakukan dalam bidang olahraga, yang terdiri dari (1) Domestic Sports Law dan Global Sports Law; dan (2) National Sports Law dan International Sports Law. Kategori pertama yang kemudian disebut sebagai Lex Sportiva. Domestic Sports Law diartikan sebagai norma hukum yang berlaku secara internal, yang dibuat dan ditaati oleh badan olahraga nasional. Sedangkan, Global Sports Law diartikan sebagai tatanan hukum transnasional dan juga yurisprudensi yang dibuat dan diterapkan oleh federasi olahraga internasional. Kategori kedua terdiri dari National Sports Law dan International Sports Law. National Sports Law didefinisikan sebagai hukum yang dibuat oleh badan parlemen nasional, pengadilan dan lembaga penegak hukum yang secara langsung mempengaruhi peraturan atau tata kelola olahraga atau yang telah dikembangkan untuk menyelesaikan sengketa olahraga. Sedangkan, International Sports Law diartikan sebagai prinsip-prinsip umum atau universal hukum yang merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional.
Lex sportiva merupakan sebuah bentuk lex specialis yang dapat diterapkan dalam dunia olahraga internasional, karena ia bersumber secara langsung dari “konstitusi” yang dibentuk oleh federasi olahraga untuk menjalankan olahraga yang bersangkutan. Lex sportiva adalah serangkaian norma hukum privat yang diambil dari interaksi antara norma-norma hukum olahraga dan prinsip-prinsip umum yang sesuai dengan sistem-sistem hukum negara. Lex sportiva sebagai serangkaian peraturan hukum nasional yang cocok diterapkan untuk membebaskan hukum yang berlaku dalam sengketa-sengketa olahraga dari cengkraman berbagai hukum nasional. Lex sportiva inilah yang dianut dan diusung oleh orang-orang PSSI walau sayangnya seringkali kebablasan dalam menempatkan konteks lex spesialis dalam lex sportiva.
Pembekuan PSSI
Konflik yang terjadi saat ini adalah konflik penegakan hukum nasional vs hukum transnasional, dalam kondisi ideal keduanya harus diimplementasikan dalam konteks dan pemahaman yang benar, rasional, waras, dan penuh itikad baik, karena jika tidak maka hukum nasional dan transnasional yang seharusnya saling melengkapi justru akan berkonflik dan membawa dampak buruk bagi masyarakat.
Sebenarnya “intervensi” pemerintah (baca: negara) via kemenpora dan BOPI kali ini memiliki landasan filosofis-yuridis-sosiologis yang kuat, dengan pertimbangan dan fakta yang sulit dibantah untuk menolak campur tangan pemerintah terhadap penyelenggaraan sepakbola di Indonesia. Alasan-alasan pembenahan dan penundaan liga terkait legalitas badan hukum dan kewajiban pajak misalnya, tentu itu adalah domain kewenangan negara yang tak dapat diganggu gugat, negara berdaulat penuh, terlebih setelah terbitnya UU terkait pajak dan UU Tentang Perseroan Terbatas, sebagai badan hukum berorientasi profit sebagaimana layaknya klub sepakbola profesional. Namun ternyata filosofi ideal ini tak bersambut manis, ditambah lagi perbedaan persepsi antara PSSI-BOPI terkait arema cronus dan persebaya dalam kelayakan mengikuti kompetisi, hingga akhirnya dapat diduga bahwa dua cara berpikir yang berbeda (kemenpora-BOPI yang berorientasi sistem hukum nasional dan PSSI yang berorientasi kepada sistem hukum transnasional-walau seringkali kebablasan) dengan pembenaran masing-masing (yang memang benar) takkan bertemu jika tak ada itikad baik dari PSSI-yang tentu saja dengan pola pikir (yang sering kebablasan) bahwa mereka independen dan acuan utama adalah statuta FIFA, sehingga sebagai komunitas dunia mereka selalu ingin mendapat perkecualian dan menggunakan asas lex specialis secara membabi-buta.
Setelah dilecehkan secara terang-terangan dengan digelarnya dua pertandingan yang melibatkan 2 klub “ilegal” dimata BOPI-kemenpora, akhirnya negara menunjukkan kekuatannya, menpora membekukan PSSI dan tak mengakui segala aktivitasnya di bumi pertiwi Indonesia. Walaupun PSSI menentang, tak mengakui, dan memberi perlawanan seperti apapun namun selama Surat Keputusan Menpora Nomor 01.307 Tahun 2015 itu berlaku maka PSSI memang tak akan leluasa menyelenggarakan event sepakbola apapun di negeri ini, hal ini terkait ekses dari Keputusan Menteri Pemuda dan Olahraga yang memiliki kekuatan hukum dan mengikat secara umum, sehingga berkorelasi pula dengan izin dari pihak kepolisian serta restu dari pemerintah daerah sebagai penguasa teritori tempat diselenggarakannya sepakbola. Dikarenakan kompetisi sepakbola itu berlangsung dan terlaksana di lapangan rumput permainan di setiap wilayah administratif negara tempat kompetisi sepakbola itu dilaksanakan, maka pelaksanaan kompetisi sepakbola itu sendiri juga tunduk kepada sistem hukum nasional negara yang bersangkutan, khususnya pengaturan yang relevan dengan proses perizinan, oleh karena itu tak ada pertandingan sepakbola-resmi tanpa izin negara. Walau jitu untuk “melumpuhkan” PSSI, namun bukan berarti langkah Menpora Imam Nahrawi membekukan PSSI adalah solusi tepat untuk mengatasi persoalan.
Runtuhnya Kedaulatan FIFA
Walau ada yang menuding PSSI terkesan cuci tangan dan cari aman karena menghentikan kompetisi yang memang diprediksi akan diliputi masalah-masalah laten dan kini justru Menpora cs yang dianggap sebagai biang keladi namun pihak Menpora memang harus menjawab persoalan terkait keberlangsungan kompetisi sepakbola nasional. Ucapan Menpora yang mengatakan bahwa kompetisi akan tetap berlangsung justru terkesan menganggap gampang persoalan, karena pada kenyataannya KONI yang ditunjuk pun menyatakan tak sanggup, dan tampaknya tim transisi pun tak akan mudah (jika boleh saya katakan, tak akan sanggup) mengemban tugas terkait kompetisi. Terlepas dari fenomena “aneh” ketika klub, pemain dan elemen sepakbola lain yang akan dilindungi oleh negara terkait segala kepastian hukum kini justru seakan menyalahkan pemerintah dan berada di pihak PSSI (yang dahulu sering mereka keluhkan), namun tetap harus kita akui bahwa kedaulatan sepakbola (FIFA) dalam perspektif hukum transnasional dan lex sportiva telah gagal ditegakkan di Indonesia, dan sebenarnya itu adalah kegagalan PSSI juga.
Menggulirkan kompetisi (bukan) sepakbola
Menpora memutuskan akan tetap menggelar kompetisi sepakbola di negeri ini walau tak melibatkan PSSI dan PT.LIGA sebagai operator. Jika suatu saat ada kompetisi sepakbola (tanpa PSSI) di Indonesia? boleh-boleh saja lebih baik? bisa jadi lebih berkualitas? Mungkin api tetap saja dimata FIFA itu bukan kompetisi sepakbola yang mereka mau, oleh karena itu sepakbola kita pun jangan banyak maunya.
Kompetisi sepakbola dipantau, dikontrol, dikelola dan dikuasai oleh FIFA, memiliki jenjang nasional, regional, hingga internasional. Itulah yang membuat sepakbola bergerak seiring, dinamis dalam suatu sistem, karena ada jenjang dan tujuan yang sama bagi para pemain, pelatih dan seluruh pelakunya. Misal PSSI dibekukan FIFA karena pelanggaran pasal 13 dan 17 statuta FIFA, lalu ketika kompetisi tetap berjalan namun tanpa/bukan oleh federasi yang merupakan kepanjangan FIFA, tentu itu bukan sepakbola yang FIFA mau. Negara pun jangan ke-geer-an rajin surat menyurat dengan FIFA, ke-geer-an siap-siap menerima sanksi, dsb. FIFA tak ada urusan dengan pemerintah, mereka hanya tahu PSSI dan PSSI lah sebenarnya yang akan (dan bisa) mereka jatuhi sanksi. Lex Sportiva adalah hukum komunitas, society, maka silakan negara bermain bola sepuasnya jika perlu pakai 3 bola dan 5 gawang, tak akan ada yang melarang-FIFA pun tidak, tapi ingat sepakbola yang bukan FIFA mau bukanlah sepakbola yang menjadi bagian komunitasnya, terlempar dari lingkaran pergaulan sepakbola FIFA. Maka silakan buat kompetisi sebaik semegah apapun, sepakbola yang katanya milik bangsa anda, tapi tak perlu bermain bola dan bergaul dengan anggota FIFA yang lain, karena sepakbola yang (kalian anggap lebih) bagus dan baik itu bukan sepakbolanya FIFA, maka bermainlah di negara anda sendiri, cukup sampai di situ.