KPU menunda Pilkada di 5 daerah pemilihan yakni Provinsi Kalimantan Tengah, Kota Pematangsiantar, Kabupaten Simalungun, Kota Manado, dan
Putusan PT TUN Medan bernomor 16/G/PILKADA/2015/PT.TUN.MDN yang kemudian disikapi KPU RI dengan memerintahkan penundaan pemilihan Bupati-Wakil Bupati Simalungun dengan suratnya bernomor 1023/KPU/XII/2015. Putusan PTUN Makassar bernomor 21/pn/pilkada/ 2015/P.TUN Mks yang kemudian disikapi KPU RI dengan memerintahkan penundaan pemilihan Walikota-Wakil Walikota Manado dengan suratnya bernomor 1021/KPU/XII/2015. Dan terakhir, putusan PT TUN Makassar bernomor 20/G/Pilkada/2015/PT.TUN.MKS yang kemudian disikapi KPU RI dengan memerintahkan penundaan pemilihan Bupati-Wakil Bupati Fak-fak dengan suratnya bernomor 1024/KPU/XII/2015.
Pengaturan Dalam UU Pilkada Terkait Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara
UU No. 1 Tahun 2015 sebagaimana terakhir diubah dengan UU No. 8 Tahun 2015 (UU Pilkada) mengatur terkait penyelesaian sengketa tata usaha negara dalam pelaksanaan Pilkada. Apakah sengketa tata usaha negara pemilihan dalam Pilkada ? Dalam Pasal 153 UU Pilkada dinyatakan bahwa “Sengketa tata usaha negara Pemilihan merupakan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilihan antara Calon Gubernur, Calon Bupati,dan Calon Walikota dengan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota sebaga akibat dikeluarkannya Keputusan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota.” Dari Pasal 153 tersebut dapat disimpulkan bahwa sengketa tata usaha negara ini adalah sengketa antara calon dengan KPU Provinsi/Kabupaten/Kota karena telah mengeluarkan keputusan terkait yang terkait dengan sang calon.
Selanjutnya pada pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan Pasal 154 UU Pilkada diatur bahwa “Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara Pemilihan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dilakukan setelah seluruh upaya administratif di Bawaslu Provinsi dan/atau Panwas Kabupaten/Kota telah dilakukan”. Pada ayat (2) kemudian dinyatakan bahwa “Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 3 (tiga) hari setelah dikeluarkannya Keputusan Bawaslu Provinsi dan/atau Panwas Kabupaten/Kota.” Kemudian ayat (3) menyatakan “Dalam hal pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kurang lengkap, penggugat dapat memperbaiki dan melengkapi gugatan paling lama 3 (tiga) hari sejak diterimanya gugatan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara”. Dan terakhir, ayat (6) menyatakan “Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara memeriksa dan memutus gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 21 (dua puluh satu) hari sejak gugatan dinyatakan lengkap”.
Berdasarkan keempat ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara pada Pilkada dimulai dari: upaya adminitratif di Bawaslu Provinsi atau Panwas Kabupaten/Kota kemudian menghasilkan Keputusan Bawaslu Provinsi dan/atau Panwas Kabupaten/Kota, kemudian Keputusan itu lalu diajukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN). Dari hal ini saja dapat kita lihat bahwa tidak ada proses di PTUN karena peran PTUN disini dilakukan oleh Bawaslu
Selanjutnya untuk 3 daerah Pilkada lainnya yakni Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) dengan Putusan PT TUN Jakarta bernomor 29/G/Pilkada/PTTUN.Jkt, Kabupaten Simalungun dengan Putusan PT TUN Medan bernomor 16/G/PILKADA/2015/PT.TUN.MDN, dan Kabupaten Fak-fak dengan putusan PT TUN Makassar bernomor
Dari kedua ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat langkah lanjutan yang sebenarnya KPU dapat lakukan yakni mengajukan kasasi kepada MA. Bilamana telah keluar putusan MA barulah maka KPU tidak dapat tidak harus melaksanakan putusan tersebut karena bersifat final dan mengikat. Lalu mengapakah KPU RI justru menunda Pilkada di 3 daerah tersebut pasca keluarnya Putusan PT TUN untuk masingmasing daerah tersebut padahal putusan tersebut belumlah in kracht van gewijsde/berkekuatan hukum tetap? Apakah tidak mungkin KPU tetap melaksanakan Pilkada pada tanggal 9 Desember 2015 yang lalu di 3 daerah tersebut karena penyelesaian sengketa masih berjalan (masih proses)?
Sejak pelaksanaan Pilkada langsung dalam UU sebelumnya, Putusan Peradilan TUN (PTUN ataupun PT TUN) terkait Pilkada seringkali tidak dilaksanakan oleh KPUD, Putusan
Penundaan sebagian tahapan Pilkada (seperti dalam hal ini penundaan tahapan pemungutan suara) diatur dalam Pasal 120 UU Pilkada yang berbunyi “(1) Dalam hal sebagian atau seluruh wilayah Pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan Pemilihan tidak dapat dilaksanakan maka dilakukan Pemilihan lanjutan. (2) Pelaksanaan Pemilihan lanjutan dimulai dari tahap penyelenggaraan Pemilihan yang terhenti”. Dari pasal tersebut dapat diketahui penundaan Pilkada hanya dapat dilakukan bilamana terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya. Dari pasal dapat kita ketahui bahwa putusan peradilan tata usaha negara tidaklah termasuk alasan yang dapat dibenarkan untuk menunda pelaksanaan
Apakah bisa putusan peradilan tata usaha negara digolongkan “gangguan lainnya”? Frase gangguan lainnya sebenarnya adalah norma yang umum berlaku pada umumnya UU pemilihan lainnya seperti halnya dalam syarat-syarat penundaan untuk Pemilu Legislatif yakni pada Pasal 230 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pileg). Apakah Putusan PTUN bisa dikategorikan “gangguan lainnya”? Dalam UU Pileg diatur pula secara khusus mengenai sengketa tata usaha negara seperti halnya di UU Pilkada, dan tidak pernah sekalipun diatur bahwa Putusan peradilan tata usaha negara adalah termasuk dalam kategori “gangguan lainnya”.
Bagaimanakah dengan Putusan PTUN untuk 2 daerah Pilkada Kota Pematangsiantar dan Pilkada Kota Manado? apakah putusan PTUN tersebut dapat mempengaruhi jalannya Pilkada hingga menyebabkan KPU RI menunda pelaksanaan Pilkada? PTUN adalah lembaga peradilan tata usaha negara tingkat pertama yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Putusan PTUN memiliki lembaga banding atas putusannya yakni PT TUN dan paling akhir bermuara di MA. Akan tetapi khusus dalam Pilkada ini, antara UU PTUN dan UU Pilkada maka berlaku prinsip hukum Lex specialis derogat legi generali sehingga dalam hal ini penyelesaian sengketa tata usaha negara dalam Pilkada mengikuti pengaturan dalam UU Pilkada dan bukan mengikuti pengaturan dalam UU PTUN. Oleh karena itu bilamana mengacu pada Pasal 154 UU Pilkada maka penyelesaian sengketa tata usaha negara tidaklah melibatkan PTUN.
Terkait dengan putusan PTUN tersebut, sejatinya Putusan Pengadilan yang baik adalah putusan yang dapat terpenuhinya tiga nilai dasar dalam hukum yakni keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa hukum (dalam hal ini putusan pengadilan) dibuat untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan, timbul keresahan di dalam masyarakat. Oleh karena itu putusan PTUN yang terbit pada H-1 pelaksanaan Pilkada atau pada tanggal 8 Desember 2015 ini patut dipertanyakan nilai kemanfaatannya dan apakah esensi hukumnya jika menimbulkan keresahan dan situasi yang tidak kondusif dalam Pilkada. Lalu apakah
Adapun untuk Pilkada di 3 daerah pemilihan lainnya yakni Provinsi Kalteng, Kabupaten Simalungun, dan Kabupaten Fak-Fak, seharusnya KPU RI tidaklah mengeluarkan kebijakan untuk menunda pelaksanaan Pilkada. Hal ini dikarenakan bilamana menggunakan dasar hukum pada ayat (7) dan ayat (10) Pasal 154 UU Pilkada dapat diketahui bahwa KPUD sebenarnya masih bisa tetap melanjutkan pelaksanaan Pilkada karena masih cara yakni melakukan kasasi ke MA.
Achmadudin Rajab (Tenaga Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan Bidang Politik, Hukum, dan HAM pada Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia)
Penulis
Sri Muliana Azhari
Vinda Ramadhanty
Enjelita Tamba
Ulfia Pamujiningsih