Industri Financial Tecnology (Fintech) di Indonesia berkembang sangat pesat. Bahkan, banyak kalangan memprediksi berbagai jenis inovasi layanan keuangan dalam industri Fintech akan terus tumbuh. Selain karena surplus demografi, pengguna internet masyarakat Indonesia cukup tinggi. Menurut HootSuite dan We Are Social dalam laporannya yang bertajuk "Digital 2020" menyebutkan total pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 175,4 juta orang dengan penetrasi mencapai 64 persen.
Artinya, sebesar 64 persen penduduk Indonesia telah terkoneksi internet. Wimboh Santoso menambahkan, industri Fintech berkembang pesat karena didukung dengan 54 juta orang Indonesia yang belum memiliki rekening bank dan Fintech dianggap sebagai solusi karena lebih efisien dan mudah diakses dengan inovasi teknologi. Berbagai faktor tersebut membuat industri Fintech banyak peminat.
Pesatnya perkembangan industri Fintech dapat dilihat dari dua hal, yaitu jumlah penyelenggara Fintech dan volume
Kedua, volume transaksi Fintech sangatlah besar. Fintech Peer to Peer (P2P) Lending dapat mempresentasikan kondisi tersebut. Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Adrian Gunadi, menyebutkan bahwa sejak 2016 hingga akhir Juli 2020 total penyaluran pinjaman telah mencapai Rp116 triliun. Kemampuan industri Fintech
Namun, pertumbuhan industri Fintech saat ini menghadapi ancaman serius. Sebagaimana dikutip dalam laman hukumonline, Satgas Waspada Investasi (SWI) mengumumkan total entitas fintech lending ilegal yang ditangani sejak tahun 2018 sampai 31 Oktober 2019 sebanyak 1.773 entitas fintech lending ilegal. Jumlah tersebut berisiko terus bertambah seiring belum ada tindakan penangkapan pendiri usaha Fintech ilegal. Pada tahun 2020, Satgas telah menemukan 81 Fintech P2P Lending ilegal pada masa pandemi Covid 19 ini, di bulan April 2020. Sehingga total yang telah ditangani Satgas Waspada Investasi sejak tahun 2018 s.d. April 2020 sebanyak 2.486 entitas.
Maraknya entitas ilegal ini berbanding lurus dengan banyaknya aduan masyarakat terkait layanan Fintech. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat, hingga Februari 2019 telah menerima sekitar 3 ribu pengaduan masyarakat terkait Fintech. Selain LBH Jakarta, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menerima 426 pengaduan yang mengadukan 510 platform Fintech Peer to Peer lending selama periode Januari - Maret 2019. Mayoritas laporan yang masuk adalah mengenai minimnya informasi yang diberikan oleh pelaku usaha terkait proses pinjam meminjam, seperti besaran bunga, biaya administrasi. Kemudian terkait tingginya biaya bunga dan administrasi, proses penagihan yang didalamnya terdapat tindak pidana fitnah, penipuan, pengancaman dan penyebaran data pribadi hingga sampai pada pelecehan seksual.
Maraknya Fintech ilegal menyisakan pertanyaan masyarakat mengenai otoritas manakah yang memiliki kewenangan dalam pengaturan dan pengawasan Fintech. Selama ini publik menilai otoritas yang berwenang dalam pengaturan dan pengawasan industri Fintech adalah kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun ternyata tidak hanya OJK yang memiliki kewenangan dalam pengaturan dan pengawasan Fintech tetapi juga Bank Indonesia (BI). Pembagian kewenangan tersebut ditentukan berdasarkan jenis Fintech yang ada.
Menurut Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH), secara garis besar Fintech diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu (1) Sistem Pembayaran; (2) Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi; (3) Inovasi Keuangan Bersama (penyelesaian transaksi, penghimpunan modal, pengelolaan investasi, penghimpunan dan penyaluran dana, perasuransian, pendukung pasar, pendukung keuangan digital lainnya, dan/atau aktivitas jasa keuangan lainnya); (4) Urun Dana Melalui Penawaran Berbasis Saham (Equity Crowd Funding); dan (5) Wealth Management / Investment.
Terkait dengan Fintech sistem pembayaran, pengaturan dan pengawasannya berada dalam otoritas kewenangan BI. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2009, salah satu tugas dan kewenangan BI adalah mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Hal itu dipertegas dalam Peraturan Bank Indonesia No.19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Sistem pembayaran tersebut mencakup otorisasi, kliring, penyelesaian akhir, dan pelaksanaan pembayaran. Contoh Fintech dalam sistem pembayaran, antara lain penggunaan teknologi blockchain atau distributed ledger untuk penyelenggaraan transfer dana, uang elektronik, dompet elektronik, dan mobile payments.
Selain Fintech sistem pembayaran yang menjadi kewenangan BI, pengaturan dan pengawasan Fintech yang lain berada dalam kewenangan OJK. Kewenangan itu diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang OJK. Fintech secara khusus diatur dalam Peraturan OJK No.13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital Di Sektor Jasa Keuangan. Jenis Fintech yang berada dalam pengawasan OJK adalah semua jenis Fintech yang tidak terkait dengan sistem pembayaran seperti P2P Lending, penghimpunan modal, pengelolaan investasi, perasuransian, pendukung pasar, equity crowd funding dan berbagai aktivitas jasa keuangan lainnya.
Lantas, apa yang menjadi problematika dalam pengawasan industri Fintech di Indonesia? Pertama, pengawasan yang masih bersifat sub sektoral. Saat ini pengawasan Fintech yag terkait sistem pembayaran berada dalam pengawasan BI sedangkan Fintech yang tidak terkait sistem pembayaran berada dalam pengawasan OJK. Pada satu sisi, terdapat berbagai produk Fintech yang saling beririsan satu sama lain. Produk Fintech semakin sulit dibedakan karena masing-masing produk seperti menyatu. Selain itu, satu entitas penyelenggara Fintech bisa memiliki berbagai jenis Fintech. Artinya, kondisi ini membutuhkan model pengawasan yang tidak bersifat sub sectoral, melainkan kelembagaan secara keseluruhan.
Kedua, pengawasan Fintech membutuhkan payung hukum yang kuat. Selama ini industri Fintech baru sebatas diatur dalam PBI dan POJK. Peraturan yang masih bersifat internal itupun juga kurang memiliki daya mengikat bagi entitas Fintech ilegal. Artinya PBI dan POJK memiliki daya berlaku yang lemah, tidak bersifat memaksa dan lebih cenderung ke pengaturan yang bersifat administratif.
Diana Tantri Cahyaningsih (Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta)
Penulis
Caecilia Aletheia
Natasya Ayu Savira
I Wayan Agus Eka
Krisna Bayu Aji