“Jangan pernah menyalahkan badan legislatif karena tidak melakukan sesuatu. Ketika mereka tak mengerjakan apa-apa, mereka tak menyakiti siapapun. Saat mereka mengerjakan sesuatu itulah saat mereka menjadi berbahaya” (“Never blame a legislative body for not doing something. When they do nothing, they don’t hurt anybody. When they do something is when they become dangerous”). Kredo klasik yang terlontar oleh Will Rogers di atas sesungguhnya mewakili kondisi badan legislatif dan eksekutif di Indonesia saat ini. Pasalnya, di tengah merebaknya pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), Pemerintah dan DPR secara melenggang-kangkung mengesahkan Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang dinilai menuai banyak kontroversi oleh khalayak umum. Kontroversi tersebut terpapar nyata jika ditinjau dari aspek pembentukan peraturan perundang-undangan.
Ironinya, dari sekian banyak Prolegnas Prioritas Tahun 2020 yang mesti dikejar, RUU Minerba justru menjadi pilihan utama pembentuk undang-undang untuk disahkan. Ganjil rasanya melihat Pemerintah dan DPR yang seharusnya fokus pada penanganan COVID-19, justru tergesa-gesa mengesahkan UU tersebut. Padahal, tak ada hal mendesak yang mengharuskan pengesahannya. Akibat pengesahan yang tergesa-gesa, cacat formil dan materil UU Minerba tak dapat dielakkan.
Dilacak dari aspek materil, terdapat 4 (empat) norma dari sekian banyak norma di dalam UU Minerba dinilai berbenturan dengan UUD 1945. Pertama, persoalan kewenangan pemerintah yang bertentangan dengan spirit otonomi daerah. Pasalnya, dalam UU Minerba yang baru kewenangan dalam menentukan kebijakan pertambangan dipegang oleh pemerintah pusat. Kedua, dihapusnya Pasal 165 UU Minerba terkait sanksi pidana yang menjerat pemerintah atas
Kontroversi ketiga yaitu soal ancaman bagi lingkungan hidup dan masyarakat sekitar tambang. Pasal 1 ayat 28a UU Minerba mengatur bahwa Wilayah Hukum Pertambangan adalah seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah yakni kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan, dan landas kontinen. Pasal ini dapat disimpulkan bahwa aktivitas pertambangan minerba akan meliputi ruang hidup masyarakat. Namun, Pasal 162 dan 164 justru membuka peluang kriminalisasi terhadap masyarakat yang melawan aktivitas pertambangan. Norma yang dianggap merusak lingkungan ini tentu secara tidak langsung melanggar UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Terakhir ialah pemberian hak istimewa kepada para taipan tambang dalam melakukan perizinan. Pasal 42 UU Minerba yang baru disahkan seperti memudahkan para pengusaha pertambangan untuk mengeksplorasi dalam waktu yang lebih lama, dari sebelumnya 2 (dua) tahun menjadi 8 tahun. Kemudahan ini dinilai sebagai pintu masuk terjadinya oligarki pertambangan.
UU Minerba dan Pengabaian Proses Pembentukan Perundang-undangan
Secara formil RUU Minerba juga dianggap malapraktik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dinilai berseberangan dengan ketentuan yang terdapat dalam UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3), Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2018 tentang Tata Tertib DPR, UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), dan Pasal 28F UUD 1945. Setidaknya ditinjau dari aspek pembentukannya, terdapat 4 (empat) kekeliruan pembentuk UU mengesahkan RUU Minerba di tengah pandemi.
Pertama, jika ditelisik, proses perubahan UU tidak memenuhi kriteria kualifikasi sebagai RUU yang dapat dilanjutkan pembahasannya (carry over). RUU Minerba merupakan RUU inisiatif DPR yang telah disusun draftnya sejak DPR periode 2014-2019. Namun, pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Minerba belum dilakukan hingga masa jabatan DPR periode lalu berakhir. Sedangkan berdasarkan Pasal 71A UU P3, carry over pembahasan RUU harus memenuhi syarat telah dilakukan pembahasan DIM terlebih dahulu, dan hasil pembahasan RUU disampaikan kepada DPR periode sebelumnya kepada DPR periode berikutnya.
Kedua, pembahasan RUU Minerba dilakukan secara tertutup, tidak melibatkan partisipasi masyarakat, stakeholders, dan perguruan tinggi. Naskah hasil pembahasan RUU juga tidak disertai uji publik. Padahal, Naskah RUU Minerba wajib dipublikasikan. Dalam hal ini, hasil pembahasan RUU Minerba tidak dapat dipertanggungjawabkan secara formil dan materil. Dengan demikian, RUU Minerba tidak mengakomodir materi muatan yang terkandung dalam undang-undang sebagaimana diatur Pasal 10 UU P3 yaitu pemenuhan kebutuhan hukum masyarakat. Hal ini juga melanggar Pasal 5 huruf g UU P3 terkait asas keterbukaan, dimana dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan haruslah transparan dan terbuka.
Ketiga, Pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Amanat Pasal 22D UUD 1945 dan Pasal 249 UU MD3, serta Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 92/PUU-X/2012 secara jelas menyebutkan bahwa DPD mempunyai kewenangan membahas RUU yang menyangkut soal hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam dan perekenomian. Pembahasan RUU Minerba yang tidak melibatkan DPD jelas inkonstitusional.
Keempat, kondisi COVID-19 ibarat memaksa DPR RI mengagendakan pengambilan keputusan tingkat I melalui rapat kerja secara virtual. Sementara, UU MD3 dan Tata tertib DPR menukilkan bahwa DPR dapat mengambil keputusan jika rapat dihadiri oleh lebih separuh jumlah anggota rapat yang terdiri atas lebih dari separuh unsur Fraksi. Rapat virtual dapat dilaksanakan apabila tidak mengambil keputusan dan belum diatur dalam tata tertib DPR. Itu sebabnya, pengambilan keputusan RUU Minerba dalam rapat kerja dengan virtual meeting tentu mengalami cacat hukum yang berimplikasi batal demi hukum.
Di samping itu, UU P3 juga mengharuskan agar pembentukan peraturan perundang-undangan mesti memerhatikan kaidah-kaidah formil dan materil. Seperti kejelasan tujuan, berdayaguna, partisipatif dan transparan, berkeadilan, dan berkepastian hukum. Namun sungguh disayangkan, kebijakan pemerintah mengesahkan RUU Minerba di tengah pandemi seakan menganggap keberadaan UU P3 memuat cukup banyak kaidah formil dan materil diabaikan dan sarat akan korupsi. Shah dan Schacter berpendapat bahwa korupsi mencakup tiga kategori yang meliputi grand corruption, state capture, bureaucratic corruption. Dari ketiga jenis tersebut, maka pengesahan UU Minerba masuk kategori jenis korupsi grand corruption. Di mana, korupsi jenis ini biasanya dilakukan oleh segerombolan elit politik yang membuat kebijakan menguntungkan diri sendiri dan kelompok tertentu dengan menyalahgunakan sejumlah pendapatan dan fasilitas umum serta mendapatkan suap dari perusahaan nasional/transnasional.
Dari persoalan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengesahan RUU Minerba secara nyata mengandung cacat formil dan materil. Sehingga jalan terakhir yang mesti ditempuh adalah menguji pasal-pasal kontroversial UU Minerba ke MK. Tentu kita berharap MK dapat memutus pengujian undang-undang seadil-adilnya tanpa memihak. Malapraktik pengesahan RUU Minerba di kala pandemi menuntut kita untuk lebih berhati-hati. Jangan sampai, pembentukan Undang-Undang yang seharusnya mempertimbangkan kemakmuran rakyat Indonesia, menjadi preseden buruk dan ditunggangi untuk kepentingan korporasi dan elit penguasa.
Herma Desvira (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas)
Penulis
Akhmad Aulawi SH., MH (Pusat Peraturan Perundang-undangan Badan Keahlian DPR RI)
Yerrico Kasworo (Staf di Bidang Substansi Hukum Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional)
Olsen Peranto (Tenaga Fungsional Perancang Perundang-Undangan pada Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia)
zaqiu rahman (Tenaga Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan Bidang Industri dan Perdagangan di Sekretariat Jenderal DPR RI)