Pasal 9 huruf a dan Pasal 22B huruf a dalam Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang Undang (RUU Perubahan Kedua UU No. 1 Tahun 2015) adalah kedua pasal yang kemungkinan besar untuk dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Pasal 9 huruf a yang menyatakan bahwa: “tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan Pemilihan meliputi: a. menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan Pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat; ...”, adalah merupakan terobosan baru yang dilakukan oleh pembentuk undang- undang (DPR dan Presiden) terkait dengan tugas dan wewenang KPU selaku penyelenggara Pemilu dalam hal pembentukan peraturan pelaksana yang dimilikinya.
Hal yang sama pun juga berlaku bagi Bawaslu sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 22b huruf a yang menyatakan: “Tugas dan wewenang Bawaslu dalam pengawasan penyelenggaraan Pemilihan meliputi: a. menyusun dan menetapkan Peraturan Bawaslu dan pedoman teknis pengawasan untuk setiap tahapan Pemilihan serta pedoman tata cara pemeriksaan, pemberian rekomendasi, dan putusan atas keberatan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat;...”.
Pasal 9 Huruf a dan Pasal 22B Huruf a Sebagai Potensi Judicial Review
Mengapa kedua pasal tersebut berpotensi untuk dilakukan judicial review? Hal pokok yang menjadi pandangan umum bagi publik terkait dengan kedua pasal tersebut yakni Pasal 9 huruf a dan Pasal 22B huruf a RUU Perubahan Kedua UU No. 1 Tahun 2015, adalah bahwa pembentuk undang-undang diasumsikan telah mencederai indepedensi yang melekat bagi penyelenggara Pemilu. Baik penyelenggara Pemilu maupun juga lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) memandang hal ini bertentangan dengan konstitusi yang mewajibkan penyelenggara Pemilu untuk lepas dari jeratan kepentingan dalam hal ini terutama partai politik. Ratio legis atau alasan rasionalitas lahirnya bunyi ketentuan Pasal 9 huruf a dan Pasal 22B huruf a RUU Perubahan Kedua UU No. 1 Tahun 2015 adalah untuk melengkapi norma semulanya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang Undang (UU No. 8 Tahun 2015) yang semula hanya berbunyi “setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah” menjadi “setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat”.
Penyempurnaan kedua pasal existing tersebut dilandasi oleh pengalaman di tahun yang lalu yakni pasca disahkannya UU No. 8 Tahun 2015 pada tanggal 18 Maret 2015, penyelenggara Pemilu melakukan konsultasi terkait dengan draft rancangan peraturan pelaksana/peraturan teknis yang dibuatnya kepada DPR dan Pemerintah selaku pembentuk undang-undang dalam rapat konsultasi yang dilangsungkan di Komisi II DPR RI. Hasil dari konsultasi yang dilakukan tersebut diabaikan oleh penyelenggara Pemilu dan sejumlah norma dalam peraturan pelaksana tersebut bertentangan dengan UU No. 8 Tahun 2015.
Sejatinya norma yang berhenti dengan penggalan kalimat “setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah” dalam UU No. 8 Tahun 2015 adalah merupakan norma yang juga sama dalam undang-undang yang mengatur secara keseluruhan mengenai penyelenggara Pemilu yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU No. 15 Tahun 2011).
Pengaturan dalam UU No. 15 Tahun 2011 juga sebetulnya bukanlah hal yang benar-benar baru karena dalam undang-undang penyelengga Pemilu sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU No. 22 Tahun 2007) norma semacam ini telah ada yakni berbunyi “menyusun dan menetapkan pedoman yang bersifat teknis untuk tiap- tiap tahapan berdasarkan peraturan perundang-undangan”. Sehingga dari penjabaran ini diketahui bahwa UU No. 15 Tahun 2011 lah yang telah memperbaiki norma dalam UU No. 22 Tahun 2007 dengan kalimat “setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah”.
Adapun sebenarnya alasan pembentuk undang-undang yang lalu memperbaiki ketentuan tersebut deengan melekatkan “setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah” adalah didasari bahwa banyak terjadinya peraturan pelakasana/teknis yang dibuat oleh penyelenggara Pemilu baik itu KPU dan Bawaslu yang bertentangan dengan undang-undang yang mengamanahkannya baik itu dalam pelaksanaan Pemilu maupun juga Pemilukada. Namun apa yang terjadi? Ternyata ketentuan yang berlaku di UU No. 15 Tahun 2011 dan pada akhirnya juga diberlakukan pula dalam UU No. 8 Tahun 2015 ini ternyata tidak berhasil karena pada akhirnya
Apakah Pasal 9 Huruf a Dan Pasal 22B Huruf a Melanggar Konstitusi?
Hal yang kemudian menjadi pertanyaan berikutnya, apakah Pasal 9 huruf a dan Pasal 22B huruf a RUU Perubahan Kedua UU No. 1 Tahun 2015 tersebut melanggar/bertentangan dengan Konstitusi / Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945)? Penyelenggara Pemilu (terutama dalam hal ini KPU) maupun LSM berpandangan bahwa kedua norma tersebut bertentangan dengan Pasal 22E ayat (5) yang menyatakan bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yangbersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Terkait dengan kemandirian inilah yang dimaksudkan oleh KPU dan LSM telah tercederai ketika diikat oleh pembentuk undang-undang dalam Pasal 9 huruf a dan Pasal 22B huruf a RUU Perubahan Kedua UU No. 1 Tahun 2015. KPU dan LSM beranggapan bahwa penyelenggara Pemilu untuk lepas dari jeratan kepentingan dalam hal ini terutama partai politik. Terkait dengan beberapa ketentuan yang tidak selaras dengan undang-undang yang mengamanahkannya, KPU beranggapan hal ini merupakan sifat kebebasan (kemandirian) yang dimiliki penyelenggara Pemilu sehingga memungkinkan untuk mengatur secara berbeda pengaturan dalam undang-undang. Apakah hal yang seperti ini dibenarkan? Pertama, kita bedah dari sisi pembentukan peraturan perundang-undangan, Penjelasan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 12 Tahun 2011) menyatakan bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Peraturan KPU merupakan peraturan pelaksana dari undang-undang
Kedua, kita bedah penafsiran KPU dan LSM terhadap Pasal 22E ayat (5) yang menyatakan bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Ada 2 (dua) hal yang perlu diiketahui dari pasal tersebut, hal yang pertama adalah pengertian “suatu komisi pemilihan umum” bukanlah merujuk pada nama lembaga, dalam hal ini tidak dapat secara langsung diasosiasikan dengan KPU. Hal ini didasarkan atas Pendapat Mahakamah Putusan MK No. 11/PUU-VIII/2010 yang menguraikan bahwa dalam Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945, kalimat “suatu komisi pemilihan umum” dalam UUD 1945 tidak merujuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan pemilihan umum”.
Hal yang selanjutnya adalah terkait dengan pengertian “mandiri” apakah mandiri dimaksud ini berarti independen dan bebas bahkan bebas dari masukan yang diberikan oleh DPR dan Pemerintah selaku pembentuk undang-undang, bahkan independen dan bebas membuat pengaturan yang bahkan pula bertentangan dengan undang-undang diatasnya? Untuk hal ini perlu perbandingkan Pasal 22E ayat (5) ini dengan Pasal 23D yang mengatur mengenai bank sentral (Bank Indonesia) yang berbunyi: “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang- undang”.
Untuk lebih mendalaminya kita coba lihat kepada Undang-Undang Bank Indonesia yakni Undang-Undang Nomor
Mengapa kata yang digunakan adalah “independen” bukan mandiri dalam UU Bank Indonesia? Hal yang sama juga berlaku pula pada UUD NRI Tahun 1945 mengapa bank sentral menggunakan kata “independen” sedangkan suatu komisi pemilihan umum menggunakan kata “mandiri”? Hal yang sama juga penyelenggara Pemilu dalam Pasal 2 huruf a UU No. 15 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa penyelenggara Pemilu berpedoman pada asas: a. mandiri; ...”, mengapa tidak tidak menggunakan kata independen? Apakah untuk maksud yang sama dimungkinkan penggunaan kata yang berbeda? Apakah hal ini hanyalah sebatas selera pembentuk undang- undang? Bahkan selera pembentuk UUD NRI Tahun 1945 sehingga membedakan antara antara bank sentral yang independen dalam Pasal 23D dan suatu komisi pemilihan umum yang mandiri dalam Pasal 22E ayat (5)? Jawabannya terdapat dalam Pasal 5 huruf f UU No. 12 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa:
“dalam membentuk Peraturan Perundang- undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: … f. kejelasan rumusan; …”.
Adapun terkait dengan huruf f ini pun dijabarkan lebih lanjut dalam penjelasannya yakni: “Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang- undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang- undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.”
Jadi sebetulnya dalam hal ini maksud dari pembentuk undang-undang penyelenggara Pemilu dan apalagi maksud dari pembentuk UUD NRI Tahun 1945 adalah telah jelas dan dalam hal ini jelas mandiri pada suatu komisi pemilihan umum dimaksud jelas berbeda dengan independen pada bank sentral yang secara tegas dalam UU Bank Indonesia dinyatakan “adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya”.
Ketiga, dan juga terakhir kita bedah adalah dari sisi posisi KPU dalam Pilkada ini sendiri, Pilkada sebelumnya masuk dalam rezim Pemilu oleh karenanya disebut dengan Pemilukada. Adapun pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 secara tegas Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pilkada bukanlah rezim Pemilu. Dalam Putusan tersebut pemilihan umum hanyalah diartikan hanyalah limitatif sesuai dengan original intent menurut Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945, yaitu Pemilihan Umum yang diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dan dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Sehingga perluasan makna Pemilu yang mencakup Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah/Pilkada) adalah inkonstitusional menurut Mahkamah Konstitusi oleh karena itu pemilihan kepala daerah bukanlah rezim Pemilu melainkan rezim Pemerintahan Daerah (Pemda).
Hal ini pula pada tata letaknya dalam UUD NRI Tahun 1945, tata letak pada konstitusi tersebut bukanlah tanpa maksud, Pilkada terletak pada Bab VI mengenai Pemerintahan Daerah yakni lebih tepatnya merupakan amanah dari Pasal 18 ayat (4) yang menyatakan bahwa: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing- masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.” Sedangkan Pemilu, terletak pada Bab VIIB mengenai Pemilihan Umum yakni lebih tepatnya dalam Pasal 22E. Lebih lanjut lagi, ketentuan terkait dengan Pemilu ini juga terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi yakni dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Ketika alur berfikir hukum yang kita gunakan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 maka Pemilu dimaksud jelas tidak termasuk dalam hal ini Pilkada dan hal ini berlaku bukan hanya bagi Mahkamah Konstitusi namun juga penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPU, Bawaslu, dan bahkan DKPP.
Lebih lanjut lagi jikalau menggunakan asas hukum "lex posterior derogat legi priori" dimana aturan yang terbaru hukum yang menyatakan bahwa hukum yang terbaru (posterior) mengesampingkan hukum yang lama, maka segala hal yang terkait dengan pengaturan Pemilukada dalam UU No. 15 Tahun 2011 jelas pula tidak selaras dengan konsep Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013, karena Mahkamah Konstitusi dan penyelenggara Pemilu adalah 1 (satu) paket, ketika diartikan hal ini berlaku hanya pada Pemilu yang disebutkan di UUD NRI Tahun 1945, maka otomatis kewenangan penyelenggara Pemilu terkait Pemilukada dalam UU No. 15 Tahun 2011 menjadi tidak sejalan. Lalu bagaimana bisa penyelenggara Pemilu, misalnya KPU menangani Pilkada? Jawabannya ada dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 8 Tahun 2015 yang menyatakan: “Komisi Pemilihan Umum yang selanjutnya disingkat KPU adalah lembaga penyelenggara pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam undang- undang yang mengatur mengenai penyelenggara pemilihan umum yang diberikan tugas dan wewenang dalam penyelenggaraan Pemilihan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang ini”.
Mengapa bunyi pengertian KPU seperti demikian? ratio legisnya adalah pembentuk undang-undang mengikuti alur berfikir hukum Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 dimana kewenangan Pemilukada bukanlah kewenangan Mahkamah Konstitusi dan KPU lagi, dan oleh karenanya kewenangan terkait Pemilukada dalam UU No. 15 Tahun 2011 pun telah tanggal dengan sendirinya. Oleh karena itu dalam ketentuan umum tersebut dinyatakan bahwa di luar dari tugas dan wewenang dalam UU No. 15 Tahun 2011 yang tersisa yakni untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dan dilaksanakan setiap 5 tahun sekali, ditambahkan khusus oleh UU No. 8 Tahun 2015 kewenangan mengenai Pilkada (bukan Pemilukada) yang diatur oleh undang-undang tersebut.
Jadi jelas di sini kewenangan yang dimiliki oleh KPU saat ini bukanlah amanah dari UUD NRI Tahun 1945 namun merupakan kewenangan yang secara atributif dilekatkan kepada KPU
Achmadudin Rajab (Tenaga Fungsional Perancang Undang-Undang dengan pembidangan Politik, Hukum, dan HAM di Pusat Perancangan Undang-Undang pada Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia)
Penulis
Sri Muliana Azhari
Vinda Ramadhanty
Enjelita Tamba
Ulfia Pamujiningsih