Lahan gambut dan hutan mangrove memegang peran penting bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya karena bisa menjaga keanekaragaman hayati, menyerap karbon, mengurangi emisi gas rumah kaca, ada nilai sosial-ekonomi bagi masyarakat, dan melindungi dari bencana alam.
Forum Kehutanan PBB yang berlangsung di New York pada tanggal 6-10 Mei 2019, Indonesia mengangkat tema “Collaborative Actions Towards Sustainable Management of Peatland and Mangrove Ecosystems” di dalam forum tersebut Indonesia menunjukan komitmen kuat untuk meningkatkan kolaborasi antar pemangku kepentingan artinya Indonesia membuka ruang terbuka dan menggandeng komunitas lokal atau masyarakat adat dan peningkatan kesadaran serta edukasi publik tentang arti penting pelestarian kedua ekosistem terhadap keberlangsungan hidup manusia.
Bertolak pada Omnibus Law yang mengarah pada pendekatan pembangunanisme bertujuan memangkas peraturan yang tumpang tindih demi meningkatkan investasi dinilai oleh para pejuang lingkungan hidup dapat mengancam ekosistem Lahan Gambut dan Mangrove dengan hilangnya komisi Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL). Pasal 21 UU Cipta Kerja berbunyi “Dalam rangka memberikan kemudahan bagi setiap orang dalam memperoleh persetujuan lingkungan, undang-undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan terkait Perizinan Berusaha yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”, selanjutnya di pasal 22 menjelaskan tentang pasal-pasal yang diubah, dihapus atau ditetapkan yang terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah Pasal 1 angka 11, angka 12, angka 35, angka 36, angka 37 dan angka 38.
Penghapusan AMDAL yang terdapat dalam pasal 1 angka 35 UU Cipta Kerja memiliki dampak serius terhadap nomenklatur dan instrument izin lingkungan yang awalnya Amdal merupakan syarat terbitnya izin berdasarkan pada hasil kajian dan analisis dampak lingkungan hidup diubah menjadi persetujuan lingkungan hidup dengan mekanisme sentralisasi kebijakan di pemerintah pusat yang mana nomenklatur dan instrumen izin usaha terjadi perubahan. Selain itu, Perubahan-perubahan dalam UU Cipta Kerja oleh sejumlah pegiat lingkungan hidup dianggap sebagai pelemahan atas pelestarian lingkungan hidup karena yang dimaksud masyarakat dalam UU Lingkungan Hidup adalah masyarakat terkena dampak, pemerhati lingkungan hidup dan/atau yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal, akan tetapi UU Cipta Kerja mendefinisikan masyarakat adalah masyarakat yang terkena dampak langsung.
Melihat Fakta ironi di Provinsi Riau misalnya sebelum disahkannya Omnibus Law yang selalu menjadi jawara kebaran membawa dampak buruk bagi kesehatan masyarakat riau, Kepala Bidang Kesehatan Riau menyebutkan 21.671 warga riau terkena penyakit ISPA (infopublik.id, 2019) karena per tanggal 13 September 2019 kualitas udara masuk dalam kategori “sangat tidak sehat”, analis Global Forest Watch menunjukan titik panas di provinsi Riau pada periode 1 Juli – 11 September 2019 mencapai 21.833 titik, dari jumlah tersebut 64% titik panas berada di atas lahan gambut, dan 48% terdapat di atas wilayah budidaya berizin (pantaugambut.id, 2019).
Pantau Gambut melansir 10 perusahaan dengan titik panas terbanyak di lahan gambut dijawarai oleh PT. Sumatera Riang Lestari dengan Jenis Konsesi HTI titik api mencapai 256 (pantaugambut.id, 2019). Salah satu Perusahaan yakni PT. SRL pada tahun 2015 pernah tersandung kasus pembakaran hutan dan lahan diancam pasal berlapis yang terdapat di dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH, dan pasal 187 KUHP (M Syukur, 2015).
Berdasarkan pada olahan data Walhi Riau total keseluruhan luasan Provinsi Riau, terdapat lebih dari 4 juta sebaran gambut dari total tersebut diketahui bahwa kurang lebih 1,5 juta hektarnya telah beralih fungsi maupun diberi izin baik peruntukannya sebagai Hak Guna Usaha dengan luas 164.287 Ha yang dikelola oleh 50 perusahaan sedangkan Hutan Tanaman Industri. Mencapai 1.408.308 Ha yang dikelola oleh 51 perusahaan. Jenis Industri yang berada di Provinsi Riau Perkebunan Kelapa Sawit sebanyak 513 Perusahaan, Industri Kehutanan 70 Perusahaan dan Pertambangan sebanyak 12 Perusahaan (official.walhi.or.id, 2019).
Kerusakan Lahan gambut di Provinsi Riau sudah tak terhalau, hal tersebut diakibatkan oleh perusahaan-perusahaan yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan, hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove yang diamanatkan oleh Perpres No. 120 Tahun 2020 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove, namun semangat yang tertuang di dalam perpres tersebut seolah berseberangan dengan UU Omnibus Law yang menjadi kontroversi selain pengesahannya di tengah pandemi instrumen penting dalam pemberian izin berusaha berupa AMDAL pun diubah hal tersebut dianggap sebagai karpet merah bagi para investor asing (bisnis.tempo.com 2022). Problematika diatas menimbulkan pertanyaan akademis tentunya tentang bagaimana mekanisme beserta nomenklatur pemberian izin usaha di atas lahan gambut pasca pengesahan omnibus law?
AMDAL sebelum diterbitkannya UU Cipta kerja memiliki landasan paket komplit yang terstruktur dan terpadu guna menjadi acuan dalam pemberian izin usaha, AMDAL dalam sistem perizinan mengacu kepada UUPPLH, AMDAL sebagai informasi yang terbuka untuk masyarakat, AMDAL sebagai alat prediksi kemungkinan terjadinya dampak, AMDAL sebagai alat pemantau /RPL dan Pengelolaan/RKL kegiatan, dan yang terakhir AMDAL sebagai legal evidence. Mekanisme tata laksana AMDAL termuat dalam Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan pasal 5 yang menegaskan bahwa dokumen AMDAL memuat Kerangka Acuan, Andal dan RKL – RPL, selanjutnya di dalam pasal 8 menekankan dalam penyusunan AMDAL wajib menggunakan pendekatan studi tunggal, terpadu dan kawasan.
Penulis juga menilai bahwa Peraturan a quo sudah demokratis karena dalam penyusunan dokumen AMDAL tidak hanya dilakukan oleh pemrakarsa melainkan mengikutsertakan masyarakat yang terkena dampak, pemerhati lingkungan, yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL, mekanisme pelibatan masyarakat termuat di dalam pasal 9 ayat 2 yakni melalui pengumuman rencana usaha dan/atau kegiatan dan konsultasi publik.
UU Cipta kerja merubah arah angin sistem perizinan berusaha menjadi sistem persetujuan berusaha. Pada pasal 23 angka 1 terkait perubahan pasal 1 angka 11 UU Cipker diubah menjadi “Analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang selanjutnya disebut Amdal adalah Kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan untuk digunakan sebagai pertimbangan pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan”. Esensi dari suatu Amdal adalah menjadi instrumen kebijakan yang valid dalam meminimalisir dampak kerusakan lingkungan yang ada karena pada dasarnya Amdal adalah kajian yang saintifik dan berupa keharusan untuk mendapatkan izin lingkungan yang pada akhirnya mendapat izin usaha. Namun, dalam UU Cipta Kerja ini terdapat pereduksian pada Pasal 23 dari Amdal yang awalnya merupakan suatu keperluan (wajib) lalu hanya menjadi bahan pertimbangan pengambilan keputusan. Efek lebih lanjutnya ialah Amdal hanya dianggap sebagai pelengkap saja dalam mendapatkan birokrasi berusaha, dengan demikian dampak lingkungan terkesan bukan menjadi permasalahan utama dalam kegiatan berusaha yang perlu diperhatikan, kriteria masyarakat di dalam omnibus law mengkategorikan masyarakat adalah yang terkena dampak langsung yang relevan, dan tidak ada lagi tempat untuk pemerhati lingkungan dalam penyusunan amdal. Hanya saja, pemerintah menambahkan satu ayat baru dalam Pasal 26 ini. Bunyinya yaitu "Ketentuan lebih lanjut mengenai proses pelibatan masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP)” (Muhammad Ilham Nur, dkk, 2021).
Diakhir kesimpulan bahwa UU Cipta Kerja memberikan kompas yang terbalik dengan semangat untuk menciptakan kelangsungan lingkungan hidup, terlihat dengan skema kebijakan yang sentralistik, kemudian mekanisme AMDAL tidak menjadi Demokratis, kemudian Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat yang sudah dihilangkan. Sehubungan dengan putusan MK atas UU Cipta Kerja yaitu Inkonstitusional bersyarat, hal tersebut bisa menjadi tolak ukur atas bahayanya UU Cipta Kerja bila diterapkan, maka perlunya kajian ulang yang menyeluruh khususnya terkait dengan kebijakan lingkungan hidup yang saat ini sudah terjadi kerusakan yang mengerikan dan itu akan menjadi catatan bagi generasi yang akan datang bila tidak dikoreksi dan dibenahi yang mengacu kepada Pancasila dan UUD 1945 yang berpihak kepada kepentingan rakyat luas bukan segelintir orang.
Itmaamul Wafaa Samudra (Mahasiswa MIH Universtias Gadjah Mada)
Penulis
Krestiana Yuli Astutik
Sayyidi Fajri Ahmad
Krisna Eka
Arsyda Naya Soesanto