Negara Indonesia didirikan dengan cita-cita mulia sebagaimana yang termuat pada alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945, salah satunya ialah memajukan kesejahteraan umum. Salah satu indikator pengukuran kesejahteraan adalah kepemilikan rumah yang layak (Mega Ilahi & Ariusni, 2020). Sehingga kepemilikan rumah yang layak memainkan peran yang krusial sebagai salah satu kebutuhan dasar yang esensial dalam pembinaan keluarga. Pasal 28H ayat (1) UUD Tahun 1945 menyebutkan bahwa setiap individu berhak hidup sejahtera lahir dan batin, memiliki tempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun, terdapat tantangan signifikan dalam realisasi kepemilikan rumah di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yakni ketimpangan gaji dan harga rumah, kenaikan harga rumah yang signifikan, dan faktor lainnya.
Indonesia saat ini dihadapkan pada krisis kebutuhan kepemilikan rumah atau juga yang dikenal dengan backlog (Simbolon, 2024). Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) terbaru yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), sejak tahun 2010 backlog kepemilikan rumah di Indonesia masih sangat tinggi, yakni rata- rata sebesar 13 juta unit dengan tren fluktuatif backlog (Simbolon, 2024). Rendahnya anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah pada sektor perumahan menjadi salah satu faktor utama di balik tingginya angka backlog ini. (Ramadhani, 2024)
Backlog Kepemilikan Rumah (Juta Unit)
Sumber: Susenas-BPS (2023) dan PUPR (2022)
Untuk mengatasi backlog, pemerintah menginisiasi sebuah kebijakan dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) (Ramadhani, 2024).Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) adalah kebijakan yang bertujuan menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang secara berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan yang layak dan terjangkau bagi peserta. Dana tersebut disimpan dalam jangka waktu tertentu dan hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir.
Rencana pemerintah untuk segera memberlakukan iuran wajib kepesertaan Program Tapera telah menciptakan polemik baru bagi masyarakat. Hadirnya kebijakan ini tidak mencerminkan konsep negara welfare state, yakni negara bertanggungjawab menjamin standar hidup dan kesejahteraan minimum setiap warganya (Sirait, 2016). Lebih lanjut, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan dan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, yakni negara memikul tanggungjawab atas pemenuhan penyediaan rumah yang layak bagi setiap warganya dalam upaya memajukan kesejahteraan. Sehingga kebijakan Tapera dapat dinilai sebagai cerminan pengalihan tanggung jawab peran pemerintah dengan melempar tanggung jawab penyediaan rumah kepada dana publik. Dalam hal ini, tapera dimaksudkan sebagai dana gotong royong untuk membantu pekerja berpenghasilan rendah dalam hal pembiayaan rumah.
Dampak signifikan atas lahirnya kebijakan ini terhadap pekerja termuat dalam Pasal 7 Ayat (1) UU Tapera yang mewajibkan setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum menjadi peserta. Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat mewajibkan peserta tapera untuk menyisihkan 3% penghasilan dengan ketentuan, untuk peserta pekerja 2,5% akan dibayarkan oleh pekerja dan 0,5% dibayarkan oleh pemberi kerja. Sedangkan pekerja mandiri menanggung besaran biaya 3% tanpa keringanan (Simbolon, 2024). Peraturan tersebut tidak menjelaskan secara komprehensif besaran potongan angka yang akan dibayarkan oleh peserta. (Simbolon, 2024).
Pemberlakuan pasal tersebut menimbulkan permasalahan dan tidak sesuai dengan konsep kesejahteraan sosial. Hal ini didasarkan bahwa kewajiban mengikuti Tapera akan menjadi beban finansial bagi peserta mengingat bertambahnya iuran yang harus dibayarkan seperti pajak penghasilan, iuran badan penyelenggara jaminan sosial, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, pajak kendaraan bermotor serta biaya lainnya sehingga berpotensi menurunkan produktivitas ekonomi. Berdasarkan survei Litbang Kompas pada bulan Juni Tahun 2024, mayoritas masyarakat menolak adanya tapera.(Muhamad, n.d, 2024)Penolakan tersebut menandakan kegagalan dalam aspek implementasi dan penerimaan sosial sebagai indikator penting keberhasilan suatu kebijakan sehingga Tapera dinilai belum memenuhi asas kedayagunaan dan kehasilgunaan sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3).
Pemberlakuan Tapera juga menimbulkan kekhawatiran bagi peserta sebab dana tersebut rentan disalahgunakan, dikorupsi, dan susah dikembalikan pada saat masa kepesertaan berakhir. Kekhawatiran ini didasarkan oleh temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan Atas Pengelolaan Dana Tapera dan Biaya Operasional Tahun 2020 dan 2021 di beberapa daerah, yang menyatakan 124.960 peserta Tapera belum memperoleh pengembalian dana dengan total sebesar Rp.567.457.735.810(Afdhil, 2024), serta beberapa penyalahgunaan dana masyarakat beberapa tahun terakhir.
Selain itu, masih terdapat kelemahan dalam pengaturannya. Pasal 7 ayat (1) UU Tapera menyebutkan bahwa pekerja atau pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta Tapera, sedangkan Pasal 7 ayat (2) UU Tapera menyatakan bahwa pekerja yang berpenghasilan di bawah upah minimum dapat menjadi peserta, sehingga terjadi inkonsistensi antara kedua pasal tersebut. Pasal ini juga tidak menjelaskan secara komprehensif upah minimum yang dimaksud dan cara memperoleh rumah dari program ini apabila masa kepesertaan telah berakhir, sehingga mekanisme pengelolaan dana Tapera dianggap belum jelas dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Raniah Salsabila, S.E., seorang peneliti Micdash Universitas Gadjah Mada, menilai bahwa skema manfaat dari program Tapera masih kurang transparan sebab tidak menjelaskan berapa kuota bagi masyarakat yang dapat mengakses manfaat dari program Tapera itu sendiri dan dinilai cenderung mengabaikan peserta dengan pendapatan menengah.(Raniah Salsabila, 2024)
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat mengatur bahwa bahwa peserta yang bukan termasuk dalam kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) akan memperoleh pengembalian simpanan beserta hasil pemupukannya pada akhir masa kepesertaan (Agungnoe, 2024). Masa kepesertaan Tapera dianggap berakhir apabila peserta mencapai akhir masa kerja atau usia pensiun 58 tahun untuk pekerja mandiri, meninggal dunia, atau jika peserta tidak memenuhi kriteria sebagai peserta selama lima tahun berturut-turut. (Agungnoe, 2024) Pengembalian simpanan tersebut akan disertai dengan hasil pemupukan sebesar 4,5 persen hingga 4,8 persen. Namun, masih terdapat kekhawatiran bahwa perhatian pemerintah terhadap masyarakat berpendapatan menengah belum memadai, mengingat kelompok ini seringkali tidak mendapatkan prioritas yang cukup, karena dianggap mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka secara mandiri. (Agungnoe, 2024)
Jika kita telusuri lebih lanjut, berdasarkan data dari Kementerrian Agraria dan Tata Kelola/ Badan Pertanahan Nasional, alih fungsi lahan di Indonesia telah mencapai 100.000 hingga 150.000 hektare per tahun (Ruang, 2021).Sehingga kenaikan tersebut menyebabkan krisis lahan yang pada akhirnya akan berimbas pada kenaikan harga tanah. Maka, pemerintah seharusnya tidak hanya berfokus pada implementasi Tapera, tetapi juga pada strategi penyediaan lahan luas dan murah. Mengingat kenaikan harga rumah mencapai 10-15% per tahun(Yulius, 2024), pemerintah dapat lebih efektif mengendalikan harga tanah dan perumahan, sehingga tujuan menyediakan rumah yang terjangkau dapat tercapai.
Terdapat beberapa rekomendasi untuk mengoptimalisasikan kebijakan tapera ini, yakni: pertama, besaran iuran Tapera harus dievaluasi sesuai dengan kondisi ekonomi masyarakat. Pemerintah dapat memberikan keringanan kepada peserta dengan finansial banyak yakni potongan 1% gaji pekerja dan potongan 0,5% pemberi kerja. Kedua, pemerintah harus melakukan transparansi tata kelola dana Tapera dengan memberikan transparansi jangka waktu peserta akan mendapatkan rumah sesuai dengan iuran yang telah dibayarkan sehingga meningkatkan minat dan kepercayaan masyarakat untuk dapat ikut andil dalam program ini (Raniah Salsabila, 2024) Selain itu, pemerintah perlu memperhatikan krisis lahan dengan mengendalikan kenaikan harga tanah dan perumahan untuk mencapai tujuan penyediaan rumah yang terjangkau. Dengan demikian, kebijakan Tapera diharapkan dapat lebih efektif dalam memenuhi kebutuhan perumahan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Indah Fajar Lestari
Penulis
Sri Muliana Azhari
Vinda Ramadhanty
Enjelita Tamba
Ulfia Pamujiningsih