Ketika melihat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 55/PUU-XVII/2019 terutama pertimbangan hukum MK angka [3.16] dimana MK menjabarkan 6 (enam) model alternatif keserentakan Pemilihan Umum (Pemilu) kita akan melihat alternatif model dimana unsur Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) digabungkan kedalam keserentakan Pemilu. Hal ini jela terlihat karena diluar model keserentakan Pemilu yang ada di tahun 2019 kemarin terlaksana semua ada Pilkada didalamnya. Mungkin sebagai pemerhati Pemilu maupun Pilkada akan melihat bahwa Pilkada sudah masuk ke rezim Pemilu. Apakah benar demikian? Penulis akan mencoba membahasnya perjalanan perundang-undangan mengenai Pilkada ini secara satu per satu untuk menjawab hal ini.
Pertama, pada awalnya dahulu kepala daerah muncul dalam UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Derah (UU No. 5 Tahun
Kedua, pilkada dengan model pemilihan secara langsung dimulai sejak UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 32 Tahun 2004) yang lahir untuk menggantikan UU No. 22 Tahun 1999. Konsep Pilkada yang dikenalkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 mirip dengan Pemilu yakni dipilih dalam satu pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat, dan penyelenggaranya yakni KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah). Jika kita telaah lebih dalam ketentuan umum akan kita temukan definisi KPUD ini yakni “… adalah KPU Provinsi, Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2003 yang diberi wewenang khusus oleh Undang- Undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di setiap provinsi dan/atau kabupaten/kota”. UU No. 12 Tahun 2003 itu sendiri adalah undang-undang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Bila kita melihat UU No. 32 Tahun 2004 dan mencoba menilainya dari sisi teori perbedaan rezim, dapat kita ketahui bahwa sejak awal pembentuk undang-undang telah memasukkan unsur penyelenggara Pemilu ke dalam Pilkada. Namun hal ini tidak berarti Pilkada masuk ke dalam rezim Pemilu, hal ini ditegaskan dalam Putusan MK No. 072-073/PUU- II/2004. Dalam Putusan MK No. 072- 73/PUU-II/2004 tersebut, MK masih secara tidak langsung (tidak tegas) menggabungkan Pilkada ke rezim Pemilu. Walaupun memang setelah Putusan MK No. 072-73/PUU-II/2004 tersebut lahir sejumlah undang-undang yang bernafaskan penggabungan Pilkada ke rezim Pemilu seperti di UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU No. 22 Tahun 2007), UU No. 15 Tahun 2011 sebagai UU pengganti dari UU No. 22 Tahun 2007, dan UU No. 12 Tahun 2008 yang merupakan UU perubahan kedua dari UU No. 32 Tahun 2004. UU No. 12 Tahun 2008 menegaskan hal yang penting dalam Pasal 236C yakni sengketa hasil Pilkada dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) bukan oleh Mahkamah Agung (MA) lagi. Hal ini penting karena jika kita membaca konstitusi, kita akan temukan benang merah antara KPU dan MK karena keduanya berkaitan ketika penyelenggaranya KPU maka perselsihan hasilnya di MK.
Adapun arah memasukkan Pilkada ke dalam rezim Pemilu dalam UU No. 22 Tahun 2007 terlihat dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 22 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa “Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Begitu pula dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 15 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa “Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah Pemilihan untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Oleh karena itu pula dalam periode ini istilah Pilkada berubah dan cenderung menggunakan istilah Pemilukada seolah- olah PIlkada berada dalam rezim Pemilu.
Ketiga, pada akhirnya, MK kemudian menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah bukan rezim Pemilu, hal ini dimulai semenjak terbitnya Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013. Dalam Putusan tersebut pemilihan umum hanyalah diartikan hanyalah limitatif sesuai dengan original intent menurut Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945, yaitu Pemilu yang diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD setiap 5 (lima) tahun sekali. Oleh karena itu menurut MK, perluasan makna pemilu yang mencakup Pilkada adalah inkonstitusional menurut MK. Terkait dengan Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 ini, kiranya Penulis perlu memberikan informasi penting yakni pemisahan rezim itu adalah argumentasi yang dibangun dalam pertimbangan hukum putusan MK, sedangkan yang banyak orang sudah lupa bahwa amar Putusan MK No. 97/PUU- XI/2013 itu sendiri, bahwa MK tidak berwenang mengadili sengketa Pilkada (berdasarkan Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008).
Pada tahun-tahun itu juga pembentuk undang-undang sedang berencana membentuk UU khusus tentang PIlkada. Dengan lahirnya Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013, maka UU khusus tentang PIlkada yang terbentuk adalah UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU No.
Keempat, adapun dalam perkembangannya, sebelum UU No. 22 Tahun 2014 sempat berlaku semenjak diundangkan, UU No. 22 Tahun 2014 dicabut oleh Perpu No. 1 Tahun 2014 yang kemudian oleh DPR disetujui dan menjadi UU No. 1 Tahun 2015. Menariknya adalah dalam Perpu No. 1 Tahun 2014, pemerintah mendesain Pilkada Kembali dengan metode pemilihan langsung, penyelenggaranya adalah KPU yang juga penyelenggara Pemilu, namun sengketa hasilnya oleh MA. Jadi dalam hal ini terlihat untuk sengketa hasil desain Pilkada ini ikut amar Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 yakni bukan MK.
Karena UU No. 1 Tahun 2015 ini belum secara jelas memposisikan Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 dan juga perlu adanya perbaikan dalam berbagai hal jika ingin Pilkada dikembalikan secara langsung, maka pada saat itu dilakukanlah revisi terhadap UU No. 1 Tahun 2015 yang pada akhirnya menjadi UU No. 8 Tahun 2015. Pengakuan terhadap eksistensi Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 dalam UU No. 8 Tahun 2015 terlihat misalnya dalam Pasal 1 angka 8 yakni “KPU Provinsi adalah lembaga penyelenggara pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai penyelenggara pemilihan umum yang diberikan tugas menyelenggarakan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang ini”. UU yang mengatur mengenai penyelenggara Pemilu disini maksudnya adalah UU No. 15 Tahun 2011. Dalam UU tersebut sebetulnya sudah ada kewenangan penyelenggara Pemilu dalam Pilkada, namun karena pembentuk undang-undang memahami sudah ada hukum terbaru melalui Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013, walaupun pasal-pasal terkait kewenangan dalam Pilkada di UU No.15 Tahun 2011 sejatinya tidak dibatalkan oleh MK namun dianggap sudah tidak berlaku lagi. Hal itulah yang melandasi adanya revisi sebagai wujud penyempurnaan pijakan berfikir terkait hal ini untuk setiap definisi penyelengara di UU No. 8 Tahun 2015.
MK pun dalam UU No. 8 Tahun 2015 kembali mengadili sengketa hasil Pilkada walau dalam Pasal 157 disebutkan bahwa keterlibatan MK dalam sengketa hasil disini hanyalah sementara. Seperti halnya Penulis utarakan sebelumnya bahwa memang format penyelenggara pemilu itu satu paket dengan peradilannya untuk sengketa hasil oleh karena itu KPU sebagai penyelenggara sudah pas dengan MK untuk sengketa hasil. Hal lainnya yang baru adalah dalam Pasal 158 UU No. 8 Tahun 2015 diatur syarat 0,5-2% sebagai Batasan pengajuan perselisihan hasil Pilkada. Memang pasal ini berfungsi agar MK tidak terlalu berlebihan menerima perkara Pilkada, namun menariknya adalah sebetulnya banyak pengujian terhadap Pasal 158 UU No. 8 Tahun 2015 (yang juga masih ada pasalnya hingga sekarang). Salah satu contoh pengujian pasal ini misalnya ada dalam Perkara MK No. 58/PUU-XIII/2015, yang menurut Penulis menarik adalah mengapa MK sepakat dengan konsep Pasal 158 UU No. 8 Tahun 2015 sehingga tidak dibatalkan hingga hari ini. Karena jika ingin konsisten dengan Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 seharusnya bisa saja MK batalkan.
Kelima, semenjak pengaturan UU Pilkada yang hingga kini masih berlaku dimana MK sebagai penyelesai akhir dan KPU sebagai penyelenggara, maka menurut Penulis eksistensi Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 semakin jelas hanya sekedar diakui saja, namun esensinya sudah tidak dapat. Namun memang yang belum terjawab adalah argumentasi pemisahan rezim, karena MK menggunakan argumentasinya melihat konstitusi secara utuh dan memang jelas dari segi Bab pun baik Pilkada maupun Pemilu berada dalam Bab yang berbeda. Jika pola berfikirnya adalah pola berfikir membaca konstitusi (saja), maka memang Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 menurut Penulis adalah sudah tepat. Bahkan untuk menjadikan Pilkada masuk ke rezim Pemilu solusinya hanya satu yakni amandemen konstitusi.
Keenam, hukum selalu berkembang dan jika kita menunggu amandemen konstitusi untuk menyelesaikan masalah yang ada di depan mata terkait dengan kepemiluan maka kita akan sulit menemukan solusinya. Semenjak Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 pun kita ketahui bahwa Pemilu harus dilaksanakan secara serentak, keserentakan itu pula yang juga (walau tidak ada dasar putusan MK) diterapkan untuk Pilkada semejak UU No. 1 Tahun 2015. Penyelenggara Pemilu pun selalu kita perkuat dari UU yang satu ke UU yang lain sekalipun penguatan itu muncul dalam UU yang berbeda rezim (pola pikir Putusan MK No. 97/PUU- XI/2013). Itulah sebabnya jika membandingkan penyelenggara Pemilu versi UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU No. 7 Tahun 2017) akan memiliki kewenangan yang lebih kuat dibandingkan UU Pilkada.
Ketika lahir Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019 yang didalamnya MK mengadopsi UU No. 7 Tahun 2017 ke dalam UU Pilkada, Penulis pun sudah tidak kaget lagi. Karena secara tidak langsung MK semakin jauh dari pola pikr Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013, walaupun Penulis yang juga perancang undang- undang yang ikut menyusun draf Keterangan DPR untuk Perkara MK No. 48/PUU-XVII/2019 telah mencoba menjawab perkara tersebut dengan argumentasi perbedaan rezim, namun terlihat jelas MK tidak berupaya untuk menanggapi “pola pikirnya” sendiri di putusan yang terdahulu tersebut. Demikian pula ketika kita melihat Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019, Penulis sudah memasukkan argumentasi perbedaan rezim namun MK justru memberikan sejumlah alternatif model keserentakan Pemilu yang baru yang memasukkan Pilkada dalam alur keserentakan tersebut.
Apakah dengan Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 maka sudah pasti Pilkada masuk rezim Pemilu? Menurut Penulis jawabannya adalah tidak. Hal ini terlihat dari Putusan MK No. 48/PUU- XVII/2019 dan Putusan MK No. 55/PUU- XVII/2019 dimana MK tidak menanggapi teori pemilahan rezim yang dimulai oleh MK dalam Putusan MK No. 97/PUU- XI/2013. Menurut analisis Penulis, MK dalam Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 tidak ingin tejebak dengan alur pemikiran pemisahan rezim lagi dan justu menawarkan pemikiran baru yakni keserentakan Pemilu yakni Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal (yang ada Pilkada didalamnya). Jadi apakah Pilkada bisa bergabung ke dalam keserentakan Pemilu? bisa jika dalam format Pemilu lokal Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 yang digabung dengan Pemilu DPRD, namun bila tanpa digabung dengan DPRD menurut Penulis hal tersebut masih Pilkada dan bukan Pemilu sesuai Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 dan UU Pilkada.
Achmadudin Rajab (Tenaga Fungsional Perancang Undang-Undang Pertama dengan pembidangan Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia di Pusat Perancangan Undang-Undang dalam Badan Keahlian pada Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia)
Penulis
Sri Muliana Azhari
Vinda Ramadhanty
Enjelita Tamba
Ulfia Pamujiningsih