Akhir tahun 2019, publik dihebohkan dengan pemberitaan media yang menyebutkan Asuransi Jiwasraya mengalami tekanan likuiditas sehingga ekuitas perseroan tercatat negatif Rp23,92 triliun pada September 2019. Selain itu, Jiwasraya membutuhkan uang sebesar Rp32,89 triliun untuk kembali sehat. Bahkan, pada Januari 2020 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menemukan manipulasi pencatatan laporan keuangan dan pencatatan laba fiktif selama bertahun-tahun.
Menurut catatan BPK, kerugian negara dalam kasus Jiwasraya mencapai Rp 16,81 triliun. Berbeda dengan versi BPK, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) memperkirakan kerugian negara akibat kasus tindak pidana korupsi yang terjadi pada PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) justru lebih besar, yaitu mencapai Rp30 triliun. Kasus ini berakhir pada putusan majelis hakim tanggal 12 Oktober 2020. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menyatakan para terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan menjatuhkan vonis seumur hidup kepada mantan direksi Jiwasraya, yaitu Hendrisman Rahim selaku Direktur Utama, Hary Prasetyo selaku Direktur Keuangan, Syahmirwan sebagai Kepala Divisi Investasi dan seorang pihak swasta Joko Hartono Tirto.
Namun, ada hal yang menarik untuk dicermati. Dalam nota pembelaannya, para terdakwa mendalilkan bahwa apa yang mereka lakukan sudah sesuai dengan Business Judgment Rule (BJR). Para direksi menyatakan segala bentuk pengelolaan investasi dikaji Jiwasraya dalam kurun waktu 2008-2018 bersama-sama atau kolektif kolegial. Para direksi menyatakan bahwa dalam menjalankan tugasnya sudah sesuai dengan hukum yang berlaku, iktikad baik dan penuh kehati-hatian. Semua yang dilakukan direksi didasari pertimbangan yang terbaik bagi perseroan sehingga dengan dalih penerapan BJR, para direksi seharusnya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas gagal bayar klaim dan kerugian Jiwasraya.
Kemudian, timbul pertanyaan apa itu BJR? Apakah indikatornya untuk menakar bahwa organ perseroan (direksi dan komisaris)telah menerapkan BJR dalam pengurusan perseroan? Bagaimanakah konsekuensi penerapan BJR terhadap tanggung jawab organ perseroan? Beberapa pertanyaan tersebut menarik untuk didiskusikan khususnya bagi organ perseroan agar terhindar dari permasalahan hukum di kemudian hari.
Black’s Law Dictionary mendefinisikan BJR sebagai the presumption that in making business decision not involving direct selfinterest or selfdealing, corporate directors act in the honest belief that their actions are in the corporation best interest. Artinya, BJR adalah suatu tindakan atau membuat suatu keputusan dalam bisnis yang dilakukan oleh organ perseroan (Direksi dan Komisaris) yang tidak mengutamakan kepentingan diri sendiri, dilakukan dengan kejujuran dan mempertimbangkan yang terbaik bagi perusahaan. Dengan kata lain, melalui penerapan doktrin BJR, Direksi tidak dapat langsung disalahkan atas pengurusan perseroan apabila Direksi telah menjalankan pengurusan perseroan sesuai dengan hukum, iktikad baik, tidak menguntungkan diri sendiri, jujur dan penuh kehati-hatian meskipun keputusan yang diambil Direksi dapat merugikan perseroan.
Semangat yang diusung dalam doktrin BJR adalah untuk memberikan perlindungan hukum kepada organ perseroan dalam menjalankan pengurusan perseroan. Hal ini lantaran, direksi dan komisaris selalu menjadi obyek pertanggungjawaban baik secara perdata maupun pidana apabila perusahaan merugi atau mengalami permasalahan hukum.
Doktrin yang berasal dari sistem Common Law ini diakomodir dalam hukum perusahaan Indonesia khususnya dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Undang- Undang PT). Indikator untuk menakar bahwa direksi telah menerapkan BJR dalam pengurusan perseroan disebutkan secara jelas pada Pasal 97 ayat (5) dan Pasal 114 ayat (5) Undang-Undang PT, yang menjadi indikator untuk menakar penerapan BJR oleh organ perseroan. Artinya, selama organ perseroan mampu membuktikan bahwa keputusan dan tindakan yang diambil dalam rangka BJR, maka direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi. Namun, berdasarkan ketentuan Pasal 97 ayat (2) dan pasal 92 ayat (1) terdapat tiga syarat yuridis BJR, yaitu itikad baik, penuh tanggung jawab dan untuk kepentingan perseroan (proper purpose). Selain itu, setiap melakukan tindakan dan proses pengambilan keputusan atas nama perseroan, organ perseroan harus tunduk pada Undang-Undang PT, ketentuan internal perusahaan dan Good Corporate Government.
Lantas, bagaimana dengan kasus Jiwasraya? Selama persidangan ditemukan fakta hukum bahwa para terdakwa melakukan penunjukan langsung pada empat manajer investasi yakni, PT. AAA Sekuritas, PT. Batavia Prosperindo Aset manajemen, PT. Dana Reksa Investment Management dan PT. Trimegah Sekuritas sebagai Manajer Investasi tanpa melalui rapat komite investasi dan beauty contest untuk pemilihan manajer investasi. Hal itu mengindikasikan bahwa para terdakwa tidak melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam mengambil keputusan strategis bagi perusahaan. Keputusan yang diambil juga tidak didasarkan pada iktikad baik, melainkan menguntungkan kepentingan pribadi direksi. Dugaan itu diperkuat dengan ditemukannya fakta hukum adanya sejumlah penerimaan para terdakwa berupa uang, barang maupun bentuk lain termasuk sejumlah fasilitas dari manajer investasi. Hal itu diperparah dengan tindakan direksi yang menginvestasikan dana investasi Jiwasraya ke saham perusahaan yang memiliki kinerja kurang baik, sehingga menyebabkan gagal bayar. Para terdakwa juga tidak menjalankan perusahaan dengan penuh tanggung jawab. Hal ini terlihat dari laporan keuangan Jiwasraya yang dimanipulasi dari rugi menjadi untung. Akibatnya, negara dirugikan sebesar Rp16,8 triliun.
Dalam kasus Jiwasraya, prinsip BJR tidak dapat diterapkan untuk melindungi direksi dari jeratan hukum. Kerugian Jiwasyaraya dan kerugian negara dalam kasus tersebut disebabkan karena kesalahan direksi. Direksi Jiwasraya tidak melakukan pengurusan perseroan dengan iktikad baik dan kehati-hatian. Bahkan para direksi justru menguntungkan diri sendiri bukan kepentingan perseroan. Oleh karena itu, direksi Jiwasraya dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi. Para direksi Jiwasraya harus bertanggung jawab tidak hanya karena gagal dalam menjalankan fiduciary duty perusahaan namun juga kerugian negara yang ditimbulkan.
Yudho Taruno Muryanto (Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta)
Penulis
Caecilia Aletheia
Natasya Ayu Savira
I Wayan Agus Eka
Krisna Bayu Aji