Kepolisian Negara Republik Indonesia atau disebut Polri merupakan institusi yang menjadi alat negara dalam menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat serta bertugas untuk melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum (Negara Indonesia, 2002). Dari tugasnya yang sangat berkaitan erat dengan masyarakat, menyebabkan Polri harus mampu membangun citra yang baik di kalangan masyarakat. Hal ini juga bersinggungan dengan Polri yang bekerja untuk penegakan hukum in optima forma (Adnyani, 2021). Artinya Polri merupakan hukum yang hidup, bersama Polisi maka janji-janji dan tujuan hukum untuk mengamankan masyarakat harus bisa direalisasikan. Namun, seiring dengan perkembangan zaman terdapat berbagai tantangan dan hambatan yang signifikan dalam pelaksanaan tugas Polri. Kebutuhan keamanan menjadi dinamis, sehingga menimbulkan dorongan bagi lembaga keamanan ini untuk terus melakukan reformasi.
Saat ini Undang-Undang yang mengatur mengenai Polri terdapat pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian. Pada UU tersebut diatur susunan dan kedudukan Polri, tugas dan wewenangnya, keanggotaannya, lembaga kepolisian nasional, pembinaan profesi, hingga mengatur tentang hubungan ataupun kerja sama dengan pihak lain. Dalam materi muatan UU yang hampir berusia lebih dari 20 tahun ini, dalam pengaturannya menghadirkan paradigma yang menjadikan Polri berorientasi sipil (Civilian Police) (Perubahan et al., 2024). Artinya segala tindak tanduk dari Polri harus sesuai dengan harapan masyarakat dan tentunya dengan prinsip memerangi kejahatan, mewujudkan kedamaian dalam masyarakat, serta melindungi warga. Sehingga masyarakatlah yang dijadikan sebagai pusat atau tujuan utama sekaligus tujuan akhir dari totalitas pengabdiannya (Pengantar, 2010). Polisi yang berwatak sipil dituntut untuk menjalankan tugasnya bersamaan dengan menjaga harkat dan martabat kemanusiaan. Menghindari jalan pintas, seperti kekerasan dan pemaksaan, serta menggantinya dengan cara-cara yang sesuai dengan tujuan pengabdiannya kepada masyarakat (Rahardjo, 2002). Tak hanya itu polisi sipil juga dituntut memiliki citra yang khas sebagai gambaran wajah polisi yang "berwatak sipil", yang tentunya berbeda dengan citra polisi yang "berwatak militer". Dalam penerapannya, citra tersebut harus diwujudkan secara nyata dalam pelaksanaan tugas-tugas yang dimiliki oleh Polri dalam kehidupan sehari-hari. Indikator polisi sipil adalah transparan, demokratis, akuntabel, menjunjung tinggi HAM dan supremasi hukum, serta berkarakter protagonis (ElitKITA, 2014).
Citra polisi sipil dapat terbentuk jika prinsip-prinsip yang ada dalam etika polisi sipil dapat dijadikan acuan dalam mengemban tugasnya. Berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia, disebutkan bahwa Etika Profesi Polri sendiri adalah implementasi dari nilai-nilai Tribrata (nilai-nilai yang menjadi pedoman hidup Polri) yang menjadikan Pancasila sebagai jiwa setiap anggota Polri dalam mewujudkan komitmen moral yang meliputi etika kepribadian, kelembagaan, kenegaraan dan etika dalam berhubungan dengan masyarakat. Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa Polri memang harus membangun citra yang baik guna mendapatkan kepercayaan dalam hubungannya dengan masyarakat. Namun, nyatanya Polri acapkali menjadi bahan perbincangan yang kontroversi di kalangan masyarakat. Hal ini dikarenakan oleh beberapa oknum dari Kepolisian yang melakukan pelanggaran dalam melaksanakan tugasnya. Mulai dari pelanggaran disiplin, pelanggaran kode etik polri, bahkan pelanggaran pidana. Contoh beberapa pelanggaran yang sempat menuai kontroversi ini adalah kasus penembakan Brigadir Yoshua yang dilakukan oleh Ferdy Sambo, tragedi Kanjuruhan, penganiayaan anak usia 13 tahun oleh anggota Polri di Padang, dan masih banyak kasus lainnya (BBC News Indonesia, 2023).
Di tengah menjamurnya pelanggaran yang kerap dilakukan oleh beberapa anggota Polri saat ini, pemerintah menghadirkan Rancangan Undang-Undang tentang perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada dasarnya penyempurnaan ini dilakukan untuk mengoptimalkan kinerja Polri kedepannya dalam menghadapi perubahan dinamika sosial di masyarakat. Namun, sebaliknya RUU ini malah memperluas kewenangan yang dimiliki oleh Polri dalam menjalankan tugasnya. Tepatnya pada Pasal 14 ayat 1 huruf b RUU Polri, yaitu menambah kewenangan Polri dalam melakukan kegiatan dalam rangka pembinaan, pengawasan, dan pengamanan Ruang Siber. Hal ini dikhawatirkan dapat memunculkan penyalahgunaan wewenang oleh anggota Polri karena mekanisme serta kriteria yang belum jelas dan spesifik. Menurut data dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) terkait keluhan yang disampaikan masyarakat, dari tahun 2021 hingga 2023 terdapat enam aspek kinerja Polri yang dinilai (pelayanan buruk, diskriminasi, korupsi dan penyalahgunaan wewenang) (Kompolnas, 2023).
Dimana di antara 1.150 saran dan keluhan dari masyarakat terdapat 1.098 laporan mengenai pelayanan buruk, 45 laporan penyalahgunaan wewenang, 1 laporan dugaan korupsi, 4 aduan perlakuan diskriminatif, dan 2 laporan penggunaan diskresi yang keliru (Umam, 2023). Artinya kasus penyalahgunaan wewenang ini menempati posisi kedua setelah pelayanan buruk yang diberikan oleh Polri. Sehingga perluasan wewenang Polri ini harus dipikirkan dengan sangat matang oleh berbagai pihak. Kemudian pada Pasal 16 ayat 1 huruf q Polri berwenang untuk melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses Ruang Siber dengan tujuan menciptakan keamanan dan bekerja sama dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika serta penyelenggara jasa telekomunikasi. Pemberian kewenangan untuk memblokir atau memutus akses ruang siber ini dikhawatirkan bisa disalahgunakan untuk membungkam kritik dan membatasi kebebasan berekspresi. Hal ini tentunya tidak selaras dengan kebebasan berekspresi yang dijamin di dalam Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945, dimana setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Selanjutnya pada Pasal 16A huruf b Polri diberi kewenangan dalam melakukan penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan intelijen. Artinya Polri memiliki wewenang untuk melakukan penyadapan guna melaksanakan kegiatan intelijen. Disini terdapat kekaburan dalam penyelidikan, pengamanan, dan kegiatan intelijen seperti apa yang menjadi lingkup dari wewenang Polri nantinya. Dikhawatirkan kewenangan ini berpotensi melanggar privasi, hak asasi manusia, dan penyalahgunaan untuk kepentingan pribadi maupun politik. Sehingga dibutuhkan kejelasan dalam mendeskripsikan secara rinci apa saja bentuk dari kegiatan intelijen yang dapat dilakukan oleh anggota Polri ini. Secara normatif, pasal-pasal tersebut dapat menimbulkan prasangka atau asumsi dari berbagai pihak, terutama masyarakat. Dengan kewenangan yang semakin bertambah seiring dengan kasus pelanggaran oleh anggota Polri yang kian meningkat menyebabkan citra Polri di kalangan masyarakat menjadi buruk. Beberapa oknum polisi yang melakukan pelanggaran menimbulkan stereotip negatif terhadap Institusi Polri itu sendiri.
Stereotip negatif yang timbul di masyarakat pun bukan hanya sekadar pandangan subjektif semata. Karena sudah terdapat beberapa contoh kasus mengenai penyalahgunaan wewenang oleh Polri, salah satunya adalah kasus penyalahgunaan wewenang oleh Brigadir Polisi BR yang melakukan razia ilegal tanpa surat perintah dan tidak ada pemberitahuan kepada pimpinan. Tak hanya itu Brigpol BR ini pun melakukan penganiayaan terhadap korban (Linggau Pos, 2023). Kasus ini merupakan bukti konkret bagi kita semua bahwasannya penyalahgunaan wewenang Polri memang patut dilirik dan lebih diperhatikan lagi untuk kedepannya. Dan perlu diingat selain akan menimbulkan penyalahgunaan wewenang, perluasan wewenang Polri ini tentunya juga akan bersinggungan dengan kode etik Polri. Yang mana seharusnya sesuai dengan Pasal 10 ayat 1 huruf a Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, anggota Polri wajib menghormati harkat dan martabat manusia dalam etika berhubungan dengan masyarakat melalui penghargaan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dimana perluasan wewenang Polri dalam urusan intelijen yang belum diatur secara spesifik dalam RUU ini dapat merenggut privasi bahkan hak asasi manusia. Sehingga Polri menjadi instisusi yang superbody dengan segala wewenang yang ia miliki. Dan tentunya hal ini akan berdampak secara sosiologis kepada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri kedepannya.
Demi menjaga citra Polri di kalangan masyarakat yang kian memburuk, maka sangat dibutuhkan perampungan kembali beberapa penambahan wewenang Polri di RUU ini. Perluasan wewenang harus dikaji lagi lebih dalam dan diberikan penjelasan yang spesifik terkait apa saja tupoksi dari institusi ini. Tak hanya itu, pengawasan kinerja Polri melalui Komisi Kepolisian Nasional, Inspektorat Pengawasan Umum Polisi Republik Indonesia, Inspektorat Pengawasan Daerah, serta Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia juga perlu bersinergi demi meningkatkan serta mengetatkan kontrolnya terhadap anggota Polri (Kepolisian & Republik, 2018). Kemudian pengawasan ini tentunya juga dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat, karena berdasarkan prinsip negara demokrasi keterlibatan dan kontribusi masyarakat sangat dibutuhkan. Masyarakat bisa memberikan laporan atau pengaduan kepada tim pengawas dari kinerja Polri ini secara langsung dan tentunya diiringi dengan prosedur yang sederhana dan mudah dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Sehingga untuk mendukung penyampaian pengaduan ini dibutuhkan semacam aplikasi yang dipergunakan oleh masyarakat untuk menyampaikan keluh kesahnya terhadap institusi Polri ini. Dan harapannya segala macam aduan atau keresahan ini dapat diatasi secara cepat dan tegas. Sehingga institusi ini dapat berbenah dan lebih baik lagi kedepannya. Dan yang terpenting adalah perlunya pembenahan karakter ataupun perilaku dari masing-masing anggota Polri agar tetap menjaga marwahnya sebagai institusi pelindung dan pengayom masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan pembinaan karakter yang rutin dilakukan terhadap seluruh elemen di Kepolisian Indonesia.
Adinda Irhamna
Penulis
Sri Muliana Azhari
Vinda Ramadhanty
Enjelita Tamba
Ulfia Pamujiningsih