Perkembangan dunia usaha yang semakin pesat saat ini menjadikannya sarat dengan berbagai macam persaingan di segala bidang. Persaingan usaha yang sangat dinamis dan tajam merupakan tantangan bagi para pelaku usaha untuk tetap berada dalam lingkungan persaingan usaha yang sehat. Pelaku usaha dituntut untuk mempunyai strategi yang tepat dalam menghadapi persaingan antara pelaku usaha dengan cara mengusahakan produk terbaik dan terjangkau bagi konsumen. Salah satu upaya mewujudkan persaingan yang sehat adalah membuat suatu aturan hukum yang mencakup batasan di bidang persaingan usaha dan larangan dalam kegiatan usaha yang berpotensi melahirkan persaingan usaha tidak sehat yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli.
Langkah yang dilakukan oleh Pemerintah untuk menciptakan kondisi yang kondusif dalam menjalankan suatu usaha bagi setiap pelaku usaha adalah menetapkan aturan hukum persaingan usaha di Indonesia melalui Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5/1999). Tujuan diberlakukannya UU No. 5/1999 sebagaimana diatur pada Pasal 3 adalah menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; mewujudkan iklim persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil; mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan pelaku usaha; dan terciptanya efektifitas dalam kegiatan usaha.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur tentang bentuk-bentuk praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha. Undang-Undang ini juga mengatur secara khusus tentang pengawasan dan penegakan hukum terhadap setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Bentuk-bentuk praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dilarang tersebut berupa perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, serta posisi dominan pelaku usaha pada perusahaan tertentu yang dapat menciptakan timbulnya praktik monopoli. Sesuai amanat UU No. 5/1999 pada sektor kelembagaan, dibentuklah lembaga yang disebut dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Salah satu tugas dan fungsi KPPU yaitu menangani persaingan usaha yang tidak sehat yang dilakukan oleh para pelaku usaha dan melakukan pemeriksaaan terhadap pihak yang diduga melakukan pelanggaran terhadap UU No. 5/1999.
Proses pemeriksaan KPPU dilakukan dengan memeriksa dugaan pelanggaran berdasarkan pendekatan sesuai UU No. 5/1999 . Ada dua pendekatan utama yang digunakan dalam perumusan pasal-pasal UU No. 5/1999 untuk mengetahui apakah pelaku usaha terindikasi melanggar persaingan usaha atau tidak. Adapun kedua pendekatan tersebut adalah pendekatan per se illegal dan rule of reason. Pendekatan per se illegal adalah suatu pendekatan yang menyatakan suatu perjanjian atau kegiatan tertentu sebagai perbuatan yang dilarang tanpa dibuktikan lebih lanjut dampak yang ditimbulkan oleh perjanjian atau kegiatan tersebut (Sirait, et al., 2010:172). Sedangkan rule of reason adalah suatu pendekatan yang dipergunakan oleh KPPU untuk membuat evaluasi mengenai akibat suatu perjanjian atau kegiatan tertentu, apakah telah menimbulkan akibat yang disebutkan oleh UU No. 5/1999 (Anggraini, 2003:8). Kedua konsep klasik dalam hukum persaingan usaha itu memiliki perbedaan ekstrim yang juga tercermin pada UU No. 5/1999.
Pada perumusan pasal-pasal UU No. 5/1999, ketentuan yang mencantumkan kata-kata “… yang dapat mengakibatkan
…” dan/atau “… patut diduga …”. Kata- kata tersebut mengartikan perlunya penelitian secara lebih mendalam, apakah suatu tindakan dapat menimbulkan praktik monopoli yang bersifat menghambat persaingan. Sedangkan penerapan pendekatan per se illegal biasanya dipergunakan dalam pasal-pasal yang menyatakan istilah “dilarang”, tanpa anak kalimat “... yang dapat mengakibatkan ...”. Oleh karena itu, penyelidikan terhadap beberapa perjanjian atau kegiatan usaha, misalnya kartel pada Pasal 11 dan praktik monopoli pada Pasal 17 dianggap menggunakan pendekatan rule of reason.
Pada hakikatnya, semua tindakan yang terlarang secara per se illegal diasumsikan mengandung konsekuensi yang lebih berat dibandingkan dengan rule of reason. Misalnya, Pasal 5 ayat (1) tentang perjanjian penetapan harga: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.” Pasal ini dimasukkan dalam kategori terlarang secara per se illegal.
Pendekatan per se illegal dan rule of reason sebenarnya tidak cukup jelas diatur dalam UU No. 5/1999. Pasal 5 ayat (1) di atas tidak mencantumkan anak kalimat “… patut diduga …” atau “… yang dapat mengakibatkan ….” sehingga termasuk per se illegal. Lain halnya dengan Pasal 7 yang berbunyi: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.” Kata “dapat” yang digunakan dalam pasal-pasal UU No. 5/1999 sengaja dipakai antara lain untuk menunjukkan bahwa pelanggaran sudah dinyatakan terjadi jika perbuatan itu memang berpotensi merusak persaingan. Kata “dapat” di sini berarti akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan (perjanjian/kegiatan) tadi tidak perlu ada terlebih dulu.
Pendekatan per se illegal dan rule of reason kerap menjadi acuan bagi Majelis KPPU maupun hakim dalam mempertimbangkan apakah suatu tindakan pelaku usaha melanggar Undang-Undang atau tidak. Misalnya, khusus Pasal 27 UU No. 5/1999, KPPU telah mengeluarkan Peraturan KPPU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 27 (Pemilikan Saham) UU No. 5/1999 yang menentukan bahwa pendekatan yang digunakan dalam menganalisis Pasal 27 UU No. 5/1999 bersifat per se illegal.
Pertimbangan Majelis KPPU dalam Putusan KPPU atas perkara Group 21, yaitu Putusan KPPU Nomor 05/KPPU- L/2002 menggunakan pendekatan per se illegal dalam memeriksa apakah Terlapor dalam perkara tersebut melakukan pelanggaran terhadap Pasal 27 UU No. 5/1999 atau tidak. Tetapi dalam Putusan KPPU atas perkara Temasek, yakni Putusan KPPU Nomor 07/KPPU-L/2007, KPPU memutus berdasarkan pertimbangan bahwa pendekatan yang seharusnya dilakukan terhadap Pasal 27 UU No. 5/1999 adalah rule of reason. Di satu sisi, hal tersebut menunjukkan tidak ada pembedaan yang kaku terhadap ketentuan UU No. 5/1999, apakah menggunakan pendekatan per se illegal atau rule of reason. Kemungkinan terhadap satu kesatuan yang sama, dapat digunakan salah satu dari kedua pendekatan tersebut, tergantung pada kondisi perkara yang sedang diperiksa. Namun di sisi lain, fleksibilitas penggunaan suatu pendekatan dalam memeriksa tindakan pelaku usaha yang diduga melanggar ketentuan yang sama dalam UU No. 5/1999 menimbulkan kesimpangsiuran dan ketidakpastian bagi pelaku usaha yang diperiksa. Hal ini menunjukkan dua hal, yaitu pertama, fleksibilitas KPPU dalam menentukan pendekatan mana yang akan digunakan dalam memeriksa perkara berkaitan dengan Pasal 27 UU No. 5/1999, dan kedua, KPPU membuka celah hukum yang lebar dan mengarah pada ketidakpastian hukum, perihal pendekatan mana yang akan digunakan dalam menganalisis perkara persaingan usaha berkaitan dengan Pasal 27 UU No. 5/1999. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rumusan UU 5/1999 cenderung lebih menerapkan alternatif dari kedua pendekatan tersebut kepada KPPU, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 35 UU No. 5/1999.