A. Latar Belakang
Minyak dan gas bumi (Migas) merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan sekaligus memiliki kedudukan penting di dalam masyarakat.
Pengelolaan Migas sejatinya diarahkan melalui pembentukan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dan kesejahteraan masyarakat, kedua hal inilah yang dapat dikatakan sebagai pijakan dalam politik hukum pengelolaan Migas di Indonesia. Disamping itu politik hukum kebijakan pengelolaan Migas harus mampu mendorong perkembangan sektor industri di Indonesia baik sektor Migas dalam negeri sendiri maupun sektor industri lainnya. Berangkat dari beberapa hal yang telah disebutkan sebelumnya, maka pemerintah bersama dengan lembaga legislatif membentuk dan menetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) sebagai payung hukum pengelolaan Migas yang diharapkan dapat mengendalikan pengelolaan hulu dan hilir Migas, menciptakan stabilitas, dan mendorong peningkatan investasi dan produksi Migas di Indonesia.
Keberadaan UU Migas yang diharapkan dapat mengatasi setiap hambatan dan tantangan dalam pengelolaan industri Migas nyatanya tidak dapat mewujudkan efektifitas dan efisiensi. Jumlah lifting yang semakin menurun, tidak adanya cadangan Migas, iklim investasi yang tidak berkembang, carut marut pengelolaan baik ditingkat pusat maupun daerah hingga keberadaan mafia Migas ditengarai sebagai contoh kegagalan kebijakan hukum pengelolaan Migas yang dituangkan dalam UU Migas. Salah satu hal yang menjadi sorotan penting dalam pengelolaan Migas adalah kebijakan turunan UU Migas yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (PP Hulu Migas), terutama yang berkaitan dengan keterlibatan daerah penghasil Migas melalui penawaran kepemilikan sebesar 10%
Keterlibatan daerah penghasil Migas dalam pengelolaan industri hulu Migas secara yuridis termaktub didalam Pasal 34 jo. Pasal 35 PP Hulu Migas, yang pada pokoknya mengatur beberapa hal sebagai berikut:
a. Sejak disetujuinya rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksi dari suatu wilayah kerja, kontraktor wajib menawarkan participating interest 10% kepada BUMD;
b. prioritas utama participating interest sebesar 10% diberikan pada BUMD dengan jangka waktu penawaran paling lama 60 hari sejak tanggal penawaran dari kontraktor;
c. Apabila BUMD tidak memberikan pernyataan kesanggupan dalam jangka waktu tersebut, kontraktor wajib menawarkan kepada perusahaan nasional;
d. Apabila perusahaan nasional tidak memberikan pernyataan minat dan kesanggupan dalam jangka waktu 60 hari sejak tanggal penawaran, maka penawaran
Di sisi lain substansi participating interest yang diatur dalam PP Hulu Migas tidak mengatur secara spesifik mengenai BUMD yang memenuhi kualifikasi baik dari segi hukum, kesiapan modal, kepemilikan,dan kemampuan untuk dapat bersaing dalam industri hulu Migas. PP hulu Migas yang hanya berkutat dipersoalan jangka waktu penawaran menimbulkan celah kekosongan hukum sebagai berikut:
a. Industri Migas baik hulu maupun hilir merupakan industri yang digolongkan sebagai industri yang padat modal. Modal yang ditetapkan sebesar 10% sebagai bilangan angka yang ditawarkan kontraktor Migas kepada BUMD bukanlah bilangan angka yang kecil. Untuk suatu kegiatan baik itu eksplorasi maupun eksploitasi saja membutuhkan dana hingga milyaran bahkan triliunan rupiah tergantung dari besarnya wilayah kerja dan prakiraan lifting yang dihasilkan. Berkaca dari kondisi tersebut timbul pertanyaan mengenai sumber dana yang dibutuhkan agar BUMD dapat turut ambil bagian dalam kegiatan hulu Migas. Jikalau BUMD kemudian melakukan peminjaman baik dari post belanja APBD atau lembaga pembiayaan milik pemerintah maka yang menjadi persoalan apakah dana dalam jumlah besar itu tersedia, lantas bagaimana pula pembayarannya. Sebaliknya jika BUMD menawarkan obligasi kepada perseorangan maupun masyarakat maka hal yang perlu dikritisi adalah bagaimana pola pembagian keuntungan mengingat pada pokoknya industri
b. Sebagai industri yang digolongkan padat karya, sektor hulu migas menuntut ketersediaan sarana, prasarana serta kualitas sumber daya manusia yang cukup memadai, ketiga hal yang dibutuhkan sebagai sarat pokok tersebut belum dapat dipenuhi oleh BUMD daerah penghasil sehingga perlu suatu usaha secara kontinyu untuk meningkatkan kualitas baik infrastruktur maupun sumber daya manusia;
c. Dari sudut pendirian dan kepemilikan BUMD hal yang perlu dicermati antara lain, apakah BUMD murni 100% sahamnya berasal dari pemerintah daerah tanpa ada campur tangan dari pihak lain, jenis atau bentuk BUMD yang didirikan apakah BUMD khusus minyak bumi atau untuk gas bumi maupun keduanya. Disamping hal itu perlu juga diperhatikan perihal izin pendirian dan operasional kegiatan mengingat persoaln izin Migas di Indonesia bisa dikatakan cukup berbelit-belit.
Beberapa hal yang telah disebutkan diatas merupakan kelemahan dari instrumen kebijakan partcipating interest sektor Migas di Indonesia, dan perlu untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.
2. Kebijakan Pembaharuan Substansi Participatin Interest dalam peraturan perundangan yang akan datang
Keterlibatan daerah dalam pengelolaan Migas dengan pemikiran agar daerah ikut merasakan manfaat dari pengelolaan Migas. Salah satu mekanisme keterlibatan daerah diatur mengenai mekanisme participating interest yang bertujuan untuk memberikan porsi pengelolaan pemerintah daerah penghasil berdasarkan bagian tertentu yang telah disepakati dengan mekanisme bussiness to bussiness (BoB) melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) setelah mendapat persetujuan dari Menteri ESDM. Sejak disetujui rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dari suatu wilayah kerja, Badan Usaha atau Bentuk Usaha tetap wajib menawarkan participating interest sebesar 10% kepada badan usaha milik daerah. Daerah penghasil mendapatkan Golden Share atas wilayah kerja yang beroperasi di daerahnya. Selain rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dari suatu wilayah kerja, daerah penghasil atau BUMD juga dapat diberikan prioritas penawaran atas wilayah kerja yang tidak diperpanjang.
Kedepannya pengaturan mengenai pelaksanaan penawaran kepemilikan sebesar 10% oleh kontraktor Migas kepada BUMD harus melalui skema dengan nilai yang ditentukan oleh Pemerintah. Skema participating interest itu haruslah diberikan secara proporsional kepada daerah penghasil Migas dengan memperhitungkan kemampuan daya dukung daerah penghasil dan modal yang dimiliki agar daerah penghasil dapat pula terlibat dalam kepemilikan Migas meskipun modal yang dimiliki belum sampai di kisaran angka 10%. Disamping itu ketersediaan dana lunak untuk menyokong kegiatan usaha hulu BUMD perlu untuk mendapatkan perhatian. Dana lunak atau modal dapat berupa obligasi dengan bunga ringan atau penyertaan dana yang berasal dari APBD dengan mekanisme pembagian keuntungan antara BUMD dengan pemerintah daerah.
Kebijakan penawaran kepemilikan participating interest harus pula dibarengi dengan kebijakan peningkatan kualitas sarana dan prasarana serta komponen daya dukung sumber daya manusia yang memadai. Percepatan dan pemerataan pembangunan merupakan kunci utama untuk meningkatkan daya saing daerah melalui BUMD dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi hulu Migas di Indonesia. Hal yang tak kalah penting dan juga harus diperhatikan adalah persoalan alur perizinan yang perlu untuk disederhanakan mengingat perizinan industri Migas di Indonesia amat rumit, setidaknya terdapat 104 buah izin baik di pusat mapun di daerah yang harus ditempuh untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha hulu Migas (Finance Detik : 2015), dengan kondisi tersebut memperkecil peluang daerah melalui BUMD untuk dapat bersaing secara kompetitif. Apabila beberapa hal sebagaimana disebutkan diatas telah dilaksanakan maka kebeadaan participating interest dalam stelsel hukum Migas di Indonesia akan menuju kearah yang lebih baik dan tepa guna.
Pengelolaan industri Migas baik hulu dan hilir haruslah mengedepankan kepentingan nasional. Perlindungan masyarakat dan pemenuhan energi nasional merupakan suatu keharusan yang tidak terelakkan dan perlu untk mendapatkan penanganan. Keterlibatan daerah melalui participating interest tidak lain bertujuan untuk mewujudkan daya saing daerah dalam industri Migas.
Besaran angka kepemilikan 10% haruslah dilakukan secara proporsional dengan memperhatikan kesiapan komponen dan daya dukung daerah. Kedepannya regulasi participating interest di Indonesia tidak lagi berkutat dipersoalan jangka waktu semata melainkan juga memperhatikan beberapa hal seperti izin kegiatan dan pendirian, badan usaha dan bentuk usaha tetap, permodalan, sumber daya manusia serta komponen lainnya guna mendukung pemerataan manfaat industri Migas bagi rakyat Indonesia.
Muhammad Yusuf Sihite (Tenaga Fungsional Perancang Undang-Undang Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri dan Pembangunan di Pusat Perancang Undang-Undang pada Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia)
Penulis
Caecilia Aletheia
Natasya Ayu Savira
I Wayan Agus Eka
Krisna Bayu Aji