Pada sebagian besar Undang-Undang (UU) yang bermuatan perekonomian, menggunakan Pasal 33 UUD NRI 1945 (selanjutnya disebut dengan Pasal 33) sebagai dasar hukum mengingat. Tujuh dari sepuluh Undang-Undang bidang perekonomian dan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa UU tersebut dibuat dalam rangka mengatur lebih lanjut pasal ini (merujuk pada www.bphn.go.id, sampai saat ini sudah 1.613 UU yang pernah diterbitkan sejak 1945). Namun, ternyata tidak semua dari UU tersebut memang benar-benar melaksanakannya, bahkan menjiwai Pasal 33 pun masih bisa diperdebatkan jika dikaitkan dengan muatan pasal-pasalnya. Oleh karena itu, perlu kiranya memahami apa makna yang terkandung dalam Pasal 33 sehingga perlu untuk diatur lebih lanjut oleh UU.
Salah satu bukti ketidaktepatan penggunaan Pasal 33 pada UU dapat kita rujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan seluruh atau beberpa pasal dari UU yang dianggap bertentangan dengan jiwa Pasal 33 ini. Sebut saja misalnya, UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (lihat Putusan MK No. 85/PUU- XI/2013), UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian (lihat Putusan MK Nomor 28/PUU-XI/2013), dan UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang ketenagalistrikan (lihat Putusan MK Nomor 001-021/PUU-I/2003) yang dibatalkan seluruhnya oleh MK. Contoh lain, UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (sebelum diganti dengan UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan), yang beberapa pasalnya dibatalkan oleh MK karena bertentangan dengan makna yang dijiwai Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945.
Memang, tidak semua UU yang menggunakan Pasal 33 sebagai dasar hukum dipermasalahkan atau diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun demikian, penulis memberanikan diri untuk mengatakan bahwa belum tentu UU tersebut tidak bermasalah dalam penggunaan Pasal 33. Dari hasil analisis dan evaluasi yang pernah penulis lakukan, ada beberapa UU yang tidak tepat jika mendasarkan pada Pasal 33 dalam pembentukannya. Misalnya UU Nomor 4 Tahun 2008 tentang Informasi Geospasial, dan UU Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. Kedua UU tersebut memakai Pasal sebagai “Dasar Hukum Mengingat”, dan hingga saat ini belum pernah diajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi.
Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945
Untuk memahami makna yang terkandung dalam Pasal 33, penulis menggunakan tiga aspek yaitu: isi Pasal 33 itu sendiri, sejarah penuangan Pasal 33 (untuk memahami suasana kebatinan para
Aspek Isi
Dilihat dari isi Pasal 33, maka dapat diasumsikan bahwa Pasal 33 ini merupakan penjabaran dari Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 paragraf keempat yang berbunyi: “kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial….”. Inti dari pasal ini adalah:
Pasal 33 ini harus dilihat secara utuh, karena pasal ini saling berkaitan, berbicara prinsip demokrasi ekonomi yaitu ayat (1) dan (4) dalam rangka melaksanakan ayat (2) dan (3), sehingga tidak tepat jika hanya sebagian ayat saja yang diambil sebagai dasar hukum membentuk UU. Hal ini diperkuat dengan pendapat MK yang diberikan pada Judicial Review beberapa UU yang merupakan pengaturan lebih lanjut pasal 33, salah satu contohnya: dibatalkannya UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang mendasarkan pembentukannya pada pasal ayat (3) dan (5), namun pendapat MK (dalam Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 halaman 131-145) juga membahas dan menafsirkan ayat (1) dan (2) dan (4), karena sesungguhnya ayat- ayat ini sebagai satu kesatuan dalam Pasal 33.
Dalam lampiran UUD NRI Tahun 1945 (sebelum amandemen) Pasal 33 dicantumkan untuk menegaskan bahwa kemakmuran masyarakat adalah utama, perekonomian disusun berdasar asas kekeluargaan, cabang-cabang produksi penting bagi Negara dan menguasai hajat
Muhammad Hatta sebagai ‘arsitek’ Pasal 33 menyatakan bahwa kemunculan Pasal 33 dilatarbelakangi oleh semangat kolektivitas yang didasarkan pada semangat tolong-menolong (Moh. Hatta, Beberapa Fasal Ekonomi: Djalan Keekonomian dan Koperasi, Jakarta: Perpustakaan Perguruan Kementerian PP&K, 1954, halaman 265). Selanjutnya dijelaskan Mohammad Hatta bahwa tanah adalah faktor produksi yang utama, oleh karenanya tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan perorangan, melankan harus dikuasai oleh Pemerintah. Karena penguasaan perorangan adalah pembawaan dasar individualism, yang bertentangan dengan dasar perekonomian yang adil. (Mohammad Hatta, halaman 269). Demikian pula pandangan Soepomo sebagai salah seorang founding fathers yang juga ikut dalam merumuskan UUD NRI Tahun 1945, menyatakan bahwa: “...the private sectors may be involved only in non-startegic sectors-that do not effect the lives of most people...if the state does not control the strategic sectors, they will fall under the control of private-individuals and the people will be oppressed by them” (Dikutip dari Atip Latipullahayat, “State Control and Privatisation of the Indonesian Telekomunications Industry: From Ownership to Regulation” Unpublished Ph.D Thesis, Monash University Melbourne, 2007, halaman 12, dalam “Tafsir MK atas Pasal 33 UUD 1945: Studi Atas Putusan MK Mengenai Judicial Review Terhadap UU Nomor 7 Tahun 2004, UU Nomor 22 Tahun 2001 dan UU Nomor 20 Tahun 2002”, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 1, Februari Tahun 2010, halaman 121).
Pendapat Mahkamah Konstitusi
Pendapat MK terkait Pasal 33 ini dapat dillihat pada Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 mengenai Uji Materil UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, pada halaman 134. Berikut kutipan pendapat MK tersebut:
“Pandangan sebagaimana diuraikan di atas secara konstitusional dirumuskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang
Dalam perspektif tersebut maka demokrasi ekonomi adalah demokrasi yang
Berdasarkan dari pertimbangan empat aspek (isi, sejarah dan pendapat MK) tersebut, maka dapat dipahami bahwa makna Pasal 33 ini adalah: bahwa dalam menerapkan roda perekonomian nasional dan pemanfaatan SDA harus dalam rangka menjamin kepentingan masyarakat secara kolektif dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, serta adanya penguasaan Negara atas cabang-cabang produksi strategis (menguasai hajat hidup orang banyak). Jika tidak menjiwai ketiga kriteria tersebut, maka suatu UU tidak tepat melegitimasi Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 sebagai dasar hukum pembentukannya. Maka, materi pokok yang diatur dalam UU yang menyatakan dirinya sebagai pengaturan lebih lanjut Pasal 33 harus dalam rangka melaksanakan perekomian yang menyangkut:
Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Informasi Geospasial
UU ini pada pokoknya mengatur mengenai informasi, yang mana menurut Pasal 1 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik informasi diartikan sebagai suatu keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik. Sedangkan informasi geospasial sendiri adalah data geospasial yang sudah diolah sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan
Dilihat dari pengertiannya, dapat dilihat bahwa informasi adalah suatu persoalan yang sangat teknis aplikatif. Prinsip teori hierarki adalah bahwa norma dalam peraturan perundang-undangan pada jenjang yang semakin ke atas, seharusnya semakin abstrak, begitu juga sebaliknya. Norma dalam peraturan perundang- undangan pada jenjang yang semakin ke bawah bersifat aplikatif untuk langsung dilaksanakan, begitu juga sebaliknya (BPHN, Pedoman Analisis dan Evaluasi Hukum, Jakarta: Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Naisonal, BPHN, 2016, hlm. 12). Oleh karena itu, dapat dinilai bahwa pokok materi muatan mengenai informasi tidak tepat dituangkan dalam jenis UU.
Dasar hukum mengingat yang dipakai salah satunya adalah Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4), tidak tepat. Pertama, tidaklah tepat jika Pasal 33 hanya diambil sebagian ayatnya untuk dijadikan dasar hukum mengingan. Kedua, dalam materi pokok yang diatur tidak mengandung unsur-unsur yang dimaksud oleh Pasal 33, yaitu: 1) Adanya cabang- cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, yang harus dikuasai; dan 2) Adanya pembatasan hak-hak individual/swasta untuk kepentingan kolektif, dalam mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian UU Informasi Geospasial ini bukan dalam rangka mengatur lebih lanjut Pasal 33. Pengaturan masalah Informasi Geospasial ini justru dalam rangka mendukung UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP, yaitu bahwa informasi yang dihasilkan oleh lembaga yang melaksanakan IG harus memberikan informasinya kepada publik, karena IG adalah termasuk dalam kategori “informasi mengenai kegiatan dan kinerja Badan Publik terkait”, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Materi pokok UU IG ini sebenarnya ingin menguraikan tugas dan fungsi dari sebuah lembaga yang melaksanakan pemetaan kebumian (lihat sejarah berdirinya Bakorsurtanal).
Analisis terhadap Undang-Undang Nomor
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa UU yang akan mengatur lebih lanjut Pasal 33 adalah yang pada materi pokok yang diatur berkenaan dengan:
Untuk menilai apakah memang materi pokok yang diatur berkenaan dengan kedua hal tersebut, maka dapat dilakukan analisis pendahuluan terhadap “nama” UU nya. Petunjuk Nomor 3 Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan menyatakan bahwa nama perundang-undangan menggunakan kata atau frasa, yang secara esensial maknanya telah mencerminkan isi dari perundang- undangan itu sendiri. Ditinjau dari namanya, “Meteorologi, Klimatologi dan Geofisikia” maka kita dapat mengasumsikan apa materi pokok yang diatur dalam UU ini, yaitu tentang meteorologi, klimatologi dan geofisika. Menurut Pasal 1 UU ini, yang dimaksud dengan meteorologi adalah “gejala alam yang berkaitan dengan cuaca”, yang dimaksud dengan klimatologi adalah “gejala alam yang berkaitan dengan iklim dan kualitas udara”, dan yang dimaksud dengan geofisika adalah “gejala alam yang berkaitan dengan gempa bumi tektonik, tsunami, gravitasi, magnet bumi, kelistrikan udara, dan tanda waktu”. Sampai pada analisis nama ini, maka perundang- undangan yang hanya berisi mengenai “gejala alam” tidak tepat diatur dalam perundang-undangan jenis UU. Dalam Penjelasan Umum UU ini dikatakan bahwa penyelenggaraan meteorologi, klimatologi dan geofisika memiliki peran yang strategis yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan nilai tambah dari berbagai sektor terkait, serta untuk meningkatkan keselamatan jiwa dan harta dan mengurangi risiko bencana.
“Misi” yang dibawa oleh UU ini searah dengan UU Nomor 4 Tahun 2008 tentang Informasi Geospasial, yang
Oleh karenanya, tidak tepat memaknai UU Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika sebagai pengaturan lebih lanjut dari Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945.
Aisyah Lailiyah (Kepala Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup di Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional)
Penulis
Caecilia Aletheia
Natasya Ayu Savira
I Wayan Agus Eka
Krisna Bayu Aji