Rekonstruksi idealisme merupakan bagian yang sangat penting dalam reformasi hukum, khususnya dalam upaya memberantas mafia hukum di Indonesia. Rekonstruksi ini tidak hanya perlu dilakukan di dalam lembaga penegakan, tetapi perlu juga bagi seluruh intelektual. Hal ini sangat penting mengingat hukum merupakan sebuah sistem yang terbangun dari setidaknya substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum, di mana intelektual memiliki peran besar di dalamnya. Sayangnya beberapa intelektual justru menunjukkan gejala sebaliknya dengan menolak menjadi saksi ahli di pengadilan dengan alasan tidak dibayar ketika memberi kesaksian.
Keberhasilan peranan intelekual dalam pelaksanaan reformasi hukum tidak bisa dilepaskan dari dukungan orientasi nilai budaya masyarakat. Dalam hal ini, kaum intelektual itu harus bersikap, berperilaku, dan bertindak sesuai dengan orientasi nilai budaya yang mendukung reformasi hukum Indonesia. Sesuai dengan hal tersebut, terdapat setidaknya tiga hal yang diharapkan dapat diperankan oleh golongan intelektual. Pertama, memperluas pendidikan dan pencerdasan kehidupan bangsa yang memperkuat peranan golongan terpelajar dalam perubahan kemasyarakatan dan pernerintahan. Kedua, perlu menumbuhkan kembali idealisme di kalangan intelektual. Ketiga, memperluas bentuk-bentuk pengabdian profesionalisme (M.Dawam Rahardjo, 1993:71). Kedua
Ahli berbeda dengan Saksi. Berdasarkan Pasal 1 angka (26) Undang-
Dari hal tersebut di atas jelas sekali perbedaan antara Saksi dan Ahli. Saksi memberikan keterangan berdasarkan sesuatu yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri sedangkan Ahli memberikan keterangannya berdasarkan keahlian khusus yang dimilikinya. Dengan demikian penggunaan istilah Saksi Ahli dalam perkara pidana adalah istilah yang tidak tepat. Oleh karena Saksi berbeda dengan Ahli, maka Ahli bukanlah subyek hukum yang berhak mendapatkan perlindungan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, padahal seharusnya Ahli berhak pula mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana halnya perlindungan yang diberikan kepada Saksi.
Berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku ditegaskan bahwa baik Keterangan Ahli maupun Keterangan Saksi dalam perkara pidana adalah sebagai alat bukti yang sah, oleh karena itu sudah seharusnya perlindungan hukum sebagaimana diberikan kepada Saksi diberikan pula kepada Ahli. Perlindungan hukum diberikan kepada Ahli hanya sekilas disebutkan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf
Mengenai masalah perlindungan terhadap Ahli juga diatur dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003 yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Anti Korupsi, 2003). Di dalam Pasal 32 ayat (1) Konvensi tersebut disebutkan bahwa Setiap Negara Pihak wajib mengambil tindakan-tindakan yang tepat sesuai dengan sistem hukum nasionalnya dan dalam kewenangannya untuk memberikan perlindungan yang efektif dari kemungkinan pembalasan atau intimidasi bagi para saksi dan ahli yang memberikan kesaksian mengenai kejahatan-kejahatan yang ditetapkan sesuai dengan Konvensi ini dan, sebagaimana layaknya, bagi keluarga mereka dan orang-orang lain yang dekat dengan mereka.
Pembayaran Ahli
Sebelum menjawab apakah Ahli yang dimintai keterangannya dalam perkara pidana baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan maupun dalam persidangan di Pengadilan berhak untuk mendapatkan pembayaran atau tidak, maka terlebih dahulu diuraikan apa yang menjadi hak dan kewajiban dari seorang Ahli berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Kewajiban Ahli adalah sebagai berikut: Pertama, Pasal 179 ayat (1)
Sedangkan hak Ahli adalah mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana telah tersebut di atas. Selain itu, seorang Ahli mempunyai hak sebagaimana tersebut di dalam Pasal
Berdasarkan pasal tersebut jelas disebutkan bahwa Ahli berhak untuk mendapatkan pembayaran. Jadi Ahli pada saat tahap penyidikan dan di pengadilan dalam setiap perkara pidana berhak untuk mendapatkan pembayaran, namun mengenai jumlah besarnya berapa yang harus dibayarkan kepada Ahli belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Oleh karena itu untuk adanya suatu kepastian hukum Pemerintah membuat aturan yang jelas mengenai besarnya jumlah pembayaran
Belum adanya peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai siapa yang berkewajiban untuk membayar Ahli tersebut, namun untuk sebagai bahan referensi pembentukan peraturan yang mengatur hal tersebut dapat kita lihat dari peraturan dalam ranah hukum perdata.
Di dalam Pasal 49 ayat (1-2)
Dari pasal tersebut jelas bahwa kewajiban untuk membayar Ahli dibebankan kepada pihak yang meminta. Dasar diaturnya hal ini adalah bahwa pada dasarnya pihak yang meminta didatangkan Ahli adalah pihak yang mungkin posisinya menjadi lebih kuat. Hal ini mungkin dapat diterapkan dalam perkara pidana, dimana pihak Penyidik, Penuntut Umum atau Tersangka atau Terdakwa bisa mendatangkan Ahli dengan kepentingan untuk menguatkan tuntutan atau dakwaan atau pembelaan dari mereka dan tentunya kewajiban pembayaran dibebankan pada pihak yang mendatangkan, karena dengan didatangkannya Ahli sedikitnya ikut membantu posisi pihak yang mendatangkan Ahli.
Permasalahannya adalah tidak semua tersangka atau terdakwa mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup untuk membayar Ahli yang mereka datangkan, sehingga dikarenakan ketidakmampuan ekonomi para tersangka atau terdakwa tersebut tidak mendapatkan keterangan dari Ahli yang mungkin menguatkan posisi mereka. Hal inilah yang perlu mendapatkan pengaturan pula sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Ketentuan di dalam Pasal 16 ayat (1-3) Peraturan Mahkamah Agung No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan dapat kita rujuk untuk memperkaya bahan pembentukan peraturan mengenai kepada siapa dibebankan kewajiban untuk membayar Ahli. Di dalam PERMA tersebut dikatakan bahwa (1) Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu menyelesaikan perbedaan pendapat di antara para pihak. (2) Para pihak harus lebih dahulu mencapai kesepakatan tentang kekuatan mengikat atau tidak mengikat dari penjelasan dan atau penilaian seorang ahli. (3) Semua biaya untuk kepentingan seorang ahli atau lebih dalam proses mediasi ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.
Dari ketentuan tersebut jelas bahwa biaya pemanggilan ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan, namun ketentuan ini akan sangat sulit untuk diimplementasikan dalam perkara pidana, hal ini disebabkan posisi antara tersangka/terdakwa dengan penyidik/penuntut dalam kedudukan yang tidak seimbang sehingga akan sangat sulit sekali terjadi kesepakatan diantaranya.
Oleh karena belum adanya peraturan mengenai siapa yang berkewajiban untuk membayar Ahli, maka perlu dicari formulasi peraturan yang tepat yang mengakomodir pihak yang berkepentingan terutama kepentingan pihak tersangka/terdakwa yang secara ekonomi lemah.
Meski peraturan menjadi bagian penting dalam penguatan peran Ahli, tetapi secara moral sebenarnya terdapat tanggung jawab yang besar dari seorang Ahli. Sebagai bagian dari komunitas intelektual, seorang Ahli perlu mengikis keengganan berderma ilmu kepada masyarakat dan tetap memiliki empati sesama manusia dan hidup selaras dengan sesamanya. Hal ini untuk mengantisipasi pendapat Durkheim bah- wa pada masyarakat yang semakin modern, rasa individunya akan semakin meningkat, dan rasa kesadaran akan kelompoknya semakin rendah (Koentjaraningrat, 1980: 90-92). Sebagaimana ungkapan Geery Spence “…tanpa budi pekerti yang luhur, para ahli (intelektual) hukum hanya akan menjadi monster dari pada malaikat penolong”.
Arfan Faiz Muhlizi (Analis Hukum di BPHN)
Penulis
Yudistira Nurchairiaziz Simbolon
Ahmad Arifin
Ilman Nurfathan
Muhamad Mahrus Setia Wijaksana (Analis Penuntutan (Calon Jaksa) Pada Cabang Kejaksaan Negeri Tojo Una-una di Wakai)