Indonesia ‘katanya’ negara kepulauan yang ± 2/3 wilayahnya adalah lautan, namun orientasi kebijakan pembangunan masih cenderung berorientasi daratan. Menurut Hilmar Farid (Pidato Kebudayaan, 2014) kehancuran terparah dari kolonialisme ini adalah pupusnya budaya maritim nusantara, yang awalnya menjadi ciri khas dan kekuatan, menjadi melulu budaya daratan. Hal ini tentu perlu menjadi refleksi bagi semua pemangku kepentingan untuk mengembalikan semangat “Poros Maritim” yang sering didengungkan, bahkan Bung Karno sejak lama menyebutkan bahwa “Kita Bangsa Pelaut”.
Masyarakat Suku Bajo (Bajau), Suku Laut (Orang Laut), Masyarakat Kampung Engros adalah contoh konkrit masyarakat adat, tradisional dan lokal yang menjalankan tradisi bermukim di atas air dan wilayah pesisir secara turun-temurun bahkan jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri. Hal tersebut merupakan suatu kenyataan hidup dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakat pada umumnya di Indonesia yang harus dilindungi dan dihormati sebagaimana amanat Pasal 18B UUD NRI Tahun 1945. Namun persoalannya, masyarakat pemukim di atas air yang tersebar di ± 23 Provinsi (Data Abdul Manan/Presiden Bajo, 2022) masih diterpa berbagai persoalan di antaranya: persoalan kepastian hukum permukiman mereka, adanya ancaman pengusiran, dianggap bukan warga lokal, dan diskriminasi serta keterbatasan akses terhadap permodalan.
Untuk menjamin perlindungan hukum bagi permukiman masyarakat di atas air, perlu kepastian tanda bukti hak yang kemudian kita kenal dengan sertipikat hak atas tanah. Selama ini masyarakat sulit mendapatkan sertipikat karena mereka berada di atas laut, bukan di atas ‘tanah’ seperti masyarakat pada umumnya yang tinggal di darat. Pertanyaannya, apakah sertipikat tanah bisa diberikan untuk permukiman masyarakat di atas air? Pertanyaanya ini menjadi diskursus yang tidak pernah usai. Berikut coba dijelaskan dari 4 (empat) aspek, yaitu aspek hukum, aspek politik, aspek sosial budaya dan aspek ekonomi, sebagai berikut:
1. Aspek Hukum
Pertama, Pasal 4 UUPA menyebutkan bahwa atas dasar hak menguasai negara, ditentukan macam-macam hak atas permukaan bumi demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya. Secara prinsip, permukiman masyarakat memungkinan untuk diberikan Hak Atas Tanah baik yang tertutup daratan maupun tertutup permukaan air. Artinya selama ada hubungan hukum khususnya antara permukiman masyarakat dengan tanah (kendati melalui perantara tiang pancang) maka hak atas tanah dapat diberikan.
Lebih lanjut UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (saat ini telah dicabut dan diganti dengan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, selanjutnya disebut dengan Cipta Kerja) yang diturunkan dalam Pasal 65 ayat (2) PP Nomor 18 Tahun 2021 menjelaskan bahwa pemberian Hak Atas Tanah di wilayah perairan dimungkinkan setelah mendapatkan perizinan yang diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Perizinan yang dimaksudkan adalah melalui Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Artinya secara hukum positif begitu clear bahwa pemberian hak atas tanah bagi permukiman masyarakat di atas air diperbolehkan.
Kedua, sering terjadi salah tafsir terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010 yang membatalkan konsep Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Sesuatu yang salah besar jika putusan tersebut diartikan sebagai larangan pemberian hak bagi permukiman masyarakat adat, tradisional dan lokal di atas air. Sebab, putusan MK tidak menyebutkan sedikitpun larangan pemberian hak atas tanah. Adapun yang dilarang MK adalah pemberian hak pengusahaan atau konsesi agraria di perairan pesisir bagi para pengusaha yang dapat menimbulkan pengkavlingan atau privatisasi sehingga menimbulkan diskriminasi secara tidak langsung, menghilangkan hak tradisional yang bersifat turun temurun, dan mengancam penghidupan nelayan tradisional, masyarakat adat dan masyarakat lokal. Artinya putusan MK justru hendak memberikan perlindungan bagi masyarakat pemukim di atas air yang sudah ada sejak puluhan bahkan ratusan tahun sebelumnya. Sehingga dalam membaca putusan MK perlu menyelami secara kontekstual bukan hanya tekstual dan parsial.
2. Aspek Politik
Secara politik, Presiden selalu mendengungkan konsep “Membangun Dari Pinggiran”. Selama ini masyarakat pemukim di atas air ini banyak tinggal di pinggiran yaitu dekat pulau-pulau terkecil, terdepan dan terluar, yang jauh dari pusat pemerintahan, sehingga mengalami banyak tantangan alam, keterbatasan fasilitas, kesulitan akses, dan hidup dalam kemiskinan sehingga seringkali terabaikan dalam skema pembangunan dan bantuan serta perhatian pemerintah pada lazimnya.
Pada pertemuan puncak Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA Summit) tahun 2022 di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara, Presiden dalam pidatonya memerintahkan agar pemerintah memberikan sertipikat tanah bagi masyarakat pemukim di atas air seperti Suku Bajo dan Presiden meminta agar Kementerian/Lembaga menghilangkan persoalan ego sektoral. Artinya secara politik perintah Presiden lugas, jelas dan tegas sehingga harus dilaksanakan oleh bawahannya yaitu Kementerian/Lembaga terkait.
3. Aspek Sosial Budaya
Masyarakat pemukim di atas air seperti Suku Bajo memiliki motto hidup yang dipertahankan yaitu “Lao Denakangkuyang” berarti lautan adalah saudaraku. Mereka percaya bahwa dengan hidup di laut, mereka sedang menjaga lautan, maka lautan juga akan menjaga kehidupan mereka. Secara kultural mereka memang tinggal di laut dan enggan untuk dipindahkan ke daratan. Pernah ada satu program “mendaratkan suku Bajo” dengan membuatkan semacam rumah susun di darat. Namun program tersebut tidak berjalan, dan masyarakat suku Bajo memilih kembali ke laut. Bahkan banyak dari mereka yang sakit hingga gatal-gatal ketika hidup di darat.
Sehingga upaya-upaya yang memaksakan gaya hidup orang laut seperti suku Bajo dengan cara daratan sama dengan pemaksaan kebudayaan atau terjadi genosida kutural. (FGD Studi Komparasi Kehidupan Masyarakat Suku Bajau, 2022).
4. Aspek Ekonomi
Selain pemenuhan terhadap aspek kepastian hukum, sertipikat hak atas tanah sebagai jaminan hak ekonomi masyarakat pemukim di atas air. Dengan sertipikat hak atas tanah yang melekat secara keperdataan, masyarakat bisa leluasa termasuk menjadikan sertipikat sebagai sarana akses permodalan ke perbankan. Selanjutnya akses modalnya pun bisa lebih besar dibandingkan dengan bantuan yang cenderung terbatas/kecil dan belum tentu menjangkau semua. Modal itulah yang dapat menjadi sarana meningkatkan taraf hidup masyarakat di wilayah pesisir, terlebih selama ini wilayah pesisir menjadi sentra kantung-kantung kemiskinan.
Keempat aspek di atas semakin menegaskan bahwa pemberian sertipikat tanah bagi permukiman masyarakat di atas air legal dan sah. Begitupun halnya sudah pernah ada success story, pasca Cipta Kerja, pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN menyerahkan 525 sertipikat tanah bagi masyarakat suku Bajo di Kampung Mola, Wakatobi pada 10 Juni 2022 yang langsung diserahkan Presiden Joko Widodo. Harapannya success story tersebut tidak hanya terjadi di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara tetapi bisa diduplikasi di daerah lainnya yang memiliki persoalan serupa.
Dalam pemberian hak atas tanah, terdapat prinsip 3R yang harus dilaksanakan, yaitu: right, restriction, and responsibility. Selain hak, masyarakat memiliki tanggung jawab berikut batasan-batasan yang harus dijalankan. Dalam konteks sertipikat bagi pemukim di atas air, masyarakat berkewajiban menjaga ekologis dengan baik, tidak melakukan penimbunan dan menjaga akses laut sebagai common property agar bisa terjaga dengan baik serta tidak memindahtangankan di luar komunitas suku Bajo di wilayah tersebut. Apabila prinsip 3R tidak dilaksanakan, hak atas tanah tersebut bisa dicabut. Sehingga aspek pengendalian menjadi krusial dilakukan. Sinergi dan kolaborasi antara Kementerian ATR/BPN, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Daerah dan masyarakat menjadi kunci untuk memastikan hak-hak masyarakat terjaga, terlindungi dan aspek ekologis tetap terjaga dengan baik.
Selain pemberian Hak Atas Tanah bagi permukiman masyarakat di atas air, sudah seharusnya masyarakat pemukim di atas air diberikan kemudahan akses pemanfaatan ruang laut. Cipta Kerja telah memberi ruang lebih kepada masyarakat pemukim di atas air (masyarakat hukum adat) guna memanfaatkan ruang laut dengan mengecualikan prosedur perizinan. Lebih lanjut perlu perhatian terhadap hak kependudukan (pengadministrasian pada catatan sipil), hak pendidikan, berikut dukungan pembangunan sarana prasarana seperti kesehatan dan kebersihan (MCK). Komitmen ini sebagai wujud konkrit kehadiran negara bagi masyarakat pemukim di atas air yang merupakan bagian dari Warga Negara Indonesia.
Aditya Nurahmani, S.H (Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran)
Penulis
Sri Muliana Azhari
Vinda Ramadhanty
Enjelita Tamba
Ulfia Pamujiningsih