Pelaksanaan Pemilihan Kepala daerah (Pilkada) yang demokratis dalam sistem hukum di Indonesia ini merupakan perwujudan dari demokrasi itu sendiri. Penyelenggaraan Pilkada tidak akan pernah lepas dari warga negaranya, karena hal itu merupakan hak konstitusional warga negara. Pemilihan yang dalam hal ini adalah Pilkada merupakan salah satu pilar utama dalam demokrasi. Peran penting pemilihan dalam membedakan sistem politik yang demokratis atau bukan, tampak jelas dari beberapa definisi demokrasi yang diajukan oleh para sarjana. Salah satu konsepsi modern awal mengenai demokrasi diajukan oleh Joseph Schumpeter (mazhab Schumpeterian) yang menempatkan penyelenggaraan pemilihan yang bebas dan berkala sebagai kriteria utama bagi suatu sistem politik untuk dapat disebut demokrasi (Joseph Schumpeter, 1947: 122).
Sesuai dengan 3 undang-undang payung hukum Pilkada yakni UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang- Undang, UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, dan UU No. 10 Tahun 2016 Perubahan Kedua atas
Pilkada serentak di tahun 2018 ini harus mendapatkan perhatian serius, hal ini dikarenakan Pilkada ini adalah Pilkada terakhir sebelum memasuki Pemilu serentak di tahun 2019. Suhu politik semenjak Pilkada terakhir lalu di tahun 2017 telah berjalan cukup hangat dan diperkirakan akan
Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap event Pilkada turut serta berimplikasi kepada beragam tindak pelanggaran pemilu, kekisruhan dalam pelaksanannya, serta juga menimbulkan kondisi yang tidak aman bagi masyarakat. Hal ini merupakan kerawanan yang kerap kali muncul dan terjadi dari setiap momen-momen politik seperti ini. Namun kita tidak dapat alergi terhadap hal-hal yang semacam ini, karena bagaimanapun inilah tantangan besar yang mau tak mau akan dihadapi oleh suatu negara dalam membangun demokrasi yang baik.
Oleh karena itu, semenjak tahun 2014 Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dengan sigap menangkap kebutuhan akan hal ini dengan mendesain Indeks Kerawanan Pemilu atau biasa disebut IKP. Peran penting IKP adalah untuk menjadi upaya pemetaan dan deteksi dini terhadap potensi pelanggaran dan kerawanan dalam pelaksanaan Pilkada serentak. Dalam rangka menyusun IKP ini, Bawaslu menggunakan 3 dimensi pengukuran yang dijadikan sebagai alat ukur guna menjadikan pemilu yang demokratis, berkualitas, dan bermartabat. Dimensi-dimensi tersebut adalah dimensi kontestasi, partisipasi, dan penyelenggaraan pemilu (Bawaslu, 2018: 1-3).
Dari 171 daerah yang melaksanakan Pilkada serentak di tahun 2017, terdapat 17 Pilkada untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, di tahun 2018 terdapat ada 3 provinsi yang memiliki tingkatan
Secara umum berdasarkan 3 dimensi pengukuran itu pula, terdapat hal-hal umum yang mempengaruhi yakni dari sisi penyelenggara adanya keberpihakan penyelenggara kepada pasangan
Seperti diketahui pula Pilkada di tahun 2018 esok tidak ada Pilkada di DKI Jakarta, hal ini dikarenakan Jakarta telah melaksanakan Pilkada di tahun 2017. Hal yang juga kita sama- sama ketahui Pilkada untuk DKI Jakarta di tahun 2017 tidak berjalan dengan mulus, tensi politik begitu hangat bahkan panas dengan segala dinamika yang terjadi. Sebetulnya walaupun hal tersebut bukanlah satu- satunya acuan, Pilkada di DKI Jakarta tersebut tidaklah salah jika dikatakan merupakan barometer bagi pelaksanaan Pilkada-Pilkada berikutnya di tahun 2018 terutama
IKP 2018 yang telah disusun oleh Bawaslu RI tersebut menjadi begitu penting sebagai langkah preventif guna memetakan potensi masalah ke depan. Dalam Pilkada, segala upaya dan cara kerap digunakan dalam rangka mengalahkan para pasangan calon yang merupakan lawannya. Kita tidak mungkin lupa dengan Pilkada di tahun 2017 di mana isu SARA juga tindakan saling lapor melapor yang bahkan tendensius berbau kriminilasasi adalah pelajaran penting yang kita peroleh dari perhelatan Pilkada yang lalu.
Hal inilah menjadi alasan penting bahwa tetap saja walaupun tahun 2018 esok tidak ada Pilkada di DKI Jakarta, namun bagaiamanapun DKI Jakarta patut ekstra kerja keras untuk menjaga stabilitas keamanannya. Bawaslu RI yang memiliki kewenangan sengketa, MK yang merupakan akhir pengaduan nasib para peserta pemilihan, begitu juga KPU sebagai penyelenggara adalah
Hate speech atau biasa disebut juga ujar kebencian, aksi lapor melapor diyakini akan digunakan kembali dalam rangka memenangkan hati para pemilih dalam Pilkada 2018 ini. Black campaign pun sudah mulai disiapkan oleh para lawan untuk dikeluarkan pada waktunya nanti guna mendulang kemenangan yang diharapkan. Kantor DPP Partai Politik yang merupakan acuan terpenting lahirnya pengusulan pasangan calon tertentu yang kesemuanya ada di Jakarta juga tidak dapat dipungkiri dapat menjadi sasaran empuk pula bagi aksi-aksi yang sebenarnya tidak
Belum lagi dengan money politic, karena pasca terbitnya Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013, MK
Walaupun sanksi telah diperberat dalam UU Pilkada terbaru begitu juga kewenangan penyelenggara yang diperkuat dalam UU pemilu yang baru, pelanggaran dalam Pilkada terutama misalnya money politik adalah keniscayaan sehingga tidak dapat serta merta dihindari. Dampak dari hal ini dapat menganggu kelancaran jalannya pilkada dan dikarenakan banyaknya daerah konflik dan hampir keseluruhan Pulau Jawa melaksanakan Pilakda pada tahun 2018 esok kecuali Banten dan DKI Jakarta maka tetap DKI Jakarta akan merasakan gangguan stabilitas
Satu hal yang pasti dan merupakan satu prinsip hukum dan keadilan yang dianut secara universal menyatakan bahwa “tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain” (nullus/nemo commodum capere potest de injuria sua propria) (Widjojanto, 2009: 23). Oleh karena itu diharapakan setiap pihak dapat bahu membahu menjaga kemanan dalam pelaksanaan Pilkada tahun 2018 esok.
Achmadudin Rajab (Tenaga Fungsional Perancang Undang-Undang dengan pembidangan Politik, Hukum, dan HAM di Pusat Perancangan Undang-Undang pada Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia)
Penulis
Sri Muliana Azhari
Vinda Ramadhanty
Enjelita Tamba
Ulfia Pamujiningsih