Indonesia disebut sebagai negara “mega biodiversity” karena termasuk negara dengan keanekaragaman hayati terkaya di dunia yang tersebar luas di kawasan hutan tropis, lautan, maupun di sepanjang wilayah pantainya yang kesemuanya merupakan bagian dari kekayaan sumber daya alam Indonesia. Berdasarkan penafsiran Citra Satelit Landsat 7 ETM+ pada tahun 2011, luas tutupan hutan Indonesia mencapai 98.242.002 hektar (Kementerian Lingkungan Hidup, 2013). Luas perairan Indonesia mencapai 5,8 juta km2, yang menyimpan potensi perikanan, terumbu karang yang mencapai 75.000 km2, dan padang lamun (BPS, 2012). Garis pantai Indonesia mencapai 81.000 km yang memiliki hutan mangrove terluas kedua setelah Brazil (Kementerian Lingkungan Hidup, 2013).
Jumlah penduduk Indonesia yang semakin meningkat membawa pengaruh pada beberapa aspek, yaitu peningkatan
Perubahan-perubahan terhadap sumber daya alam tersebut antara lain berkurangnya jenis maupun jumlah, bahkan kemungkinan terjadi kepunahan akibat pemanfaatan yang berlebihan serta akibat berkembangnya jenis baru, bencana alam, dan sebagainya. Tindakan tidak bertanggung jawab dan sewenang- wenang terhadap sumber daya alam
Saat ini, telah ada undang-undang yang menjadi dasar hukum bagi penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE), yang pada dekade sembilan puluhan dirasakan masih cukup efektif untuk melindungi ekosistem dan spesies Indonesia. UU KSDAHE menggantikan beberapa produk peraturan kolonial pra- kemerdekaan yang telah berumur lebih dari 20-an tahun. Memasuki era reformasi, banyak perubahan telah terjadi, baik dalam sistem politik dan pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi dan demokratisasi, maupun perubahan pada tataran global berupa bergesernya beberapa kebijakan
Dalam implementasinya, UU KSDAHE ternyata belum mampu mengantisipasi segala permasalahan, perkembangan, maupun kebutuhan hukum di dalam penyelenggaraan konservasi, sehingga perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian beberapa materi yang ada dalam UU KSDAHE, terutama terhadap substansi yang masih mencerminkan kebijakan yang bersifat sentralistik dan berpotensi untuk menimbulkan konflik kewenangan mengenai siapa dan bagaimana pengelolaan kawasan konservasi baik di pusat maupun di daerah. Untuk merespon hal tersebut, UU KSDAHE masuk di dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) lima tahunan Tahun 2014- 2019 pada urutan nomor 65 untuk dilakukan perubahan. Kedepan Komisi IV DPR RI merencanakan akan memasukkan UU KSDAHE di dalam revisi Prolegnas Prioritas Tahun 2016.
Beberapa hal yang menjadi perkembangan, permasalahan, maupun kebutuhan hukum di dalam penyelenggaraan konservasi di Indonesia sehingga dapat dijadikan alasan (urgensi) bagi perubahan UU KSDAHE yaitu, pertama, paradigma konservasi yang dianut saat ini masih lebih menitikberatkan pada aspek perlindungan, disisi lain perkembangan di bidang konservasi yang saat ini terjadi tidak lagi mengedepankan perlindungan semata, tetapi sudah mengakomodir pemanfaatan secara berkesinambungan dan berkelanjutan. Hal ini dapat menimbulkan pertentangan maupun permasalahan dilapangan, terlebih jika pelaksanaan konservasi yang dilaksanakan bersinggungan dengan kehadiran masyarakat hukum adat dan masyarakat disekitar wilayah konservasi. Selain itu, lingkup pengaturan konservasi masih sebatas pelestarian, perlindungan, dan pemanfaatan. Disisi lain, terhadap daerah konservasi yang sudah rusak namun belum ada pengaturan untuk mengembalikan ke kondisi semula.
Untuk itu dalam pengaturan terkait KSDAHE di masa yang akan datang,
Kedua, lingkup pengaturan dalam UU KSDAHE masih bersifat umum, konservasi dilakukan di wilayah darat, laut, dan udara, tetapi lingkup pengaturan yang ada di dalam UU KSDAHE lebih menitikberatkan pada upaya-upaya konservasi di darat di wilayah-wilayah konservasi, sementara pengaturan terhadap konservasi di perairan materinya dirasa masih kurang dan masih tersebar di beberapa UU, yaitu UU No. 27 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 31 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, dan UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Di dalam batang tubuh UU KSDAHE tidak ada satu pun pasal atau ayat yang mengatur siapa lembaga atau kementerian yang berwenang di dalam melakukan konservasi. Adapun kewenangan konservasi di darat hanya dilakukan berdasarkan konvensi ketatanegaraan, yaitu dilakukan oleh Kementerian Kehutanan melalui Dirjen Konservasi. Disisi lain terkait dengan konservasi di bidang perairan, saat ini telah dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, terlebih setelah berlakunya beberapa UU sektornya. Sehingga dilapangan pembagian tugas dan kewenangan di bidang konservasi yang ada di daratan dan perairan masih sering terjadi tumpang tindih dan terjadi multi- interpretasi. Pengaturan dalam UU KSDAHE hanya mencakup wilayah konservasi, padahal disisi lain masih terdapat hutan yang peruntukannya untuk produksi dan lindung tetapi juga memiliki fungsi konservasi. Sehingga pelaksanaan upaya-upaya konservasi di wilayah hutan lindung dan hutan produksi tidak dapat berjalan secara maksimal.
Untuk itu di dalam pengaturan kedepan, kewenangan mengenai penyelenggaraan konservasi harus dibagi secara clear, yaitu daerah konservasi yang mencakup wilayah darat, pesisir dan pulau-pulau kecil, serta wilayah perairan termasuk perairan pedalaman. Harus pula diatur secara jelas kewenangan konservasi di darat dilakukan oleh Kementerian Kehutanan, adapun penyelenggaraan konservasi diwilayah pesisir dan pulau- pulau kecil dan wilayah perairan termasuk perairan pedalaman dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal ini penting untuk menghindari perbedaan penafsiran dan tumpang tindih kewenangan konservasi di daerah darat, pesisir dan pulau-pulau kecil, maupun perairan. Selain itu, masalah pengelolaan daerah konservasi di wilayah perairan yang saat ini sebagian masih di bawah kewenangan Kementerian Kehutanan harus secara jelas diatur untuk dialihkan/diserahkan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan, sehingga sengketa mengenai kewenangan pengelolaan wilayah konservasi perairan dapat diselesaikan. Cakupan wilayah konservasi harus juga ditetapkan tidak hanya mencakup daerah konservasi, tetapi juga daerah-daerah diluar konservasi yang memiliki fungsi konservasi.
Ketiga, pengaturan yang ada di dalam UU KSDAHE belum mengakomodir prinsip-prinsip konservasi yang telah diratifikasi di dalam beberapa perjanjian internasional, yaitu terkait dengan Konvensi CBD, Cartagena, dan Nagoya. Salah satu substansi yang terkait dengan ratifikasi internasional adalah pengaturan di bidang perlindungan dan pemanfaatan sumber daya genetika yang hakikatnya juga merupakan bagian dari tindakan konservasi. Disisi lain, tindakan pencurian dan pemanfaatan sumber daya genetika yang dimiliki Indonesia sampai saat ini belum ada payung hukum yang mengaturnya, sehingga tidak jarang potensi sumber daya genetika yang diambil dari Indonesia di bawa keluar negeri untuk kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan Negara lain, tanpa Indonesia dapat meminta pembagian manfaat (profit sharing) sebagai negara asalnya.
Untuk itu di dalam pengaturan kedepan, UU KSDAHE harus juga
Keempat, UU KSDAHE dibentuk sudah hampir 26 tahun yang lalu, dimana saat itu paradigma pemerintahan masih bersifat terpusat (sentralisasi), sementara pada saat ini sistem pemerintahan bersifat otonomi daerah dengan diterbitkannya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sehingga berpotensi menimbulkan tumpang tindih dan ketidaksinkronan dalam pembagian tugas dan kewenangan antara pemerintah, pemerintah provinsi, maupun pemerintah kabupaten/kota di bidang konservasi. Disisi lain, akibat perusakan dan perambahan hutan, banyak satwa (fauna) yang keluar dari wilayah konservasi dan masuk ke dalam wilayah hutan diluar konservasi maupun daerah perkampungan penduduk. Hal ini menimbulkan konflik antara satwa liar dengan penduduk sekitarnya, pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan dalam mengatasi, menangani, atau mencegah masuknya satwa tersebut, sehingga dalam upaya pelaksanaan di lapangan menjadi kendala dalam penyelesaiannya. Selain itu, sampai dengan saat ini belum ada kelembagaan yang berwenang melakukan inventarisasi kawasan konservasi maupun potensi flora dan fauna yang dilindungi, sehingga data mengenai konservasi sangat sulit didapat, yang mengakibatkan pengambilan kebijakan dibidang konservasi sedikit terhambat.
Untuk itu di dalam pengaturan KSDAHE kedepan harus diatur pembagian kewenangan antar pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang substansinya telah disinkronkan dengan UU Pemerintahan Daerah. Selain itu perlu pengaturan mengenai pusat data konservasi dan kelembagaan yang bertanggung jawab menginventarisir dan mengevaluasi potensi keanekaragaman hayati Indonesia dan evaluasi bagi penyelenggaraan konservasi.
Kelima, kebijakan dan aktivitas pengelolaan konservasi lebih banyak menitikberatkan pada aspek perlindungan kawasan konservasi yang bersifat dari atas ke bawah, dan belum memberikan
Untuk itu di dalam pengaturan dibidang konservasi kedepan harus diatur secara clear hak-hak masyarakat hukum adat maupun masyarakat di daerah konservasi terhadap hak pemanfaatan di daerah konservasi, tentu saja dengan disertai dengan rambu-rambu pemanfaatan yang jelas dan terukur sehingga pelaksanaannya tidak cendrung ekploitatif, tetapi tetap mempertimbangkan kelestarian dan keberlajutan daerah konservasi yang bersangkutan. Selain itu, peran serta masyarakat didalam penyelenggaraan konservasi harus diatur secara jelas, sehingga beban penyelenggaraan konservasi tidak hanya berada dipundak pemerintah dan pemerintah daerah, tetapi juga menjadi tanggung jawab masyarakat, sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki dan dapat berperan aktif dalam pengyelenggaraan konservasi.
Keenam, terakhir aspek yang paling menentukan berhasil atau tidaknya penyelenggaraan konservasi adalah pada aspek penegakan hukum. Beberapa kendala tersebut yaitu kurangnya kewenangan yang dimiliki oleh PPNS, karena tidak memiliki kewenangan
Untuk itu di dalam pengaturan KSDAHE kedepan harus diatur secara clear penambahan kewenangan oleh PPNS, yaitu kewenangan terkait penangkapan dan penahanan, pengaturan mengenai perlakuan terhadap barang bukti, serta pengenaan sanksi baik dibidang administratif maupun pidana dengan menjeret pelaku tindak pidana dibidang konservasi dengan ancaman pidana kurungan maupun denda secara “minimal”.
Harapan di Masa Mendatang
Dalam pelaksanaan pembangunan selama ini masih banyak pihak-pihak yang memanfaatakan potensi sumber daya dan kekayaan alam Indonesia secara
Untuk itu, Pemerintah bersama- sama dengan DPR harus segera merespon segala perkembangan, permasalahan, maupun kebutuhan hukum yang terjadi di dalam penyelenggaraan konservasi dengan segera mendorong agar UU KSDAHE segera untuk dilakukan amandemen, sehingga permasalahan- permasalahan yang telah diuraikan di atas dapat segera diselasaikan.
Zaqiu Rahman ( tenaga fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan Madya (Legislative Drafter), Pusat Perancangan Undang-Undang, Badan Keahlian DPR RI)
Penulis
Krestiana Yuli Astutik
Sayyidi Fajri Ahmad
Krisna Eka
Arsyda Naya Soesanto