Desa sebagai suatu entitas pemerintahan lokal telah diposisikan sebagai daerah otonom sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Pemberian otonomi desa merupakan kebijakan hukum yang perlu dilakukan sebagai wujud komitmen Negara dalam melaksanakan prinsip dan norma konstitusi yang memberikan pengakuan dan penghormatan atas keberadaan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. (vide Pasal 18B ayat (2) UUD 1945)
Salah satu elemen pokok dari kewenangan desa di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, oleh UU Desa diatur bahwa desa berhak untuk menentukan pemimpinnya sendiri melalui mekanisme pemilihan kepala desa (Pilkades). Pengaturan mengenai Pilkades dapat ditemukan dalam UU Desa sendiri dalam Bab V bagian ke-3 tentang Pemilihan Kepala Desa.
Jika mencermati ketentuan tersebut, menurut penulis, sebetulnya mekanisme pemilihan kepala desa telah diatur secara cukup rinci dimulai melalui tahap pencalonan, pemungutan suara, dan penetapan. Namun demikian, terdapat persoalan krusial yang tidak diatur secara selesai dan clear dalam UU Desa ini, termasuk oleh peraturan pelaksananya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yaitu berkaitan dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hasil Pilkades.
Layaknya bentuk demokrasi langsung lain, seperti Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilakada), potensi sengketa atau perselisihan hasil sangat mungkin terjadi pada suatu Pilkades. Sehingga menuntut adanya norma yang jelas dalam mengatur penyelesaian sengketa hasil pilkades secara damai, untuk memberikan rasa adil bagi para pihak yang terlibat dalam kontestasi Pilkades dan menghindari konfilk antar masyarakat pendukung.
Dalam UU Desa penyelesaian sengketa hasil Pilkades ini nyatanya hanya diatur dalam Pasal 37, dimana pasal tersebut menentukan penyelesaian sengketa diselesaikan oleh Bupat/ Walikota. Ketentuan tersebut berbunyi:
Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan Kepala Desa, Bupati/Walikota wajib menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Begitupun jika mencermati pada Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015, Pasal 41 ayat (7) memuat norma yang sama dan hanya ditambah dengan waktu yang tersedia untuk penyelesian sengketa selama tiga puluh hari, ketentuan tersebut selengkapnya menyebut sebagai berikut:
Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan kepala desa, bupati/walikota wajib menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari.
Ketentuan yang demikian menurut penulis merupakan norma yang tidak clear dan mengandung problematika tersendiri ketika mengatur penyelesaian sengketa hasil Pilkades. Pertama, masalah independensi, regulasi a quo semata-mata hanya menyerahkan penyelesaian sengketa kepada Bupati atau Walikota, sehingga dikhawatirkan keputusannya tidak benar-benar independen, karena secara latar belakang politik sangat mungkin saja Bupati atau Walikota memiliki keterkaitan dan interest pribadi dengan salah satu calon kepala desa.
Selain persoalan independensi, yang kedua, penyerahan penyelesaian sengketa hasil Pilkades semata-mata hanya kepada Bupati atau Walikota juga tidak sejalan dengan politik hukum otonomi desa yang memberikan kemandirian yang luas kepada desa dalam mengatur urusan pemerintahannya sendiri. Jika persoalan menentukan kepemimpinan desa (kepala desa) yang merupakan elemen pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan desa pada akhirnya akan berada pada tangan Bupati atau Walikota, Desa sebetulnya telah kembali ditempatkan hanya sebagai organ administratif pemerintah di bawah kecamatan yang merupakan bagian dari perangkat daerah, bukan sebagai entitas pemerintah lokal yang memiliki otonomi.
Selain itu, jika sengketa hasil Pilkades penyelesaiannya diserahkan kepada Bupati akan mungkin menimbulkan proses panjang. Mengapa demikian? Karena jika Bupati memutuskan perselisihan Pilkades, maka keputusannya itu akan dituangkan dalam suatu Keputusan Bupati. Keputusan Bupati itu sendiri menurut hukum administrasi negara dapat ditafsirkan sebagai suatu keputusan tata usaha negara (beschkking) karena, keputusan itu berisi tindakan hukum yang normanya merupakan penetapan dan bersifat konkrit-individual, sehingga dapat menjadi objek gugatan pengadilan tata usaha negara. Hal ini sangat membuka peluang adanya proses gugatan tata usaha negara terhadap keputusan bupati atau walikota oleh pihak yang merasa tidak puas. Dengan demikian, artinya, keputusan bupati atau walikota sebagaimana dimaksud dalam regulasi tersebut tidak dapat secara efektif menyelesaikan sengketa hasil Pilkades secara tuntas.
Berdasarkan uraian di atas, lebih tepat apabila proses penyelesaian sengketa hasil Pilkades tidaklah diserahkan penyelesaiannya kepada Bupati atau Walikota, melainkan perlu terlebih dahulu diberikan sarana penyelesaian secara lokal melalui semacam musyawarah desa atau istilah lain yang pada pokoknya merujuk pada musyawarah seluruh pemangku kepentingan desa baik panitia penyelenggara pemilihan, unsur pemerintah desa, badan perwakilan desa, tokoh adat dan tokoh masyarakat. Sebab sejatinya demokrasi yang berlangsung pada sistem pemerintahan desa merupakan demokrasi yang dijiwai oleh asas kebersamaan, kegotongroyongan, dan kekeluargaan.
Jika memang proses penyelesaian secara lokal tetap tidak dapat mengakhiri sengketa pilkades, maka jalan terakhir adalah melibatkan lembaga pengadilan untuk proses penyelesian sengketa. Pemilihan lembaga yudikatif, hal yang lazim dan rasional dalam menyelesaikan sengketa hasil pemilihan pemimpin politik, seperti halnya sengketa hasil pemilihan kepala daerah dan pemilihan Presiden yang diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Adapun ikhwal pengadilan mana yang akan diberi kewenangan untuk menyelesaikan, dalam pandangan penulis, Pengadilan Tata usaha Negara (PTUN) lebih relevan untuk dipertimbangkan diberikan kewenangan tersebut oleh pembentuk undang-undang, karena sebagaimana yang telah berkembang dalam praktik sebelum terbitnya UU Desa, PTUN memutus perselisihan hasil pilkades (contoh pada Putusan TUN Mataram bertanggal 24 Juni 2008, SK No. 9/G.TUN/2008/PTUN.MTR).
Sudah saatnya pembentuk undang- undang merevisi ketentuan Undang- Undang Desa yang mengatur penyelesaian sengketa hasil Pilkades dengan menyerahkan mekanismenya tidak semata-mata kepada Pemerintah Daerah Cq. Bupati dan Walikota, demi terwujudnya otonomi desa yang utuh.
Surya Mukti Pratama (Mahasiswa S1 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadajaran, pada konsentrasi Hukum Administrasi Negara)
Penulis
Sri Muliana Azhari
Vinda Ramadhanty
Enjelita Tamba
Ulfia Pamujiningsih