Politik dinasti pada saat ini sudah bukan merupakan hal yang baru terjadi dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada). Adanya fenomena kelompok atau orang tertentu yang masih terkait hubungan keluarga ataupun berada dalam satu garis keturunan yang sama dan menjalankan kekuasaan politik, sebetulnya lebih cocok ke ciri-ciri dari monarki dan bukan demokrasi. Politik dinasti yang ada saat ini merupakan wujud patrimonial karena ikatan kekerabatan menjadi utama dalam regenerasi politik dibandingkan kemampuan ataupun prestasi sehingga tidak sejalan good governance.
Bilamana membahas good governance, hingga kini masih terdapat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (UU No. 28 Tahun 1999). Selama ini undang-undang ini menurut pandangan Penulis lebih banyak dianggap sebagai undang-undang “jargon” saja. Hal ini dikarenakan sebetulnya undang-undang ini jika dipahami maksudnya, direnungi semangat yang terkandung di dalamnya, dan dijalankan dengan baik dalam kehidupan sehari-hati, Penulis yakin fenomena seperti politik dinasti sejatinya tidak akan terus terjadi.
Salah satu yang menurut Penulis sangat “dekat” dengan politik dinasti dalam konteks UU No. 28 Tahun 1999 yakni mengenai nepotisme. Dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 28 Tahun 1999 dinyatakan bahwa “Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.” Kemudian dalam Pasal 5 angka 4 UU No. 28 Tahun 1999 dinyatakan bahwa “Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme”. Pasal-pasal tersebut di atas menurut Penulis sudah sangat tajam mengingatkan penyelenggara negara baik itu yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sebagaimana amanat Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun
Lebih lanjut, bahkan dalam Penjelasan Umum paragraf ketiga dari UU No. 28 Tahun 1999 secara eksplisit dinyatakan bahwa “pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggungjawab tersebut tidak hanya berdampak negatif di bidang politik, namun juga dibidang ekonomi dan moneter, antara lain terjadinya praktek penyelenggaraan negara yang lebih menguntungkan kelompok tertentu dan memberi peluang terhadap tumbuhnya korupsi, kolusi dan nepotisme”. Dalam penjelasan umum ini terlihat bahwa undang-undang ini sangat menginginkan terwujudnya penyelenggaraan negara yang bersih dan hal ini juga merupakan amanat dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Adapun hal yang menurut Penulis mungkin kendala dalam mempersepsikan dinasti politik sebagai bentuk lain dari nepotisme adalah ketika menggunakan Pasal 1 angka 5 UU No. 28 Tahun 1999, dimana terdapat frasa “melawan hukum”. Kalau dinilai dari sisi menguntungkan, maka sudah jelas menguntungkan atau setidak-tidaknya ada potensi untuk menguntungkan, baik keluarga ataupun kroninya. Kalau kita masuk ke dalam konteks Pilkada, apakah benar tidak ada norma yang mengatur mengenai dinasti politik? Sebenarnya pernah ada, yakni dahulu diatur dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU No. 8 Tahun 2015). Adapun selengkapnya norma terkait dalam undang-undang tersebut yakni “Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: …
r. tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.” Lebih lanjut, dalam penjelasan pasal Pasal 7 huruf r tersebut, dijelaskan bahwa “Yang dimaksud dengan “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.”
Penulis sebagai perancang undang- undang yang dahulu ditugaskan dalam Undang-Undang ini dapat berpendapat bahwa pembentuk undang-undang pada waktu itu telah mempersiapkan norma ini suatu upaya untuk menghilangkan dinasti politik. Upaya pembentuk undang- undang dalam membentuk norma ini penting karena telah banyak terjadi dinasti politik di sejumlah daerah dimana hasil dari Pilkada di daerah-daerah tersebut menjadi milik keluarga atau keturunan tertentu. Perilaku yang sudah pasti terdapat keinginan untuk menguntungkan keluarga atau kelompok tertentu seperti ini juga telah banyak mengakibatkan perilaku korupsi yang merugikan keuangan negara.
Untuk itu maka disepakatilah norma Pasal 7 huruf r UU No. 8 Tahun 2015 yang semangatnya adalah seseorang yang maju sebagai calon dalam PIlkada tidak boleh memiliki hubungan keluarga baik langsung maupun tidak langsung. Adapun jika kita telaah unsur-unsur dari norma tersebut yakni sebagai berikut, pertama, tidak memiliki hubungan daerah dengan petahana. Kedua, tidak memiliki ikatan perkawinan dengan petahana. Ketiga, tidak memiliki hubungan berupa garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan. Jadi sebetulnya kriteria dari pembentuk undang-undang sebetulnya sangat jelas dan logis, hal ini semata-mata agar seorang calon yang maju dalam kontestasi PIlkada tersebut bisa bebas dari pengaruh kekuasaan yang dimiliki oleh sang petahana selaku penyelenggara negara di daerah.
Dengan adanya pengaturan maka diharapkan tidak tertutup kesempatan bagi siapapun yang merupakan kader handal dan berkualitas untuk menjadi pemimpin di daerah. Dampak dari dinasti politik jika tidak diminimalisir dengan adanya norma seperti yang ada di Pasal 7 huruf r UU No. 8 Tahun 2015 ini maka sirkulasi kekuasaan hanya akan berputar di lingkungan keluarga para pejabat itu saja dan sangat potensial nantinya terjadi penyalahgunaan kepentingan dalam menjalankan tugas sebagai penyelenggara negara.
Adapun norma ini pada saat ini sudah tidak ada lagi, karena Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya yakni Putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015. Jika Penulis mencoba mencermati pendapat yang digunakan oleh MK dalam Putusan tersebut, terlihat bahwa MK lebih banyak menggunakan pola pikir Hak Asasi Manusia (HAM) dalam membangun argumentasinya. MK berpandangan bahwa Pasal 7 huruf r UU No. 8 Tahun 2015 dianggap telah bertentangan dengan HAM karena telah membatasi hak seseorang untuk maju sebagai calon dalam Pilkada. Padahal jika melihat latar belakang pemohon dalam Perkara MK Nomor 33/PUU-XIII/2015, jelas merupakan seseorang yang berpengaruh karena memiliki jabatan seprang anggota DPRD dan seorang anak dari bupati petahana di suatu daerah pada waktu itu. Dengan adanya Pasal 7 huruf r UU No. 8 Tahun 2015 sudah jelas maka Pemohon Perkara MK Nomor 33/PUU-XIII/2015 tidak dapat mencalonkan diri sebagai calon dalam Pilkada karena memiliki hubungan darah secara langsung bahkan dengan petahana. Alhasil pada akhirnya MK mengabulkan permohonan tersebut dan Pasal 7 huruf r UU No. 8 Tahun 2015 tidak memiliki kekuatan hukum lagi.
Menurut pandangan Penulis, adalah keliru jika menggunakan argumentasi HAM dalam mendalami persoalan ini. Politik dinasti adalah persoalan serius yang sudah lama terjadi dan dampaknya sangat luas, karena pemimpin yang terpilih hasil dari kontestasi Pilkada tersebut kehadirannya baik positif maupun negatif akan dirasakan secara langsung oleh rakyat. Seseorang seperti halnya Pemohon Perkara MK Nomor 33/PUU-XIII/2015 sudah pasti sangat diuntungkan karena mendapatkan pengaruh langsung dari petahana. Pengaturan seperti yang ada di dalam Pasal 7 huruf r UU No. 8 Tahun 2015 justru sangat bermanfaat untuk orang banyak karena dengan adanya norma ini justru akan meminimalisir dampak negatif dari akibat negatif dinasti politik yang sudah pasti mengincar keuntungan apapun karena patrimonial semata.
Jika pola pikir yang digunakan dari HAM seseorang yakni pemohon Perkara MK Nomor 33/PUU-XIII/2015, sudah jelas diri pribadinya akan merasa dirugikan, namun seperti halnya penjelasan Pasal 7 huruf r UU No. 8 Tahun 2015 ada frasa “jeda 1 (satu) kali masa jabatan”, jadi hak politik seseorang tersebut tidaklah tertutup selamanya jika ingin maju sebagai penyelenggara negara di daerah. Kecuali memang jika seseorang tersebut sudah jelas menginginkan adanya dampak ataupun pengaruh secara langsung karena memiliki hubungan darah dengan petahana, Dari sudut padang yang seperti ini pun sudah terlihat adanya niatan yang tidak baik karena hasrat dalam mengejar jabatan tersebut sejak awal sudah salah karena mengincar keuntungan pribadi. Dari sisi HAM pun ketika ini terjadi sejatinya terjadi pelanggaran yakni HAM orang banyak di daerah seseorang tersebut maju dalam kontestasi PIlkada. Jadi, memang keliru jika pola pikir HAM yang digunakan karena ada penilaian HAM dari sisi seseorang yang merasa dirugikan karena dia seorang anak petahana dan ada sisi HAM orang banyak yang sebetulnya di dalamnya terdapat peluang ataupun potensi kader-kader yang berprestasi namun karena adanya dinasti politik menjadi terhalangi.
Dengan pola pikir yang semacam ini maka Penulis memandang penting kiranya untuk ditinjau ulang bagi pada pembentuk undang-undang agar mengkaji kembali pentingnya untuk membuat norma yang membatasi perilaku dinasti politik. Penulis bahkan berpendapat bahkan ke depan norma dinasti politik harus dibuat lebih luas, tidak hanya terbatas hanya kaitannya dengan petahana yakni kepala daerah atau wakil kepala daerah yang sedang menjabat di daerah tertentu, melainkan juga pejabat di tingkat pusat. Dalam hal ini maka siapapun penyelenggara negara tidak dapat menguntungkan pribadi, keluarga, ataupun kroninya di atas kepentingan negara ataupun orang banyak seperti semangat UU No. 28 Tahun 1999. Hal ini semata-mata guna mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan tentunya bersih dari korupsi, kolusi, dan tentunya sesuai tema tulisan kali ini mengenai dinasti politik yakni nepotisme. Pada akhirnya Penulis menggunakan salah satu dalil hukum yang begitu universal dari dalil Lord Acton yakni “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”, mudah-mudahan suatu saat nanti dinasti politik akan memiliki solusinya.
Achmadudin Rajab (Tenaga Fungsional Perancang Undang-Undang Pertama dengan pembidangan Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia di Pusat Perancangan Undang-Undang dalam Badan Keahlian pada Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia)
Penulis
Sri Muliana Azhari
Vinda Ramadhanty
Enjelita Tamba
Ulfia Pamujiningsih