PROBLEMATIKA PERPU NOMOR 1 TAHUN 2020 TENTANG KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA DAN STABILITAS SISTEM KEUANGAN UNTUK PENANGANAN PANDEMI
CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19)
Oleh:
Gilang Ramadhani
Diterima : 2 Mei 2020, disetujui : 8 Mei 2020
Untuk menangani Covid-19, Presiden Jokowi sudah mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Perpu ini ternyata tidak hanya mengatur Covid-19 saja, tetapi juga mengatur Stabilitas Sistem Keuangan. Karena dalam Perpu ini terdapat kata “dan/atau”, yang dalam hal ini jika kita artikan, maka kata tersebut dapat menangani Covid-19 dan bisa juga tidak terkait dengan Covid-19. Sebagai contoh dalam hal ini, yaitu apabila Covid-19 telah berlalu dan dampak ekonominya masih ada, maka Perpu ini masih bisa digunakan sampai dengan Tahun Anggaran 2023.
Sehingga tidak heran dalam hal ini terdapat kelompok masyarakat, yaitu Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang akhirnya mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi, yang mereka anggap kontroversial di dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, 2, dan 3, Pasal 27 dan Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi CoronaVirus Disease 2019 (Covid-19). Jika kita melihat Pasal 2 (1) Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), Pemerintah berwenang untuk menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai berikut: 1). Melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022; 2). Sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB); dan 3). Penyesuaian besaran defisitsebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap.
Jika kita simpulkan secara singkat dalam pasal ini, maka pemerintah menginginkan keleluasaan untuk menetapkan defisit anggaran yang lebih 3%, yang kita tidak tahu lebihnya berapa, karena memang kesepakatan dengan DPR di APBN adalah maksimal 3%, sehingga apabila terjadi penambahan defisit, maka pemerintah mau tidak mau harus berhutang lagi. Secara tidak langsung dalam pasal ini seakan-akan melegitimasi untuk mencari hutang. Selanjutnya Pasal 27 yang dianggap kontroversial, yaitu pasal yang dianggap impunity atau tidak dapat dipidanakan bagi pelaku yang melakukan tindak pidana.
Pasal 27
(1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
(2) Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perrrndangundangan.
(3) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Pasal 28 angka 1 sampai dengan angka 12, yang pada intinya dalam undang- undang berikut ini:
1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan;
6. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
7. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
8. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
9. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2Ol4 tentang Pemerintahan Daerah;
10. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Ralryat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Ralryat Daerah;
11. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan
12. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020.
Telah dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini. Apabila kita membaca beberapa pasal di atas, maka adalah wajar apabila MAKI mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi.
Jika analisis dengan UU Tipikor, maka dalam Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 2 ayat (2)UU Tipikor tersebut jelas memberikan beberapa point terkait penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Pertama, pidana mati dalam UU Tipikor adalah sebuah pilihan. Kata “dapat dijatuhkan” yang adadalam Pasal 2 ayat (2) menunjukkan bahwa pidana mati adalah sebuah pilihan. Artinya hakim diberi kebebasanuntuk menjatuhkan pidana mati atau jenis pidana lainnya terhadap pelaku tindak pidana korupsi sebagaimanayang terdapat dalam pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Kedua, pidana mati hanya dapat dijatuhkan apabila seseorangmelakukan tindak pidana korupsi terhadap dana-dana yang akan dikeluarkan oleh negara untuk penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter dan lainnya sebagaimana yang terdapat dalam penjelasan pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.
Melihat masifnya penyebaran virus corona dan banyaknya korban yang berjatuhan, maka keadaan sekarang ini dapat dikategorikan sebagai kondisi genting atau keadaan bahaya. Itu artinya seseorang yang melakukan tindak pidana korupsi terhadap dana-dana yang yang akan dikeluarkan oleh negara untuk penanganan virus corona, maka seseorang tersebut dapat dijatuhkan pidana mati.
![]()
i Penulis adalah Mahasiswa pada Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
Gilang Ramadhan
Penulis
Caecilia Aletheia
Natasya Ayu Savira
I Wayan Agus Eka
Krisna Bayu Aji