Perkawinan adalah salah satu nikmat Tuhan yang diberikan kepada manusia untuk melaksanakan perintah-Nya, yaitu untuk melanjutkan keturunannya, tentunya melalui cara yang sah dan dipandang baik oleh agama dan hukum negara. Indonesia sebagai salah satu negara hukum yang menegaskan eksistensi Ketuhanan memberikan jaminan khusus terhadap lembaga perkawinan, melalui diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang berlaku secara universal kepada setiap insan manusia yang khususnya berstatus sebagai Warga Negara Indonesia.
Definisi perkawinan menurut Pasal 1 UU Perkawinan adalah “menyatakan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suamiistri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tujuan perkawinan yang termuat dalam kandungan definisi tersebut adalah jelas, yaitu membentuk keluarga yang bahagia nan kekal. Setiap orang bebas dan berhak untuk melakukan perkawinan, tak terkecuali bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai abdi negara. Melalui menyandang status sebagai abdi negara, aparatur negara, maupun abdi masyarakat, PNS diwajibkan mencari cerminan baik dari Negara sehingga terikat dan taat pada peraturan perundang-undangan, tak terkecuali peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus mengenai hak untuk melakukan perkawinan, yaitu melalui Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (PP 10/1983) dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (PP 45/1990).
Dalam praktiknya, falsafah melakukan perkawinan tak selamanya indah dan sesuai yang diharapkan para pelakunya. Terdapat berbagai macam persoalan rumah tangga, salah satu yang menimbulkan atensi karena adanya pro-kontra adalah praktik poligami. Praktik poligami juga tidak jarang dilakukan oleh abdi negara. Berbagai faktor mendorong terjadinya poligami oleh para PNS.
Melalui PP 10/1983, babak baru pengaturan hal perkawinan bagi PNS dimulai. Terdapat beberapa poin pokok terkait perkawinan secara umum yang dilangsungkan oleh PNS termuat dalam PP ini, yaitu:
Perkawinan pertama PNS, dibebankan kewajiban pemberitahuan tertulis kepada Pejabat atasan dengan tenggang waktu maksimal 1 (tahun) tahun setelah perkawinan berlangsung. Ketentuan ini juga berlaku bagi janda/duda yang ingin kawin lagi. Hal ini merupakan ketentuan administratif dasar dalam PP ini.
Legalisasi poligami bagi PNS
Pasal 4 PP 10/1983 memberikan jaminan bagi PNS pria yang ingin berpoligami (ayat 1), serta bagi PNS wanita yang ingin menjadi istri kedua/ketiga/keempat dari pria non PNS (ayat 3), tentunya dengan adanya izin terlebih dahulu oleh Pejabat atasannya.
Penjelasan izin struktural bagi yang ingin beristri lebih dari satu, menurut Pasal 12 terbagi atas 4 kategori, yaitu :
(1) Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Gubernur Bank Indonesia, Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri, dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, wajib meminta
izin lebih dahulu dari Presiden.
(2) Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II termasuk Walikota di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Walikota Administratif, wajib meminta izin lebih dahulu dari Menteri Dalam Negeri.
(3) Pimpinan Bank milik Negara kecuali Gubernur Bank Indonesia dan pimpinan Badan Usaha milik Negara, wajib meminta izin lebih dahulu dari Menteri yang secara teknis membawahi Bank milik Negara atau Badan Usaha milik Negara yang bersangkutan.
(4) Pimpinan Bank milik Daerah dan pimpinan Badan Usaha milik Daerah, wajib meminta izin lebih dahulu dari Kepala Daerah yang bersangkutan.
Larangan hidup bersama antara PNS dengan wanita atau pria sebagai suami istri tanpa perkawinan yang sah, terdapat dalam pasal 15 ayat (1) dengan kewajiban bagi atasan untuk menegur PNS bawahannya yang diketahui melakukan hidup bersama tersebut.
Ketentuan hukuman bagi PNS yang melanggar melakukan perkawinan poligami maupun yang hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah diatur dalam Pasal 17 dan Pasal 18 PP ini.
Meskipun PP 10/1983 telah eksis, dalam perkembangannya Pemerintah melakukan revisi terhadap PP tersebut, melalui PP 45/1990, yang dalam konsiderans menyebutkan bahwa PNS wajib memberikan contoh yang baik bagi bawahannya dan menjadi teladan sebagai warga negara yang baik dalam masyarakat termasuk dalam menyelenggarakan kehidupan keluarga. Beberapa poin perubahan PP terbaru adalah :
Kejelasan dalam hal wajibnya mengajukan permohonan izin perceraian;
Larangan bagi PNS Wanita menjadi istri kedua/ketiga/keempat;
Pembagian gaji sebagai akibat adanya perceraian yang lebih mencerminkan rasa keadilan bagi para pihak; serta
Definisi hidup bersama. Poin 2 dan 4 yang akan dibahas sebab berkaitan dengan aspek perkawinan PNS.
Beberapa poin perubahan dalam pengaturan PP 45/1990 berkaitan dengan perkawinan adalah:
Dalam Pasal 4, dihapuskannya ayat yang memberikan kebolehan bagi PNS Wanita menjadi istri kedua/ketiga/keempat. Sehingga jaminan bolehnya PNS berpoligami hanya diberikan kepada PNS Pria.
Merubah poin ketiga terkait kategorisasi penjelasan izin struktural, yaitu menjadi (3) Pimpinan Bank Milik Negara dan pimpinan Badan Usaha Milik Negara, wajib meminta izin lebih dahulu dari Presiden.
Memperjelas ketentuan larangan hidup bersama dengan wanita yang bukan istrinya atau dengan pria yang bukan suaminya sebagai suami istri tanpa perkawinan yang sah.
Memperjelas ketentuan hukuman bagi PNS yang melanggar poin terkait perkawinan dengan berddasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang kemudian kini diperbaharui menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PP 53/2010).
Persoalan yang terjadi pasca perubahan melalui PP 45/1990 adalah menghapuskan hak PNS Wanita menjadi istri kedua/ketiga/keempat. PP 10/1983 masih memberikan hak PNS Wanita menjadi istri kedua/ketiga/empat hanya untuk pria non PNS, namun pasca perubahan tidak memberikan hak PNS Wanita untuk melaksanakan perkawinan tersebut. Ketiadaan hak bagi PNS Wanita untuk dapat menjadi istri kedua/ketiga/keempat Hal ini menunjukkan masih adanya pembedaan terhadap perempuan , yang sejatinya bertentangan dengan hak asasi persamaan di hadapan hukum, maupun ketentuan pengangkatan PNS dalam PP No. 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil beserta perubahan-perubahannya. Hal ini menunjukkan masih adanya diskrimasi terhadap gender perempuan dalam lingkup kepegawaian PNS.
Dengan adanya ketentuan melakukan poligami bagi PNS, disertai pula ketentuan hukuman yang menyertai bagi pelanggarnya yang termuat dalam PP 53/2010, yaitu diantaranya apabila melakukan perbuatan:
Tidak menginformasikan perkawinan pertamanya secara tertulis kepada pejabat dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu tahun setelah perkawinan dilangsungkan;
Beristeri lebih dari seorang tanpa memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat;
Melakukan hidup bersama diluar ikatan perkawinan yang sah dengan wanita yang bukan isterinya atau dengan pria yang bukan suaminya;
Tidak melaporkan perkawinannya yang kedua atau ketiga atau keempat kepada pejabat dalam jangka waktu selambatnya satu tahun setelah perkawinan dilangsungkan;
dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan PP 53/2010, sanksi tersebut diantaranya:
1. Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 tahun.
2. Pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah.
3. Pembebasan dari jabatan.
4. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil.
5. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Sedangkan bagi PNS Wanita yang diketahui menjadi istri kedua/ketiga/keempat, akan dijatuhi sanksi hukum disiplin pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.
Perkawinan sebagai hak dasar yang diberikan oleh Agama dan dijamin pelaksanaannya oleh negara, melalui adanya Undang-Undang yang berkaitan dengan Perkawinan dan segala peraturan turunannya. Pegawai Negeri Sipil sebagai bagian kelompok warga negara juga turut dijamin pelaksanaan perkawinannya, yang secara khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (PP 45/1990). Dalam PP ini mengatur diantaranya mengenai kewajiban bagi PNS untuk menginformasikan secara tertulis mengenai status telah melaksanakan perkawinannya, maupun pengaturan penting mengenai hak berpoligami bagi PNS Pria. Sayangnya, hak PNS Wanita untuk turut menjadi Istri kedua/lebih tidak diakomodasi dalam PP tersebut, sehingga dianggap merampas hak dan bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Pelaksanaan PP tersebut juga diiringi dengan sanksi hukum bagi yang melanggarnya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Lefri Mikhael (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret)
Penulis
Sri Muliana Azhari
Vinda Ramadhanty
Enjelita Tamba
Ulfia Pamujiningsih