Industri penerbangan di Indonesia secara luas dianggap sebagai pasar penerbangan yang tengah tumbuh. Penerbangan di Indonesia merupakan sarana penting untuk menghubungkan ribuan pulau di Nusantara. Kementerian Perhubungan memperkirakan jumlah penumpang pesawat pada 2018 mencapai 116.654.624 orang, terdiri atas penumpang domestik 97.831.297 orang atau meningkat 3,28 %, dan penumpang internasional 12.823.327 orang atau meningkat 3,33% dibanding tahun 2017 (pikiranrakyat.com, di akses pada 28 September 2018). Ini menunjukkan bahwa industri penerbangan memberikan kontribusi yang cukup besar di perdagangan jasa penerbangan di Indonesia. Bahkan di tingkat ASEAN, industri penerbangan masih memiliki daya saing yang cukup tinggi.
Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke IX yang diadakan di Bali pada tahun 2003, telah menghasilkan deklarasi Bali Concord II yang mengarahkan pada pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) pada Tahun 2020. Namun demikian setelah mengalami berbagai dinamika dari KTT 12 di Cebu Filipina pada 12-13 Januari 2007, sesuai kesepakatan target dicanangkannya AEC pada tahun 2020 dipercepat lima tahun menjadi tahun 2015. AEC bertujuan untuk mengintegrasikan ekonomi di kawasan ASEAN dan sekaligus menyiapkan Negara-negara ASEAN untuk dapat bersaing dengan Negara-negara di kawasan Eropa dan Amerika. Dalam deklarasi Bali Concord II, sektor angkutan udara merupakan salah satu dari 12 sektor di ASEAN untuk percepatan liberalisasi. Selanjutnya pada tahun 2015 diberlakukan ASEAN Open Sky 2015 secara penuh dan sesuai dengan Blueprint AEC. pada bagian Competitive Economic Region, salah satu poin dari bagian tersebut berhubungan dengan ASEAN Open Sky. Lalu bagaimanakah Indonesia melakukan penyesuaian regulasi nasional di bidang industri penerbangan terkait dengan kebijakan ASEAN open sky.
Pengaturan Hak Lintas Pesawat Terbang dan Open Sky Secara Internasional
Meskipun pesawat udara bukan merupakan tanah atau perumahan, dia adalah merupakan sesuatu yang memiliki status personal atau juga menjadi milik perseorangan, selain itu penerbangan komersial ini merupakan produk yang sangat terkenal sejak abad 20 (Hanley, 2012: 1). Kebijakan Open Sky dipahami sebagai sebuah kesepakatan langit terbuka yaitu salah satu bentuk dari liberalisasi atas regulasi-regulasi yang berkaitan dengan industri penerbangan, khususnya penerbangan komersil dengan tujuan untuk menciptakan sebuah lingkungan pasar bebas dalam industri penerbangan (state.gov di akses pada 18 September 2018). Penulis berasumsi bahwa kebijakan Open Sky ini berangkat dari freedoms of the air, karena aktivitas penerbangan sipil lintas negara yang bebas berdasarkan freedoms of the air yang menjelaskan cara yang mendasar saat kebijakan open sky sudah diberlakukan di wilayah negara- negara yang ikut dalam kebijakan tersebut. Kebijakan open sky ini diberlakukan atas dasar agreement yang dibuat secara bilateral maupun multilateral (Raymond, 2006: 283).
Negara-negara ASEAN melihat potensi yang cukup besar dalam aspek jasa penerbangan membuat ASEAN memasukkan integrasi dalam bidang pelayanan udara sebagai salah satu dari tujuan Komunitas Ekonomi ASEAN yang telah disepakati dalam Bali Concord II di KTT ASEAN ke-9 pada tahun 2003 di Bali, Indonesia (Kusumaningrum, 2014: 9). Di waktu yang sama, untuk meningkatkan layanan transportasi udara yang lebih agresif, diadopsi sebuah Action Plan for ASEAN Air Transport Integration and Liberalization 2005-2015 dalam 10th ASEAN Transport Ministers’ Meetings (ATMs) di Phnom Penh, Kamboja (ASEAN, 2006: 221-226). Pokok tujuan Open Sky ASEAN adalah untuk membuka wilayah udara antar negara sesama anggota ASEAN.
Open Sky akan menjadi komponen penting dari keseluruhan integrasi ekonomi ASEAN, karena transportasi udara sangat penting untuk mengatasi hambatan distribusi dalam perdagangan (Forsyth et.al, 2004: 1). Transportasi udara juga sangat penting untuk komunikasi bisnis. Selain itu perdagangan barang, perdagangan jasa di ASEAN juga akan terbantu dengan kebijakan open sky ini terutama di bidang pariwisata, yang merupakan potensi yang besar bagi negara-negara di ASEAN (Forsyth et.al, 2004: 1).
Pengaturan Secara Nasional di Bidang Industri Penerbangan dalam rangka implementasi dari kebijakan ruang udara terbuka (ASEAN Open Sky)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan adalah landasan hukum bagi penyelenggaraan jasa penerbangan di Indonesia. Undang-Undang ini adalah pengganti dari undang-undang yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 ini lahir karena terjadi perubahan yang signifikan terhadap sistem lalu lintas udara di dunia, khususnya berkaitan dengan liberalisasi dan faktor ekonomi. Perpindahan manusia dari satu negara ke negara lain, pergerakan modal serta kebijakan transportasi dalam satu region dan perdagangan dunia khususnya perdagangan jasa penerbangan, adalah beberapa faktor yang menjadi latar belakang dari lahirnya undang-undang ini.
Pembukaan akses pasar transportasi udara menuju ASEAN open sky diatur dalam Pasal 90 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Pelaksanaan pembukaan akses tanpa batas dari dan ke Indonesia untuk perusahaan angkutan udara niaga asing dilaksanakan secara bertahap berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral yang pelaksanaannya melalui mekanisme yang mengikat para pihak. Perjanjian bilateral maupun multilateral tersebut dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mempertimbangkan kepentingan nasional berdasarkan prinsip keadilan (fairness) dan timbal balik (reciprocity). Kebijakan ASEAN open sky yang diterapkan di Indonesia diartikan sebagai terbukanya wilayah udara Indonesia atas berbagai penerbangan asing untuk melewati dan mendarat di bandara- bandara di wilayah Indonesia. Hal tersebut telah diatur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan.
Arah kebijakan pemerintah Indonesia dalam hal angkutan udara internasional adalah: 1. Pertukaran traffic rights yang didasarkan atas prinsip timbal balik (reciprocity) dan saling menguntungkan tanpa mengorbankan kepentingan nasional; 2. Memperhatikan kemampuan perusahaan angkutan udara nasional dalam bersaing di pasar angkutan udara internasional; 3. Evaluasi dan penetapan rute-rute penerbangan internasional didasarkan atas pertimbangan aspek ekonomi nasional, politik, komersil perusahaan angkutan udara nasional dan memperhatikan keterkaitannya dengan rute domestik; 4. Mengikutsertakan perusahaan angkutan udara swasta nasional dalam persaingan di pasar angkutan udara internasional; 5. Kebijakan pertarifan ditentukan dengan menggunakan standard dan mekanisme IATA; dan 6. Pemerintah tidak melakukan proteksi, tetapi hanya akan “campur tangan” apabila perusahaan angkutan udara nasional memperoleh perlakuan tidak wajar dan diskriminatif dari negara mitra wicara atau persaingan tidak wajar yang dilakukan oleh perusahaan negara mitra.
Kesimpulan
Peraturan perundang-undangan penerbangan nasional sebenarnya telah mengakomodir ketentuan-ketentuan yang berkembang dalam penerbangan internasional, khususnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Meskipun undang-undang tersebut dilahirkan sebelum kebijakan open sky berlaku di ASEAN, tetapi sudah berisi kaidah-kaidah yang bisa diterapkan untuk menghadapi ASEAN Open Sky. Oleh karena itu, menurut penulis, Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2009 belum perlu diubah, tetapi pemerintah harus lebih siap melindungi industri penerbangan dalam negeri dengan menyediakan aturan hukum yang jelas dan sinkron yang bersifat lebih teknis. Misalnya di tingkat Peraturan Menterinya.
Salah satu tantangan Indonesia terkait dengan perkembangan industri penerbangan di tengah Kebijakan ASEAN Open Sky adalah pengelolaan bandara. Pengelolaan bandara komersial di Indonesia masih dikelola oleh Angkasa Pura. Sementara itu, untuk beberapa daerah yang punya potensi penumpang yang tinggi, pemerintah juga mengembangkan beberapa bandara melalui Unit Penyelenggaraan Bandar Udara (UPBU). Dalam kaitannya dengan ASEAN Open Sky ini, standar keamanan dan keselamatan untuk bandara di Indonesia harus siap, khususnya bandara primer yang masuk perjanjian ASEAN Open Sky, dan hal tersebut telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan.