Setiap langkah bisnis merupakan langkah hukum begitupun upaya sinkronisasi antara pembangunan hukum dan ekonomi guna menggalakan sinergi geliat iklim investasi di tanah air ini. Oleh sebab itu hukum sendiri berfungsi sebagai bingkai dan aturan main bagi para pebisnis serta sebagai landasan pijakan dalam hubungan kontraktual (Hernoko, 2016: 448). Adapun hukum yang berkaitan dengan lalu lintas kegiatan bisnis adalah hukum perdata, yang apabila ditelisik saat ini jauh telah berkembang sangat pesat terhadap pembidangan hukum keperdataan. Sebagai bentuk perkembangan evolusi hukum keperdataan lahirlah hukum bisnis (hukum perbankan) sebagai salah satu bagian yang tak terpisahkan dengan hukum keperdataan.
Pada sebuah hubungan hukum keperdataan yang bersifat kontraktual tentu tidak dapat dinafikkan dari aktor pelaku yang berkecimpung di dalamnya. Yang dimaksud dalam hal ini adalah subjek hukum sebagai penyandang hak dan kewajiban keperdataan. Landasan Yuridis mengenai subjek hukum dapat kita lacak secara tersirat dalam ketentuan Pasal 1 Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut BW). Terhadap ketentuan Pasal a quo dapat diartikan seluruh orang baik orang perorangan (natuurlijk persoon) maupun badan hukum (rechtspersoon) dalam melaksanakan hak keperdataan adalah setara baik luasnya ataupun kewenangannya (Prawirohamidjojo dan Pohan, 2008: 3).
Menariknya dalam suatu kegiatan bisnis badan usaha dengan bentuk badan hukum merupakan pilihan yang tepat bagi pelaku bisnis. Karena badan hukum sendiri memiliki keunggulan tersendiri ditinjau dari status yuridisnya daripada badan usaha bukan berbadan hukum diantaranya, (1) memiliki legal standing yang mandiri layaknya manusia, (2) memiliki harta kekayaan tersendiri yang diartikan harta kekayaan terpisah dari harta kekayaan pendiri atau para pengurus atau anggotanya dan (3) terdapat organ yang memiliki fungsi untuk menjalankan usahanya dan saling memiliki fungsi kontrol guna meminimalisir risiko hukum yang timbul di kemudian hari. Yang dimaksud badan hukum yang cocok untuk menjalankan kegiatan bisnis ini adalah badan hukum perdata, sebagaimana diartikan badan hukum yang eksistensi dan kedudukan hukumnya didirikan dan diciptakan atas pernyataan kehendak dari orang perorangan dengan memenuhi persyaratan formil maupu materiil yang telah ditetapkan peraturan perundang-undangan (Ali, 2014: 63).
Sebagai contoh hukum positif Indonesia yang mengakomodir ketentuan mengenai bentuk badan hukum dalam kegiatan bisnis yakni, pertama, Perseroan Terbatas (PT) yang berpijak pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU No. 40 Tahun 2007) sebagaimana telah dilakukan beberapa kali perubahan terakhir diubah oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Kedua, Koperasi yang secara yuridis pengakuan terlacak dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian sebagaimana telah dilakukan beberapa kali perubahan terakhir diubah oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Memang apabila ditelaah secara mendalam mengenai perkembangan peraturan perundang-undangan mengenai Koperasi tertinggal jauh dengan PT.
Tertinggal jauh bukan berarti berhenti mendukung dan mendorong kepada Pemerintah guna melakukan upaya pembaharuan hukum bidang perkoperasian, sebagaimana saat ini oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia telah disiapkan Rancangan Undang-Undang Perkoperasian (RUU Perkoperasian). Berdasarkan sisi historitas, Undang-Undang Perkoperasian sempat dilakukan pembaharuan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian (UU No. 17 Tahun 2012) sebagaimana mencabut UU No. 25 Tahun 1992. Namun pembaharuan hukum bidang perkoperasian di bawah rezim UU No. 17 Tahun 2012 tidaklah berlangsung lama layaknya UU No. 40 Tahun 2007, mengingat pada tahun 2014 palu godam Mahkamah Konstitusi (MK) menghantam eksistensi UU No. 17 Tahun 2012 dengan Putusan Nomor: 28/PUU-XI/2013.
Dalam Putusannya, MK menyatakan secara mutlak bahwa UU No. 17 Tahun 2012 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan tidak memiliki kekuatan mengikat serta memberlakukan UU No. 25 Tahun 1992 sementara waktu sampai dengan dibentuk Undang-Undang yang baru. Asa itu sebetulnya ada pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020) yang merupakan bentuk omnibus law dalam memuluskan iklim investasi Indonesia. Sebagaimana ternyata salah satu materi muatan yang terkandung dalam materi UU No. 25 Tahun 1992 yang dilakukan beberapa perubahan dengan disertai penambahan ketentuan terhadap UU a quo.
Namun sayangnya kita tidak dapat berharap banyak terhadap materi muatan mengenai perkoperasian yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2020 karena baik ketentuan yang diubah maupun ditambahkan hanya bersifat sumir dan dapat berimplikasi memperparah kondisi Indonesia yang telah hyper regulation, karena dalam UU a quo untuk memerintahkan guna membentuk ketentuan lebih lanjut dengan jenis peraturan perundangan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri/Badan terkait. Dan lagi-lagi MK menghantamkan palu godamnya terhadap UU No. 11 Tahun 2020 melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Sehingga dapat kita ketahui peran MK saat kini dapat dianalogikan sebagai keranjang sampah bagi produk legislasi yang dimanifestasikan oleh cabang kekuasaan legislatif yang bersifat ugal-ugalan.
Lebih lanjut menarik untuk diulik dalam materi muatan UU P2SK adalah mengenai Koperasi yang menjalankan usaha di sektor jasa keuangan, salah satunya di bidang perbankan konvensional maupun perbankan syariah. Pada hakikatnya negara Indonesia menganut dual banking system, yang secara yuridis hal ini dibuktikan dengan keberadaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU No. 7 Tahun 1992) sebagaimana telah dilakukan beberapa kali perubahan terakhir diubah dengan UU P2SK dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sebagaimana diubah oleh UU P2SK. Adapun dalam ketentuan UU a quo menyisipkan ketentuan antara Pasal 44A dan Pasal 45 UU No. 25 Tahun 1992, yakni dengan Pasal 44B sebagaimana redaksionalnya mengatakan bahwa Koperasi dapat melaksanakan kegiatan usaha di dalam sektor jasa keuangan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagaimana ketentuan Pasal 44B UU a quo bilamana ditafsirkan secara sistematis dengan Pasal 7 UU No. 21 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 15 UU P2SK, ke depannya terdapat pilihan bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPR Syariah) untuk berbentuk badan hukum dalam menjalankan operasionalnya yakni dapat berbentuk badan hukum PT atau Koperasi. Namun hal ini menjadi rancu apabila memperhatikan ketentuan Pasal 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2022 tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (POJK BPR Syariah) yang menyatakan bahwa BPR Syariah harus berbadan hukum PT. Ratio Legis Pasal 2 POJK a quo adalah ketentuan Pasal 7 UU No. 21 Tahun 2008 (yang mana pada saat diterbitkannya POJK a quo UU No. 21 Tahun 2008 belum diadakan perubahan dan UU P2SK belum diundangkan) yang dibaca secara sistematis dengan dikaitkan pada ketentuan Pasal 109 UU No. 40 Tahun 2007, mengingat dalam konsiderans mencantumkan UU No. 40 Tahun 2007. Adapun pemilihan bentuk badan hukum PT pada BPR Syariah adalah semangat untuk memperoleh laba secara kontinuitas atau profit oriented (Tumbuan, 2017: 120-121).
Namun kondisi yang demikian akan berimplikasi pada disparitas pengaturan bentuk badan hukum BPR Syariah. Di sisi lain pula kondisi tersebut mengakibatkan terjadi disharmoni hukum mengingat terdapat ketiadaan keselarasan antara peraturan yang jenjang hierarkinya lebih tinggi dengan peraturan yang jenjang hierarkinya lebih rendah dan tidak sesuai amanat asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana penjelasan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah dilakukan beberapa kali perubahan yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 (UU P3U).
Oleh sebab itu hal ini perlu dilakukan harmonisasi hukum, sebagaimana tujuannya adalah untuk melakukan upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan perbedaan, hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan dalam hukum (Goesniadhie, 2010: 8). Adapun salah satunya dengan menerapkan postulat lex superior derogate legi inferior yang bermakna bahwa peraturan perundang-undangan (aturan hukum) yang derajat hierarkinya lebih tinggi menderogasi atau menegasikan keberlakuan peraturan perundang-undangan (aturan hukum) yang derajat hierarkinya lebih rendah (Irfani, 2020: 311). Bilamana diterapkan bahwa UU P2SK yang derajat hierarkinya lebih tinggi akan mengesampingkan dan membidas POJK BPR Syariah yang derajat hierarkinya lebih rendah. Mengingat kedudukan hierarki jenis peraturan perundang-undangan dengan bentuk undang-undang bertengger pada urutan ketiga setelah UUD NRI 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) secara letterlijk dilukiskan dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU P3U. Sedangkan kedudukan dan karakteristik POJK BPR Syariah secara tersirat hanyalah tergolong sebagai jenis peraturan perundang-undangan lainnya yang rujukannya pada Pasal 8 ayat (1) UU P3U. Maka dengan demikian pengaturan POJK BPR Syariah perlu dilakukan pembaharuan disesuaikan dengan kondisi yang ada dengan mengakomodir bentuk badan hukum Koperasi sebagai alternatif pilihan bentuk badan hukum manakala melakukan pendirian BPR Syariah.
Radhyca Nanda Pratama, S.H. (Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia)
Penulis
Caecilia Aletheia
Natasya Ayu Savira
I Wayan Agus Eka
Krisna Bayu Aji