Saat ini di Mahkamah Konstitusi (MK) masih berlangsung uji materiil Perkara MK Nomor (No.) 22/PUU- XVIII/2020 (mkri.id). Perkara yang diuji tersebut adalah mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang- Undang (UU No. 10 Tahun 2016) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Pengaturan yang diuji yakni terkait dengan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU No. 10 Tahun 2016 yang pada pokoknya mengatur persyaratan pengunduran diri sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sejak ditetapkan sebagai pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Jika kita mendalami munculnya Pasal 7 ayat (2) huruf s UU No. 10 Tahun 2016, hal merupakan tindak lanjut dari Putusan MK No.33/PUU-XIII/2015. Pada Perkara MK No.33/PUU-XIII/2015, terdapat pengujian terhadap Pasal 7 huruf s Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU No. 8 Tahun 2015). Dalam Pasal 7 huruf s UU No. 8 Tahun 2015 bagi Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mencalokan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diatur cukup memberitahukan perihal pencalonannya kepada pimpinannya masing-masing. Norma ini yang kemudian diujikan oleh Pemohon dengan argumentasi terdapat perbedaan perlakuan yang adil karena di norma lainnya yakni Pasal 7 huruf t dan huruf u di Undang-Undang tersebut diatur bahwa calon yang berasal dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dan Pegawai Negeri Sipil (PNS), pejabat Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan pejabat Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) wajib mengundurkan diri sejak ditetapkan sebagai calon dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada). Alhasil dalam perkara tersebut MK mengabulkan permohonan Pemohon sehingga DPR, DPD, dan DPRD dipersyaratkan mundur ketika mencalonkan diri dalam Pilkada dan kemudian ditindaklanjuti melalui UU No. 10 Tahun 2016.
Jika kembali ke Perkara MK No. 22/PUU-XVIII/2020, menurut Penulis terdapat cukup banyak alasan mengapa kita perlu melihat kembali kemanfaatan dari keberadaan pengaturan mundurnya anggota DPR, DPD, dan DPRD pada pencalonan Pilkada. Penulis berhasil menganalisis ada paling sedikit 5 (lima) argumentasi yang dapat digunakan. Pertama, Anggota DPR, DPD, DPRD, maupun Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah merupakan jabatan yang sifatnya politis yang sama-sama diisi dengan cara dipilih secara langsung oleh rakyat (elected officials) melalui Pemilihan Umum (Pemilu) ataupun Pilkada. Jabatan yang sifatnya politis (jabatan politik) tersebut berbeda dengan jabatan yang diisi dengan cara diangkat (appointed officials) seperti anggota TNI, Polri, PNS, pejabat BUMN, dan pejabat BUMD. Ketika anggota DPR, DPD, dan DPRD diisi melalui mekanisme Pemilu maka mekanisme pengunduran dirinya pun seharusnya disebabkan oleh alasan-alasan yang bersifat khusus sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 17 Tahun 2014) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019. Sedangkan jabatan TNI, Polri, PNS, pejabat BUMN, dan pejabat BUMD adalah profesi yang sifatnya profesional dan merupakan pilihan karir yang harus menjunjung netralitas.
Kedua, bahwa dalam upaya menjaga netralitasnya, jabatan profesional seperti anggota TNI, Polri, PNS, pejabat BUMN, dan pejabat BUMD sebagaimana diatur juga dalam Pasal 7 ayat (2) huruf t dan huruf u UU No. 10 Tahun 2016 diharuskan untuk mundur dari jabatan profesionalnya ketika ditetapkan sebagai calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah. Pengaturan tersebut menurut Penulis telah sesuai dengan jabatan profesional yang diharuskan lepas dari pengaruh partai politik. Ketentuan pengunduran diri tersebut bahkan menurut Penulis bahkan selaras dengan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan masing- masing jabatan prodesional tersebut. Peraturan perundang-undangan tersebut yaitu Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah. Jika kita ambil contoh misalnya Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU No. 5 Tahun 2014), dalam Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU No. 5 Tahun 2014 diatur bahwa PNS yang mencalonkan diri sebagai calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah harus mengundurkan diri. Dengan demikian, pengaturan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf t dan huruf u UU No. 10 Tahun 2016 yang mewajibkan mundurnya anggota TNI, Polri, PNS, pejabat BUMN, dan pejabat BUMD yang mencalonkan dalam Pilkada merupakan wujud harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan masing- masing yang memang menjunjung tinggi netralitas dari pengaruh politik sedangkan di sisi lain anggota DPR, DPD, dan DPRD dalam UU No. 17 Tahun 2014 tidak diatur karena memang sejak awal jabatan tersebut adalah jabatan politis.
Ketiga, bahwa pengaturan yang mewajibkan mundurnya anggota DPR, DPD, dan DPRD ketika mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi begitu kontras berbeda bilamana dibandingkan dengan petahana kepala daerah dan wakil kepala daerah yang hanya cukup cuti di masa kampanye saja ketika mencalonkan diri kembali di daerah yang sama. Dalam UU No. 10 Tahun 2016 hanya terdapat pengaturan mundur bagi petahana kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mencalonkan diri di daerah lain, hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf p UU No. 10 Tahun 2016. Sedangkan, bagi petahana kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mencalonkan diri kembali di daerah yang sama di UU No. 10 Tahun 2016 hanya memiliki pengaturan yakni cuti di luar tanggungan negara dalam Pasal 70 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2016.
Perbedaan pengaturan bagi Petahana yang maju di daerah sendiri dan di daerah lain tersebut adalah kontras berbeda jika kita pelajari Pasal 58 huruf q Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 12 Tahun 2008). Jika kita lihat penjelasan Pasal 58 huruf q UU No. 12 Tahun 2008 kita akan mengetahiu bahwa baik Petahana Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang maju di daerah sendiri maupun daerah lain dalam Pilkada keduanya sama-sama mundur (hal ini berbeda jika kita bandingkan dengan UU No. 10 Tahun 2016). Jika kita dalami lagi, perbedaan tersebut muncul setelah adanya Putusan MK No. 17/PUU-VI/2008 yang waktu itu pemohonnya adalah Gubernur Lampung atas nama Drs. H. Sjachroedin Zp, S.H.
Waktu itu beliau yang merupakan Gubernur Lampung Periode 2004-2009 ingin maju kembali sebagai Petahana di daerah sendiri. Alhasil MK dalam Putusan MK No. 17/PUU-VI/2008 mengabulkan permohonan Pemohon dengan pokok argumentasi yakni demi menjaga kepastian hukum masa jabatan 5 (lima) tahun yang sudah diperjanjikan di awal masa jabatan jangan sampai terkurangi. Menurut Penulis, jika kita melihat Pasal 7 ayat (2) huruf s UU No. 10 Tahun 2016 bukankah kita dapat menggunakan logika MK yang sama? Bukankah jika DPR, DPD, DPRD mundur juga menjadi tidak sesuai dengan pinsip kepastian hukum juga karena sejak awal jabatan-jabatan tersebut untuk 5 tahun.
Keempat, masih terkait perbandingan dengan Petahana Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang tidak perlu mundur ketika maju kembali di daerah yang sama, menurut Penulis hal tersebut sangat ironis jika dibandingkan dengan pengaturan mundurnya Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Hal ini dikarenakan seorang Petahana Kepala Daerah memiliki akses tehadap kebijakan, anggaran, sumber daya manusia (karena Kepala daerah merupakan Pejabat Pembina Kepegawaian di daerah), program- program, dan menguasai wilayah administrasi. Walupun dalam Pasal 70 ayat
Kelima, bahwa dalam Pilkada bukan hal yang asing juga ketika kita mendengar adanya Pilkada dengan Calon Tunggal (atau Bahasa UU No. 10 Tahun 2016 yakni Pilkada 1 (satu) Pasangan Calon). Munculnya fenomena ini menurut Penulis tidak lain tidak bukan adalah karena kekurangan calon potensial yang dapat diusung. Ketika terdapat pengaturan yang mewajibkan mundur bagi Anggota DPR dan DPRD pada pencalonan PIlkada, hal ini menyebabkan di calon dan juga partai politik urung untuk mencalonkan dalam Pilkada.
Partai politik merupakan pilar demokrasi, sebagai negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi kita harus meyakini hal tersebut. Bahkan jika kita lihat Pasal 11 ayat (1) huruf e Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU No. 2 Tahun 2008), disebutkan bahwa “Partai Politik berfungsi sebagai sarana rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi ….”. Hal ini sesuai dengan konsep dimana Partai politik adalah tempat dicetaknya calon-calon pemimpin bangsa dan yang dikonstruksikan sebagai episentrum sekaligus kawah candradimuka calon pemimpin bangsa.
Melihat kondisi saat ini menurut pemikiran Penulis partai politik pada saat ini mengalami persoalan dalam kaderisasi, problematika utama yakni persoalan pendanaan partai politik untuk hal tersebut. Padahal kewajiban-kewajiban menciptakan kader-kader yang terbaik tersebut dijamin oleh UU No. 2 Tahun 2008 dan bahkan oleh konstitusi yakni Pasal 22E ayat (3) yang menyatakan “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”. Ketidakberuntungan kondisi yang dihadapi oleh partai politik tersebut menurut Penulis yang kemudian menjadikan tidak jarang kita temui pada saat ini dimana partai poltik tidak jarang mengusung dari kalangan artis atau tokoh popular lainnya sebagai calon dalam Pilkada sebagai untuk mendulang suara (vote getter).
Hal ini menurut Penulis berkorelasi juga dengan pengaturan yang mewajibkan mundur bagi Anggota DPR dan DPRD pada pencalonan PIlkada. Ketika kondisi di partai politik pada saat terdapat problem seperti Penulis ungkapkan di atas, maka fenomena calon tunggal dalam Pilkada tidak dapat kita hindari, karena justru sebetulnya kader-kader terbaik dari partai politik adalah mereka-mereka yang saat ini ada di posisi Anggota DPR dan DPRD. Pilkada calon tunggal menurut Penulis bukanlah demokrasi, karena kita memperhadapkan seseorang dengan barang (kotak kosong). Bagaimana mungkin demokrasi bisa terwujud dengan situasi yang semacam tersebut, hal jelas bukan kondisi yang sehat. Sehingga pandangan Penulis, jika saja anggota DPR, DPD, dan DPRD tidak diatur untuk mundur ketika maju dalam kontestasi Pilkada, maka Penulis yakini hal ini akan menjadi solusi dari kemunculan fenomena Pilkada dengan calon tunggal.
Demikian pandangan pribadi Penulis mengenai Perkara MK No. 22/PUU-XVIII/2020. Menurut Penulis sudah saatnya kita menilai kembali kemanfaatan pengaturan mundurnya Anggota DPR, DPD, DAN DPRD pada pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Ketika kembali diatur menjadi tidak mundur menurut Penulis tidak bisa kita nilai hanya dari perspektif hal ini dianggap melawan Putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Perspektif yang harus digunakan dalam menilai hal ini menurut Penulis adalah perspektif menyelamatkan demokrasi yang sehat dan jika justru akan mendatangkan banyak manfaat mengapa tidak diubah? Bukankah jika ada kondisi yang jika dinilai sama-sama adil, sama- sama memiliki unsur kepastian hukum, lantas kita nilai mana yang lebih mendatangkan manfaat? Mudah- mudahan pandangan Penulis ini juga dapat mendatangkan kemanfaatan.
Achmadudin Rajab (Tenaga Fungsional Perancang Undang-Undang Pertama dengan pembidangan Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia di Pusat Perancangan Undang-Undang dalam Badan Keahlian pada Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia)
Penulis
Sri Muliana Azhari
Vinda Ramadhanty
Enjelita Tamba
Ulfia Pamujiningsih