Pada tanggal 4 Mei 2020 Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Perpu No. 2 Tahun 2020) yang sebagai dasar hukum penundaan pelaksanaan Pilkada yang seharusnya dilaksanakan di bulan September 2020 menurut UU No. 10 Tahun 2016 (UU tentang Perubahan Kedua Atas UU tentang Pilkada). Pada prinsipnya Perpu No. 2 Tahun 2020 ini menuangkan hasil kesepakatan bersama antara Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dengan Menteri Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia (Bawaslu RI), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia (DKPP RI) pada tanggal 14 April 2020.
Perpu No. 2 Tahun 2020 sebagai perubahan ketiga dari UU No. 1 Tahun 2015 ternyata hanya berjumlah 3 pasal perubahan yakni Pasal 120, 122A, dan Pasal 201A. Perpu No. 2 Tahun 2020 ini betul-betul fokus terhadap penundaan Pilkada akibat adanya pendemi global yakni wabah Corona Virus Disease 2019 (covid-19). Sebagai wujud suatu landasan untuk menunda Pilkada akibat covid-19 mungkin Perpu No. 2 Tahun 2020 mungkin dapat dirasakan cukup. Namun jika melihat dari substansi Penulis sebetulnya begitu menyayangkan.
Adapun berikut ini Penulis sampaikan analisis Penulis terkait dengan kekurangan Perpu No. 2 Tahun 2020 dari sudut pembentukan peraturan perundang-undangan menurut UU No. 12 Tahun 2011 (UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan) jo. UU No. 15 Tahun 2019 (UU Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2011).
Pertama, Pasal
Kedua, Perpu No. 2 Tahun 2020 telah menyelesaikan 1 (satu) judul RUU dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024 yakni RUU tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 1 Tahun 2015 (UU tentang Pilkada). Dalam Pasal 20 ayat (5) UU No. 15 Tahun 2019 sejatinya telah diatur bahwa Prolegnas jangka menengah bisa dievaluasi setiap akhir tahun dan bahkan di Pasal 23 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2019 juga diatur bahwa dalam keadaan tertentu DPR atau Presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas. Kondisi tertentu tersebut juga jika merujuk Pasal 23 ayat (2) huruf a UU No. 15 Tahun 2019 salah satunya adalah untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam. Dengan demikian pendemi covid-19 yang merupakan bencana nasional sejatinya sudah memenuhi unsur. Namun Kembali lagi, karena RUU tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 1 Tahun 2015 merupakan judul RUU long list Prolegnas 2020-2024 maka kehadiran Perpu No. 2 Tahun 2020 menurut Penulis telah menyelesaikan judul RUU dalam Prolegnas tersebut, walaupun memang bukan hasil ideal yang diharapkan. Dalam hal ini Penulis menilai amat disayangkan peluang melahirkan suatu aturan setingkat undang-undang hanya berisi penundaan saja.
Ketiga, Perpu No. 2 Tahun 2020 seharusnya dapat sekaligus menindaklanjuti kewajiban selaku pembentuk undang-undang. Apakah hal tersebut? Yakni menjalankan amanat putusan MK juga sesuai dengan dasar hukum dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d UU No. 12 Tahun 2011. Dalam pasal tersebut diatur bahwa salah satu materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang adalah tindak lanjut atas putusan MK. Tindak lanjut putusan MK ini juga penting karena dalam Pasal 10 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 secara eksplisit dinyatakan bahwa tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden. Karena Perpu merupakan produk dari Presiden dan DPR hanya bisa memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 52 UU No. 12 Tahun 2011 maupun Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945, maka menurut hemat Penulis hal ini sungguh disayangkan.
Menurut analisis Penulis yang merupakan perancang undang-undang yang ikut dalam pembentukan berbagai UU tentang Pilkada tercatat ada 6 (enam) putusan MK yang wajib ditindaklanjuti yakni Putusan MK No. 54/PUU-XIV/2016, Putusan MK No. 71/PUU-XIV/2016, Putusan MK No.92/PUU-XIV/2016, Putusan MK No. 56/PUU-XVII/2019, Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019, dan Putusan MK No. 135/PUU-XIII/2015. Hal ini menurut Penulis juga sangat disayangkan mengingat dalam Perpu No. 2 Tahun 2020 diatur bahwa Pilkada dilaksanakan Desember 2020, seharusnya justru aspek hukumnya dalam hal ini tinggal menindaklanjuti putusan MK yang sifatnya final dan mengikat justru terlupakan (padahal tinggal eksekusi saja). Hal ini penting menurut Penulis mengingat sistem hukum yang kita anut yakni civil law dimana peraturan perundang- undangan menjadi yang utama daripada putusan pengadilan. Dengan demikian hal ini jelas merupakan kekurangan dari Perpu No. 2 Tahun 2020 ini.
Keempat, Perpu No. 2 Tahun 2020 seharusnya juga dapat menjadi jembatan bagi perubahan arah politik pembentukan undang-undang kepemiluan. Hadirnya Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019, telah memberikan dampak baru yakni memberikan alternatif keserentakan Pemilu yang termasuk didalamnya menggabungkan Pilkada kedalam keserentakan Pemilu.
Dahulu melalui Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 telah menyatakan dalam pertimbangan putusannya bahwa Pilkada bukan merupakan rezim Pemilu, melainkan rezim Pemda. Namun dalam Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019 dan Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019, Penulis menganalisis bahwa sepertinya MK tidak ingin terjebak dalam pemikiran pemisahan rezim lagi. Oleh karena itu maka pemikiran ini seharusnya dipahami juga oleh Pemerintah dan sepatutnya Perpu No. 2 Tahun 2020 ikut memberikan jalan untuk terwujudnya hal tersebut.
Kelima, seharusnya ketika membentuk Perpu No. 2 Tahun 2020 ini, Pemerintah juga memahami bahwa sudah terlalu banyak perubahan yang muncul untuk UU No. 1 Tahun 2015 ini. Maka jika mau taat dengan Lampiran II angka 237 UU No. 12 Tahun 2011 sepatutunya Pemerintah memahami bahwa jika perubahan peraturan perundang- undangan mengakibatkan sistematika yang berubah, materi yang berubah lebih dari 50%, atau esensinya berubah maka lebih baik dicabut dan disusun kembali dalam bentuk yang baru. Apa yang terjadi dahulu dapat menjadi contoh, misalnya ketika melahirkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perpu No. 1 Tahun 2014) yang mencabut secara keseluruhan UU No. 22 Tahun 2014 (UU tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota) dalam Pasal 205 Perpu No. 1 Tahun 2014 tersebut.
Keenam, kalaupun misalnya ada yang ingin pula ditambahkan dalam Perpu No. 2 Tahun 2020 yang belum terwujud hingga kini dan merupakan salah satu esensi dalam ketaatan terhadap UU No. 12 Tahun 2011 yakni menjalankan amanat Lampiran II angka 149 UU No. 12 Tahun 2011. Adapun Lampiran II angka 149 UU No. 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa “Untuk mencabut Peraturan Perundang- undangan yang telah diundangkan tetapi belum mulai berlaku, gunakan frasa ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.”. Hal ini jelas penting karena dalam kenyataannya UU No. 22 Tahun 2014 pasca diundangkan belum pernah sekalipun berlaku, dan justru lalu dicabut begitu saja dengan Pasal 205 Perpu No. 1 Tahun 2014.
Demikian beberapa analisis singkat dari Penulis yang dianggap merupakan kekurangan dari Perpu No. 2 Tahun 2020. Sepatutnya menurut Penulis, pada pembentuk undang-undang selalu mentaati UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU No. 15 Tahun 2019 dalam segala pembentukan undang-undang. Hal ini mengingat UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU No. 15 Tahun 2019 merupakan amanat langsung dari konstitusi yakni dalam Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945. Adapun Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945 tersebut secara tegas menyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang”. Penulis berharap pembentukan peraturan perundang-undangan kedepannya bisa lebih baik lagi dan mengikuti selalu UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU No. 15 Tahun 2019.
Achmadudin Rajab (Tenaga Fungsional Perancang Undang-Undang Pertama dengan pembidangan Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia di Pusat Perancangan Undang-Undang dalam Badan Keahlian pada Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia)
Penulis
Sri Muliana Azhari
Vinda Ramadhanty
Enjelita Tamba
Ulfia Pamujiningsih