Grasi merupakan salah satu kebijakan yang dimiliki oleh seorang Presiden dalam memegang kekuasaan prerogatif. Kekuasaan prerogatif tersebut tertera di dalam Pasal 14 ayat (1) Undang- Undang Dasar NRI 1945 bahwa Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung, hal tersebut bukan merupakan suatu kewajiban yang harus diperhatikan oleh Presiden, karena Presiden bisa saja memutus pengajuan grasi kepada terpidana dengan pandangan yang beda dari Mahkamah Agung atau bisa saja tidak mengikuti pertimbangan dari Mahkamah Agung karena hanya bersifat pertimbangan. Dengan demikian, berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi, bahwa grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.
Pemberian grasi atau pengampunan pada mulanya di zaman kerajaan absolut di Eropa adalah berupa anugerah raja (vorstelijke gunst) yang memberikan pengampunan kepada orang yang telah dipidana, jadi sifatnya sebagai kemurahan hati raja yang berkuasa. Tetapi setelah tumbuhnya negara-negara modern di mana kekuasaan kehakiman telah terpisah dengan kekuasaan pemerintahan atas pengaruh dari paham trias politica, yang mana kekuasaan pemerintahan tidak dapat sekehendaknya ikut campur ke dalam kekuasaan kehakiman, maka pemberian grasi berubah sifatnya menjadi sebagai upaya koreksi terhadap putusan pengadilan, khususnya dalam hal pelaksanaannya.
Pada masa sekarang ini, lembaga grasi itu tidak dapat dikatakan lagi sebagai lembaga yang memberikan pengampunan dari suatu kemurahan hati pribadi seorang Presiden, karena dalam pemberian grasi kepada terpidana itu telah melibatkan pejabat-pejabat negara lainnya, misalnya para hakim, para jaksa, Ketua Mahkamah Agung, dan pranata-pranata lainnya dalam sistem peradilan pidana.
Adanya campur tangan seorang Presiden dalam urusan peradilan, bukan berarti adanya intervensi seorang kepala negara/Kepala Pemerintahan secara langsung terkait sistem peradilan. Kita tidak dapat menyamakan pemberian grasi itu, misalnya dengan putusan peradilan setelah mengadakan suatu peninjauan kembali. Pelaksanaan peradilan yang independent dan baik secara tertulis terdapat di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Di dalam KUHAP tidak terdapat satu kata pun yang menyatakan peradilan pidana di Indonesia melibatkan kewenangan seorang Presiden atau Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan.
Presiden di dalam melaksanakan hak prerogatifnya dalam pemberian grasi itu hanya perlu memperhatikan ketepatan dalam membuat suatu putusan sesuai dengan rasa keadilan yang terdapat didalam masyarakat dan sesuai dengan undang-undang grasi, tanpa adanya keterikatan dengan hukum acara tertentu. Namun, ketika ditelaah lebih jauh bahwa antara grasi dengan peradilan itu memang terdapat suatu hubungan yang sangat erat, karena grasi dapat merubah suatu hukuman tanpa melalui peradilan. Akan tetapi, setiap orang juga perlu menjaga agar proses dan ruang lingkup mengenai pemberian grasi tidak merugikan kewibawaan dan kekuasaan yudikatif dalam peradilan. Oleh karena itu, untuk menyeimbangkan antara kekuasaan Presiden dan Peradilan, Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi menyatakan bahwa Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung. Jadi, pertimbangan Mahkamah Agung terkait pemberian grasi perlu diperhatikan oleh seorang Presiden walaupun sepakat atau tidak.
Hal-hal pokok dan mendasarkan yang ditentukan dan diatur di dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi antara lain adalah bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden. Dengan demikian, Undang-Undang Grasi mengatur mengenai bagian dari kekuasaan prerogatif Presiden beserta hubungannya dengan Mahkamah Agung dalam memberikan pengampunan kepada terpidana.
Pada dasarnya setiap kebijakan publik harus dapat diuji, baik melalui judicial review maupun peradilan administrasi. Keputusan Presiden tentang Grasi tidak merupakan bentuk hukum yang dapat diuji melalui mekanisme Judicial Riview, tetapi dapat diuji materiilkan dengan proses administrasi negara, yaitu melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.
Berdasarkan UU No. 51 Tahun 2009 dan UU No. 9 Tahun 2004 jo. UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Administrasi Negara, Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, invidual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Di dalam Pasal 2 UU No. 51 Tahun 2009 dan UU No. 9 Tahun 2004 jo. UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Administrasi Negara diatur pengecualian yang tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara sebagai berikut: Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum; Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan; Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana; Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia; dan Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
Apakah Keputusan Presiden berupa Grasi termasuk kategori dalam poin nomor 4 tentang pengecualian keputusan tata usaha negara yang merupakan peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana? Menurut Penulis keputusan Grasi tidak termasuk ke dalam pengecualian tersebut, karena perundang- undangan tentang Grasi tidak masuk ke dalam ranah peradilan pidana, melainkan masuk ke ranah politis atau ranah kebijakan seorang Presiden dalam memberikan pengampunan dengan melihat aspek sosiologis masyarakat maupun individu terpidana tersebut.
Dengan demikian, dalam kasus pemberian ampunan berupa Grasi kepada Terpidana Mantan Bupati, Syaukani dan Corby atau Terpidana-terpidana kejahatan berat lainnya, Penulis menginterpretasikan sama halnya dengan keputusan Pejabat tata usaha negara. Presiden dalam hal ini selaku pemegang kekuasaan tertinggi di Pemerintahan bertindak sebagai Pejabat tertinggi pada Pemerintahan. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI 1945 menyatakan bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Karena Presiden selaku Kepala Pemerintahan bukan sebagai Kepala Negara, maka Keputusan Presiden dapat dinyatakan sebagai keputusan pejabat tata usaha negara dan dapat dilakukan gugatan tinjauan kembali ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Satu hal yang harus diperhatikan ketika seorang terpidana ingin mengajukan Grasi, yaitu terpidana harus mengaku bersalah dan menyetujui terlebih dahulu putusan pidana yang dijatuhkan kepadanya. Jika terpidana tidak mengakui atau tidak merasa bersalah terhadap hukuman yang diterimanya, berarti grasi tersebut harus ditolak, karena filosofi dari permohonan grasi adalah meminta pengampunan kepada Presiden, arti daripada meminta pengampunan adalah menerima dan menyetujui hukuman yang telah dijatuhinya, lalu kemudian memohon ampun kepada Presiden.
Masan Nurpian (Analis Hukum di Badan PembinaanHukum Nasional)
Penulis
Sri Muliana Azhari
Vinda Ramadhanty
Enjelita Tamba
Ulfia Pamujiningsih