Indonesia memiliki potensi besar dalam bisnis digital. Selain berbagai bidang kehidupan yang sudah memasuki era digital tranformation, terdapat beberapa fakta yang menjadi alasan bisnis digital memiliki potensi untuk berkembang pesat di Indonesia. Pertama, Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia setelah Cina, Amerika dan India. Artinya, secara demografi, Indonesia adalah pangsa pasar yang potensial karena memiliki konsumen yang banyak. Kedua, penetrasi internet di Indonesia cukup tinggi. Hasil survei yang dilakukan oleh HootSuite dan We Are Social dalam laporannya yang bertajuk "Digital 2020" menyebutkan total pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 175,4 juta orang dengan penetrasi mencapai 64 persen. Dengan kata lain, dari total 272,1 juta populasi di Indonesia, sebesar 64 persennya telah terkoneksi internet. Ketiga, pertumbuhan masyarakat middle class di Indonesia cukup tinggi.
Di tahun 2030, hampir setengah dari populasi (135 juta orang) adalah kelompok middle class.
Dasar hukum penerapan pajak digital adalah Peraturan Menteri Keuangan No.48 /PMK.03/2020 Tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Dan Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMK No.48/PMK.03/2020 ) yang mengatur mengenai besaran pajak digital. Selain PMK, dasar hukum penerapan pajak digital adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.12 Tahun 2020 tentang Batasan Kriteria Tertentu Pemungut Serta Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang mengatur mengenai kriteria penunjukan pemungut pajak digital.
Perlu digarisbawahi, istilah pajak digital bukan untuk mendefinisikan mekanisme pembayaran pajak dengan sistem digital. Pajak digital adalah istilah yang digunakan untuk mendefinisikan pajak atas kegiatan usaha yang memanfaatkan teknologi internet dari penyedia konten digital, sosial media hingga transaksi perdagangan barang/jasa melalui sistem elektronik (e-commerce). Obyek pajak digital adalah barang digital dan jasa digital.
Sedangkan jasa digital dalam PMK No.48/PMK.03/2020
Besaran pajak digital disebutkan dalam PMK No. 48/PMK.03/2020 adalah 10°/o (sepuluh persen) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak. Dasar Pengenaan Pajak adalah sebesar nilai berupa uang yang dibayar oleh pembeli barang dan/ atau penerima jasa, tidak termasuk PPN yang dipungut. Misalnya, harga barang digital adalah 1.000.000,- (satu juta rupiah) maka besarnya PPN adalah 100.000,- (seratus ribu rupiah). Pemungutan PPN dilakukan pada saat pembayaran oleh pembeli barang digital dan/ atau penerima jasa digital.
Kriteria pelaku usaha sebagai pemungut PPN dalam bisnis digital diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.12 Tahun 2020. Kriteria pelaku usaha tersebut meliputi: 1) nilai transaksi dengan pembeli di Indonesia melebihi Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun atau Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dalam 1 (satu) bulan; dan/atau b) jumlah traffic atau pengakses di Indonesia melebihi 12.000 (dua belas ribu) dalam 1 (satu) tahun atau 1.000 (seribu) dalam 1 (satu) bulan.
Bagaimana dengan prospek penerapan pajak digital di Indonesia? Potensi besaran penerimaan negara sama dengan potensi value ekonomi digital Indonesia. Potensi pajak digital sangat besar. Hal ini karena adanya tranformasi pelaku pajak dari produk yang berwujud ke platform digital. Menurut Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), besaran potensi penerimaan negara dari pajak digital mencapai Rp 7,2 triliun. Besaran tersebut berasal dari PPN produk digital dan yang diperdagangkan di e-commerce.
Merujuk pada naskah akademik omnibus law bidang perpajakan terdapat tujuh produk digital yang potensial untuk dikenakan PPN. Ketujuh produk tersebut yaitu:
(1) Perangkat lunak (software) pada ponsel pintar (smartphone) dengan nilai transaksi
mencapai Rp 44,7 triliun;
(2) Layanan digital dan media sosial dengan nilai transaksi mencapai Rp 17,07 triliun;
(3) Hak siaran atau layanan televisi berlangganan dengan nilai transaksi mencapai Rp
Rp 16,49 triliun;
(4) Sistem perangkat lunak dan aplikasi dengan nilai transaksi mencapai Rp 14,06
triliun;
(5) Penjualan film dengan nilai transaksi mencapai Rp 7,65 triliun;
(6) Perangkat lunak khusus seperti untuk mesin dan desain dengan nilai transaksi
mencapai Rp 1,77 triliun; dan
(7) game, video, dan musik dengan nilai transaksi mencapaiRp 880 miliar.
Namun, dari aspek hukum dalam penerapan pajak digital terdapat berbagai tantangan yang perlu segera dicari jalan keluarnya. Pertama, tingkat kepatuhan pajak yang masih rendah. Data INDEF menyebutkan hingga Juni 2019, tingkat kepatuhan hanya 67,4 persen. Angka tersebut turun dari angka 72,6 persen pada tahun 2017. Kondisi tersebut setidaknya menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah untuk mencapai target penerimaan perpajakan. Diperlukan berbagai upaya masif untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat yang tidak terbatas pada sosialiasasi.
Kedua, maraknya pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Sudah tidak terdengar asing lagi bahwa Indonesia adalah surga bagi pembajakan produk-produk digital. Software, musik dan film adalah produk digital yang rentan dibajak. Pelanggaran HKI khususnya dalam hal ini adalah hak cipta tidak hanya merugikan pencipta karya tetapi juga semua pihak baik negara maupun masyarakat itu sendiri. Negara dipastikan kehilangan pendapatan pajak dari barang original yang terjual. Kondisi tersebut tentu saja menghambat penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Merespon berbagai tantangan tersebut, Pemerintah perlu merumuskan kebijakan yang komprehensif di sektor perpajakan agar pajak digital dapat diterapkan secara optimal dengan melibatkan semua stakeholder, pelaku usaha dan masyarakat bahkan kerjasama antar negara serta organisasi international agar penerimaan pajak digital dapat optimal.
Dona Budi Kharisma (Pengajar Hukum E-Commerce dan Fintech Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta)
Penulis
Caecilia Aletheia
Natasya Ayu Savira
I Wayan Agus Eka
Krisna Bayu Aji