Pendahuluan
Akhir-akhir ini nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terus merosot. Sampai tulisan ini disusun, nilai Rupiah sempat menyentuh angka 12.000 per dollar AS. Banyak alasan dikemukakan para pengamat yang diklaim sebagai penyebab terpuruknya rupiah. Mulai dari fenomena banyaknya perusahaan yang membagikan dividen dan pembayaran utang dalam bentuk dollar yang jatuh tempo hingga alasan ajang kampanye pilpres yang membuat para pebisnis khawatir dan melakukan aksi korporasi dini. Solusi penguatan rupiah pun banyak ditawarkan para pakar diantaranya dengan melakukan hedging nilai untuk menjaga BI sebagai otoritas “penjaga rupiah” tidak terus kedodoran. Namun dari solusi yang banyak ditawarkan terlihat masih bersifat sementara dan emergency action. Belum terlihat upaya yang lebih fundamental dan terobosan dari pemerintah dan pemegang otoritas. Padahal fenomena penurunan rupiah seringkali terjadi dan seringkali pula meresahkan masyarakat karena sudah pasti diikuti dengan kenaikan harga-harga barang terutama barang import. Celakanya, negara kita saat ini menjadi surga bagi pasar barang-barang import, tidak terkecuali barang yang menjadi kategori kebutuhan pokok masyarakat. Tentu hal ini juga memberi beban kenaikan anggaran negara terutama bagi barang-barang yang masih menjadi beban subsidi negara.
Salah satu alternatif penyelesaian yang bisa ditawarkan adalah dengan mencoba melihat kembali perangkat aturan yang menjadi landasan operasional dan dasar legitimasi bagi berlakunya lalu lintas devisa dan system nilai tukar yaitu UU 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (selanjutnya UU LLD). Mengingat UU ini telah berumur cukup lama dan lahir pasca krisis ekonomi 1998 dimana dilatarbelakangi oleh keadaan eksisting ekonomi saat itu yang tentunya telah jauh berbeda dengan keadaan negara sekarang ini. Kondisi saat itu dimana kebutuhan akan masuknya arus modal asing sangat tinggi untuk mempercepat recovery ekonomi pasca krisis. Tak ayal pengaturannya bersifat lebih terbuka (open policy) dan kurang memberi batasan (barrier) tertentu yang bersifat proteksi ke dalam. Keadaan ekonomi yang kian membaik yang ditandai oleh angka pertumbuhan yang cukup signifikan namun di sisi lain belum memberikan efek balik terhadap ketersediaan cadangan devisa dalam negeri, telah menumbuhkan kesadaran adanya kebutuhan untuk mengawal rupiah lebih baik. Seperangkat aturan pun ditelorkan untuk menjaga rupiah berupa Peraturan Bank Indonesia yang mengatur tentang devisa hasil ekspor dan devisa utang luar negeri. Walaupun keefektifan peraturan tersebut masih dipertanyakan menyangkut implementasinya di lapangan yang masih banyak menuai protes dan keengganan dunia usaha. Selain kesiapan perangkat system pendukung di dalam negeri yang masih diragukan, juga terdapat masalah legitimasi bentuk hukum peraturan dalam hal pembebanan sanksi kepada masyarakat.
Pembahasan
Permasalahan pertama dan utama adalah mengenai seberapa jauh perlu dilakukan perubahan terhadap UU LLD. Apakah perlu dilakukan revisi yang bersifat menyeluruh atau sekedar menambal kekurangan yang ada. Mengingat UU LLD merupakan dasar dari rezim pengelolaan devisa dan nilai tukar yang kita anut. Perubahan pada rezim yang dianut tentu mempengaruhi tidak hanya ke dalam tetapi juga ke luar, yaitu tentang bagaimana perspektif dunia internasional melihat perubahan kebijakan nasional domestik. Perubahan yang drastis terhadap rezim yang dianut dikuatirkan akan membuat turbulensi perekonomian yang dampaknya bisa mengguncang stabilitas ekonomi dalam negeri. Penguatan terhadap rezim devisa bebas yang dianut dianggap langkah yang lebih bijak dalam situasi perekonomian dunia yang tidak menentu. Penerapan rezim devisa bebas oleh pemerintah sesungguhnya bukan baru dimulai sejak disahkannya UU LLD pada tahun 1999. Berdasarkan penjelasan umum UU LLD, penerapan rezim devisa bebas telah dimulai sejak 1970 dengan maksud untuk meningkatkan devisa sebagai salah satu alat dan sumber pembiayaan penting dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional. Keberlanjutan rezim devisa bebas ini kemudian makin dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, sebagai pengganti dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1964 Tentang Peraturan Lalu-Lintas Devisa yang menerapkan rezim devisa terkontrol.
Berkaca pada negara-negara tetangga dalam lingkup ASEAN telah lebih dulu menerapkan rezim devisa yang lebih terkendali/terkontrol. Sebagai perbandingan, Singapura memiliki aturan yang membatasi transaksi valuta asing dan juga Malaysia melakukan pengontrolan terhadap arus keluar masuk devisa (Republika, Tajuk, Edisi 14 Nopember 2008). Selain kedua negara tersebut, beberapa negara juga telah menerbitkan aturan pembatasan devisa di antaranya Thailand, Filipina, India dan Brasil (Cadangan Devisa Tergerus, BI Siapkan Tiga Jurus”, http://ekonomi.kompasiana.com, 11 Oktober 2011)
Berdasarkan UU LLD, Indonesia sampai saat ini masih menerapkan rezim devisa bebas berlandaskan Pasal 2 ayat (1) UU LLD yang menyatakan setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa. Kepemilikan dan penggunaan devisa secara bebas ini oleh beberapa kalangan dianggap penerapannya terlalu bebas. Walhasil dalam prakteknya banyak devisa ekspor yang tidak kembali ke dalam negeri alias parkir di luar negeri dan transaksi ekspor Indonesia lebih banyak diselesaikan di luar negeri. Dalam menghadapi fenomena tersebut sebenarnya BI telah mengantisipasi dengan menerbitkan beberapa Peraturan Bank Indonesia (PBI) pada tahun 2011 yang bertujuan untuk mengendalikan devisa, khususnya devisa hasil ekspor dan utang luar negeri Peraturan Bank Indonesia No. 13/20/PBI/2011 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri(PBI No.13/22/PBI/2011 Kewajiban Pelaporan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri ; Peraturan Bank Indonesia No. 13/21/PBI/2011 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank; Peraturan Bank Indonesia No. 13/15/PBI/2011 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank). Oleh BI sendiri kebijakan yang dikeluarkan tersebut tidak dimaksudkan untuk merubah rezim devisa bebas tetapi merupakan antisipasi dari defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang angkanya kian membesar, yang rata-rata dua tahun belakangan nilainya mencapai USD 29,5 miliar (Bankir; Percuma BI Atur Lalu Lintas Devisa Kalau Bank Tidak Siap”, http://nasional.kontan.co.id,12 September 2011). Namun penerbitan beberapa PBI terkait dengan Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan Devisa Utang Luar Negeri (DULN) dinilai masih mengandung beberapa kelemahan diantaranya tidak mewajibkan eksportir dan debitur untuk berapa lama menyimpan DHE dan DULN tersebut di perbankan dalam dunia usaha yang menolak diberi sanksi dengan instrumen hukum PBI karena dianggap bukan undang-undang.
Celah-celah Penguatan UU LLD
Opsi penguatan UU LLD sesungguhnya dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama; yaitu penguatan terhadap rezim devisa bebas itu sendiri. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa penggunaan devisa secara bebas dalam UU LLD dan pembatasannya dalam perangkat aturan PBI memiliki beberapa kelemahan. Kepemilikan dan penggunaan devisa secara bebas dalam beberapa aspek perlu diberi rambu-rambu yang dimaksudkan untuk memberi batasan. Wacana untuk mengadopsi pengaturan PBI mengenai kewajiban bagi eksportir untuk menerima devisa hasil ekspor maupun bagi debitur utang luar negeri untuk menarik devisa utang luar negeri melalui bank devisa nasional perlu menjadi pertimbangan bersama. Adanya aturan ini dimaksudkan selain untuk memastikan bagi eksportir dan debitur utang luar negeri untuk menyimpan uangnya di dalam negeri sehingga cadangan devisa nasional meningkat juga memberi keuntungan kepada dunia perbankan nasional, tentunya perbankan nasional diharapkan berbenah diri untuk menangkap peluang tersebut termasuk dengan paket-paket insentif yang dapat ditawarkan kepada dunia usaha. Hanya saja mengenai perlukah ditetapkan batasan waktu sampai berapa lama kewajiban menahan devisa di bank devisa nasional masih perlu kajian lebih mendalam lagi. Hal ini karena pertimbangan dunia bisnis yang memerlukan fleksibilitas dalam berusaha dan dinamisnya perkembangan bisnis global. Selain itu, untuk menjaga ketersediaan cadangan devisa bagi negara dan menghindari pelarian devisa ke luar negeri, juga perlu dipertimbangkan adanya kewajiban pemilik devisa yang berada di bank devisa nasional untuk tidak menarik devisanya dalam jangka waktu tertentu pada saat krisis keuangan nasional terjadi. Untuk hal ini perlu ditetapkan terlebih dulu definisi mengenai krisis keuangan itu sendiri dan penetapan kapan selesainya krisis, karena bagaimanapun aspek kepastian juga sangat diperlukan dalam dunia bisnis.
Kedua; yaitu penguatan pada aspek pengawasan kegiatan lalu lintas devisa, baik yang menyangkut pelaporan kegiatan lalu lintas devisa maupun pengawasan penggunaan rupiah di perbatasan negara. Dalam hal pelaporan kegiatan lalu lintas devisa, setiap penduduk diwajibkan memberikan keterangan dan data yang diperlukan bagi otoritas pengawas (BI) untuk melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap setiap kegiatan lalu lintas devisa. Hal ini penting agar informasi yang diperoleh dapat digunakan secara maksimal guna mengantisipasi dan mengambil langkah dini yang diperlukan dalam pengambilan kebijakan terkait moneter. Informasi ini juga dapat digunakan oleh otoritas pengawas keuangan lainnya yang memerlukan. Oleh karenanya, pembentukan sistem informasi bersama tentang kegiatan lalu lintas devisa juga dapat menjadi pertimbangan. Namun tidak boleh dilupakan aspek kerahasian data dan informasi yang diperoleh guna menjaga kepentingan pelapor. Di samping itu, penguatan pengawasan terhadap penggunaan mata uang asing di perbatasan terluar negara juga perlu dilakukan mengingat masih maraknya pelanggaran hukum yang terjadi terhadap UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang mewajibkan penggunaan mata uang nasional di wilayah NKRI. Untuk itu diperlukan pengaturan yang makin mengoptimalkan koordinasi dan kerjasama antar otoritas terkait di perbatasan. Tujuannya tidak lain yaitu untuk memperkuat nilai rupiah itu sendiri dan terpantaunya peredaran valuta asing di dalam negeri.
Ketiga; mengenai pengaturan kegiatan perdagangan valuta asing (valas). Walaupun secara nasional nilai transaksi valas yang dilakukan pedagang valas (money changer) tidak terlalu signifikan - hanya kurang dari 2% - tetapi pengaturan pedagang valas tetap penting. Selain alasan penertiban usaha, pengaturan terhadap para pedagang valas juga diperlukan dalam upaya turut memelihara dan mendukung pencapaian stabilisasi nilai rupiah serta upaya menciptakan iklim usaha yang lebih sehat dan bertanggung jawab serta kegiatan usaha yang berkesinambungan. Pedagang valuta asing sebagai lembaga penunjang sektor keuangan memiliki peranan yang cukup strategis, khususnya dalam perkembangan pasar valuta asing domestic. Keterlibatan pedagang valuta asing juga diperlukan dalam turut serta mendukung program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Terhadap keberadaan pedagang valas baik bank dan non bank perlu dilakukan pengawasan oleh otoritas pengawas, mulai dari izin, pelaporan kegiatan usaha, dan kegiatan lalu lintas devisa yang dilakukannya.
Penutup
Perubahan UU LLD telah menjadi amanat dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010-2014 dan telah masuk daftar urut no. 185 yaitu RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Walaupun diyakini bahwa perubahan yang dapat dilakukan terhadap UU LLD bersifat minimalis berupa penguatan terhadap rezim devisa bebas yang dianut sekarang, perubahan terhadap UU tersebut tetap penting dilakukan. Hal ini mengingat selain umur UU yang cukup lama dan kondisi ekonomi saat ini yang sudah jauh berbeda, secara regional pun banyak negara yang juga telah melakukan kontrol terhadap lalu- lintas devisanya. Kepentingan ekonomi nasional memang perlu terus dijaga, namun penguatan cadangan devisa nasional juga perlu mendapat perhatian. Opsi pengenaan sanksi kepada pihak- pihak yang melanggar dapat diterapkan demi kepentingan bangsa yang lebih besar. Bangsa kita telah banyak mengambil pelajaran dari krisis ekonomi dan moneter yang telah menimpa di waktu lalu. Tentu kita tidak mau kejadian tersebut terulang kembali di masa-masa mendatang. Langkah antisipasi berupa penguatan rezim devisa bebas melalui perubahan UU LLD sudah sepatutnya dan saatnya dilakukan.
Chairul Umam (Perancang Undang-undang Bidang Ekonomi dan Keuangan, Sekretariat Jenderal DPR RI)
Penulis
Yusuf Randi
Caecilia Aletheia
Natasya Ayu Savira
I Wayan Agus Eka