Kendaraan bermotor listrik (KBL) atau kendaraan listrik belum lazim digunakan oleh banyak orang di Indonesia, hingga bulan September 2020 Kementerian Perhubungan telah mengeluarkan 2278 sertifikasi untuk kendaraan listrik. Sebagai perbandingan, data BPS hingga tahun 2018 menunjukkan populasi kendaraan bermotor di Indonesia sebanyak 146.858.759. Data ini menunjukkan bahwa kendaraan listrik belum menjadi pilihan transportasi bagi mayoritas orang di dalam negeri. Kondisi ini bertolak belakang dengan perkembangan pasar kendaraan listrik di dunia internasional, data menunjukkan pertumbuhan produksi kendaraan listrik yang sangat signifikan. Menurut Farkas-csamangó (2020), Eropa, Amerika Serikat, dan Tiongkok adalah tiga Kawasan yang paling masif memproduksi sekaligus menjadi pasar bagi kendaraan masa depan tersebut. Pada 2019, total investasi negara-negara Eropa untuk pengembangan kendaraan listrik mencapai € 60 Miliar atau kurang lebih setara dengan Rp1000 Triliun (Virta Global, 2019). Khusus untuk Tiongkok, studi-studi kebijakan mengungkapkan bahwa sejak tahun 2013 negara ini sudah melakukan lompatan besar untuk menjadi pemain utama dalam industri kendaraan listrik (Howell et al., 2014).
Perkembangan teknologi moda transportasi ini menuntut adanya pembaruan hukum terutama di negara-negara yang rakyatnya telah akrab dengan kendaraan non energi fosil. Meminjam istilah Adrian J. Bradbrook (2011), setiap negara dituntut untuk membuat hukum yang mendukung bagi pengembangan teknologi generasi mutakhir. Bukan hanya hukum yang bersifat parsial dan sektoral, tetapi juga menciptakan rezim atau lingkungan hukum yang mendorong bagi pengembangan teknologi.
Pertumbuhan teknologi semacam kendaraan listrik adalah konsekuensi logis dari komitmen negara-negara yang telah meratifikasi United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)/Kerangka Kerja Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim. Mengarusutamakan kebijakan energi bersih yang minim emisi merupakan salah satu upaya untuk bersama-sama merealisasikan konvensi tersebut. Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan UNFCCC.
Komitmen Indonesia dalam menjalankan UNFCCC dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, pemanfaatan energi terbarukan secara masif menjadi salah satu target yang harus dicapai pemerintah. Target secara spesifik dituangkan dalam Pasal 9 huruf f angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, bauran energi primer yang menggunakan energi terbarukan dipatok 25% wajib tercapai pada tahun 2025 sepanjang keekonomiannya terpenuhi. Khusus untuk kendaraan listrik, target tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Sebanyak 2200 unit kendaraan roda empat dan 2,1 juta unit kendaraan roda dua menjadi target nasional untuk dicapai setidaknya sampai tahun 2050.
Melihat ketiga instrumen hukum tersebut, tampaknya Indonesia masih jauh untuk sejajar dengan Tiongkok atau Amerika Serikat untuk menjadi pasar atau bahkan produsen kendaraan listrik. Mungkin sebab inilah yang memotivasi pemerintah pada akhir 2019 menetapkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Baterai Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan. Peraturan Presiden ini memberikan stimulus bagi industri kendaraan listrik untuk tumbuh dan berproduksi di Indonesia, dukungan riset kendaraan listrik, infrastruktur yang mendukung beroperasinya kendaraan listrik, serta tidak lupa insentif berupa fiskal dan nonfiskal.
Terbitnya Peraturan Presiden ini kemudian diikuti dengan penetapan beberapa Peraturan Menteri yang menjadi panduan teknis untuk mendukung percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai. Setidaknya sampai saat ini telah terbit beberapa Peraturan Menteri yaitu:
1. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 27 Tahun 2020 tentang Spesifikasi, Peta Jalan Pengembangan, dan Ketentuan Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle);
2. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 28 Tahun 2020 tentang Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Dalam Keadaan Terurai Lengkap dan Keadaan Terurai Tidak Lengkap;
3. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 44 Tahun 2020 tentang Pengujian Tipe Fisik Kendaraan Bermotor dengan Motor Penggerak Menggunakan Motor Listrik;
4. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 45 Tahun 2020 tentang Kendaraan Tertentu dengan Menggunakan Penggerak Motor Listrik;
5. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 65 Tahun 2020 tentang Konversi Sepeda Motor dengan Penggerak Motor Bakar Menjadi Sepeda Motor Listrik Berbasis Baterai;
6. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2020 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai.
Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah Peraturan Presiden dan enam Peraturan Menteri tersebut mampu menciptakan atmosfir hukum yang mendorong pengembangan industri kendaraan listrik? atau lebih jauh apakah regulasi tersebut mampu mentransformasikan hukum energi terbarukan di Indonesia? Pertanyaan ini akan terjawab seiring dengan berjalannya waktu yang sangat terkait dengan kemampuan Indonesia mengakselerasi industri kendaraan listrik di tengah arus modernisasi moda kendaraan yang datang dari Eropa, Amerika Serikat, Tiongkok, atau bahkan India.
Pilihan Pemerintah untuk mengatur industri kendaraan listrik adalah langkah untuk menuju rezim hukum energi terbarukan dan transformasinya. Menurut Bradbrook (2011) setidaknya lima faktor yang akan menentukan keberhasilan jika pemerintah mengatur dan membentuk rezim hukum khususnya bagi teknologi mutakhir yang berbasis energi terbarukan. Pertama, perlindungan hukum bagi konsumen dan produsen (terutama investor). Industri kendaraan listrik membutuhkan investasi besar dan resiko yang tidak kecil, oleh karena itu dukungan pemerintah sangat dibutuhkan bagi pengembangan dan penguatannya.
Kedua, pengalaman sejarah menunjukkan bahwa transformasi energi membutuhkan instrumen hukum yang kuat untuk sampai pada target yang ingin dicapai. Indonesia mengalami transformasi energi yang cukup masif dan berhasil pada tahun 2007 yaitu ketika minyak tanah digantikan oleh gas elpiji bagi kebutuhan rumah tangga dan industri mikro. Tanpa dukungan instrumen hukum yang memadai tentu saja program ini tidak akan berhasil.
Ketiga, perlindungan hukum bagi investor tidak hanya dilakukan dalam skala nasional tetapi juga dalam skala lokal. Industri yang berbasis energi terbarukan seperti kendaraan listrik akan menumbuhkan usaha kecil yang memproduksi suku cadang atau aksesoris pendukung. Oleh karena itu, dukungan secara hukum oleh pemerintah daerah dalam skala provinsi maupun kota/kabupaten sangat dibutuhkan.
Keempat, pembentukan rezim hukum yang berbasis edukasi terhadap masyarakat dan investor sangat mutlak untuk dilakukan. Peran organisasi kemasyarakatan, organisasi kepemudaan, organisasi keagamaan, dan Lembaga Pendidikan sangat diperlukan karena transformasi dari energi fosil ke energi terbarukan akan mengubah budaya penggunaan energi di masyarakat secara signifikan. Edukasi yang masif akan membuat celah transformasi energi semakin berkurang, contoh kecil adalah kecelakaan rumah tangga yang disebabkan oleh ketidakmampuan pengguna untuk mengoperasikan alat atau instrumen teknologi mutakhir yang berbasis energi terbarukan.
Kelima, industri dengan teknologi mutakhir yang berbasis energi terbarukan bukanlah bisnis yang akan mengundang banyak investor tanpa adanya kepastian hukum terutama dalam membangun iklim investasi yang baik dan stabil. Oleh karena itu, rezim hukum yang stabil meskipun pemerintahan berganti sangat dibutuhkan. Energi terbarukan dan variasi industri yang mendukung dan membutuhkannya adalah bisnis masa depan, hanya negara dan pemerintah yang peduli dengan masa depan akan mendukung penuh.
Industri kendaraan listrik akan mendorong atau bahkan memaksa Indonesia untuk melakukan transformasi hukum energi terbarukan. Era energi fosil seperti minyak bumi dan batubara sudah hampir berakhir, jika Indonesia tidak melakukan lompatan besar dalam pemanfaatan energi terbarukan maka dalam beberapa dekade ke depan bisa dipastikan negara ini hanya akan menjadi halaman belakang dalam tatanan dunia baru yang maju dengan penggunaan energi bersih dan kendaraan niremisi.
Asrul Ibrahim Nur (Staf Pengajar pada Politeknik Energi dan Pertambangan Bandung, Kementerian ESDM)
Penulis
Caecilia Aletheia
Natasya Ayu Savira
I Wayan Agus Eka
Krisna Bayu Aji