Pembangunan Koperasi di Indonesia dari masa ke masa penuh dengan dinamika yang tampak pada arah kebijakan pemerintah dalam pembangunan Koperasi yang terus mengalami perubahan. Tercatat, sejak awal kemerdekaan sampai dengan sekarang Perundang-undangan yang mengatur mengenai Koperasi telah mengalami 5 (lima) kali fase perubahan. Ditambah dengan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja maka pengaturan mengenai Koperasi sudah genap mengalami 6 (enam) kali fase perubahan. Tampaknya, Koperasi di Indonesia sedang mencari format idealnya.
Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja adalah kebijakan strategis “Cipta Kerja” yang dilakukan Presiden Jokowi untuk menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas penghidupan yang layak melalui kemudahan dan perlindungan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) serta perkoperasian, peningkatan ekosistem investasi, kemudahan berusaha, peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja, investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.
Salah satu asas yang melandasi kebijakan strategis “Cipta Kerja” adalah kemudahan berusaha. Asas kemudahan berusaha memiliki arti bahwa penciptaan kerja yang didukung dengan proses berusaha yang sederhana, mudah, dan cepat akan mendorong peningkatan investasi, pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah serta perkoperasian untuk memperkuat perekonomian yang mampu membuka seluas-luasnya lapangan kerja bagi rakyat Indonesia. Konseptualisasi dari asas tersebut adalah dengan memberikan format baru Perkoperasian.
Koperasi Indonesia yang sudah berusia 73 tahun saat ini memiliki format baru. Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Pertama, syarat minimal jumlah pendiri dalam Koperasi Primer. Ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Perkoperasian diubah sehingga berbunyi: (1) Koperasi Primer dibentuk paling sedikit 3 (tiga) orang;
Sebelumnya, Koperasi Primer dalam Undang-Undang PerKoperasian adalah Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan orang-seorang dan minimal dibentuk sekurang-kurangnya oleh 20 (dua puluh) orang. Namun, dalam Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja minimal 3 (tiga) orang untuk mendirikan Koperasi. Sedangkan Koperasi Sekunder baik di dalam Undang-Undang PerKoperasian maupun dalam Omnibus Law tetap sama yaitu minimal 3 Koperasi. Perubahan tersebut merupakan konseptualisasi asas kemudahan berusaha dalam norma perkoperasian. Untuk mendirikan Koperasi dipermudah minimal 3 orang. Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk memudahkan pendirian Koperasi di Indonesia dengan harapan lahirnya Koperasi-Koperasi baru penggerak ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.
Kedua, penegasan mengenai sistem perwakilan dalam Rapat Anggota Koperasi. Pada dasarnya, sistem perwakilan dalam Rapat Anggota sudah diatur dalam Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah No.
(1) Rapat Anggota merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam Koperasi;
(2) Rapat Anggota dihadiri oleh anggota;
(3) Kehadiran anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui
sistem perwakilan: dan
(4) Ketentuan mengenai rapat anggota diatur dalam Anggaran Dasar/Rumah Tangga.
Sampai dengan saat ini, masih sedikit Koperasi yang menggelar Rapat Anggota Tahunan (RAT). Hal ini lantaran minimnya partisipasi anggota dalam RAT. Disatu sisi, RAT adalah media pengawasan dan pengendalian Koperasi secara internal oleh anggota. Misalkan, ketika terjadi penyimpangan, anggota dapat mengetahui sehingga pengurus Koperasi bisa segera mempertanggungjawabkan hal tersebut. Selain itu, RAT adalah unsur penentu keberhasilan Koperasi. Melalui RAT, partisipasi anggota dalam pengambilan keputusan strategis Koperasi dapat dilakukan secara demokratis.
Menyikapi kondisi tersebut, dalam Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja diatur mengenai sistem perwakilan dalam RAT. Hal itu dilakukan agar prinsip demokrasi dalam Koperasi tetap berjalan. Karakteristik Koperasi adalah anggota sebagai pemilik sekaligus pengguna jasa Koperasi. Sebagai anggota, mereka wajib berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dengan ikut serta dalam RAT walaupun melalui perwakilan. Setidaknya, melalui sistem perwakilan dalam RAT itulah partisipasi anggota sebagai pemilik dan pengguna jasa Koperasi dapat dimaksimalkan. Dalam Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja, Pemerintah mendorong kualitas RAT untuk ditingkatkan melalui sistem perwakilan. Kualitas pelaksanaannya pun harus meningkat sebagai fungsi kontrol dan pengawasan internal anggota kepada Koperasi.
Ketiga, Koperasi dapat melaksanakan usaha berdasarkan prinsip syariah. Pengaturan mengenai pengelolaan Koperasi berdasarkan prinsip syariah sudah diatur dalam Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No.1 l/PER/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi. Dalam Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja menyebutkan bahwa ketentuan Pasal
(1) Usaha Koperasi adalah usaha yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota
untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraan anggota;
(2) Kelebihan kemampuan pelayanan Koperasi dapat digunakan untuk memenuhik
kebutuhan masyarakat yang bukan anggota Koperasi:
(3) Koperasi menjalankan kegiatan usaha dan berperan utama di segala bidang
kehidupan ekonomi rakyat;
(4) Koperasi dapat melaksanakan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Pengaturan mengenai Koperasi dapat melaksanakan usaha berdasarkan prinsip syariah semakin mempertegas, bahwa semua jenis usaha Koperasi yang tidak sebatas pada usaha simpan pinjam dapat dikelola berdasarkan prinsip syariah. Pengaturan tersebut merupakan konseptualiasi asas kepastian hukum dan kebersamaan yang tertuang dalam Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja. Kepastian Hukum memiliki arti bahwa penciptaan kerja dilakukan sejalan dengan penciptaan iklim usaha konsdusif yang dibentuk melalui sistem hukum yang menjamin konsistensi antara peraturan perundang-undangan dengan pelaksanaannya. Kebersamaan memiliki arti bahwa penciptaan kerja dengan mendorong peran seluruh dunia usaha dan usaha mikro, kecil, dan menengah termasuk Koperasi secara bersama-sama dalam kegiatannya untuk kesejahteraan rakyat.
Pengaturan mengenai Koperasi dalam Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja seakan menjadi isyarat masih perlunya upaya masif untuk mendorong iklim berKoperasi dalam masyarakat. Harapannya, dengan format baru Koperasi membawa angin segar perKoperasian Indonesia. Semoga semangat berKoperasi masih terus tumbuh dan Koperasi semakin berperan sebagai penggerak ekonomi sekaligus instrumen untuk membangun kehidupan sosial masyarakat Indonesia.
Ambar Budhisulistyawati (Pengajar Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta)
Penulis
Caecilia Aletheia
Natasya Ayu Savira
I Wayan Agus Eka
Krisna Bayu Aji