Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) kembali hendak melakukanrevisi atas Peraturan Presiden No.39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal (Perpres Daftar Negatif Investasi atau Perpres DNI 2014). Salah satu isu yang mengemuka adalah soal kepemilikan saham atas Emiten atau Perusahaan Publik di pasar modal yang dikaitkan dengan batasan maksimal kepemilikan asing dalam penanaman modal.
Isu ini adalah isu lama yang selalu bergulir dan tidak pernah selesai perdebatannya. Perbedaan sudut pandang antara regulator penanaman modal dan regulator bursa serta pelaku pasar modal seringkali muncul. Dalam perspektif BKPM, kepemilikan saham di pasar modal beserta perubahannya yang terkait dengan batas maksimum kepemilikan asing adalah bagian dari penanaman modal asing langsung (Foreign Direct Investment-FDI). Kebalikannya, perspektif regulator bursa dan pelaku pasar modal melihat bahwa kepemilikan saham di pasar modal sebatas kepemilikan portofolio (Foreign Portfolio Investment-FPI) dan merupakan penanaman modal tidak langsung. Perspektif bahwa kepemilikan saham di pasar modal dan perubahannya merupakan bagian dari penanaman modal langsung berlandaskan pada Perpres DNI yang mengatur batasan kepemilikan asing atas masing-masing sektor usaha. Sementara itu, perspektif bahwa kepemilikan saham di pasar modal dan perubahannya adalah investasi portofolio berlandaskan kepada Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan pada
Kontroversi perbedaan perspektif di atas pertama kali bergulir pada saat penjualan saham-saham PT Indosat Tbk oleh Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (STT), anak usaha dari Grup Temasek Singapura, kepada Qatar Telecom (Qtel) pada tahun 2008-2009. Penjualan total 41,94 % saham oleh STT merupakan pelaksanaan putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)No. 07/KPPUI/2007 tanggal 19 Nopember 2007 yang menyatakan Grup Temasek melanggar larangan kepemilikan silang sebagaimana diatur dalam Pasal 27 huruf a UndangUndang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli). Pada saat itu, Temasek mempunyai kepemilikan saham silang pada dua perusahaan telekomunikasi Indonesia yaitu Telkomsel (melalui Singapore
Rencana pembelian saham oleh Qtel tersebut kemudian memicu polemik mengenai berapa semestinya Qtel dapat membeli saham Indosat di pasar modal. Mengacu kepada batasan kepemilikan asing dalam Perpres DNI saat itu (Perpres No. 77 Tahun 2007), maksimum pembelian saham Indosat yang dapat dilakukan oleh Qtel adalah 65%. Namun demikian, terhadap kepemilikan saham asing di pasar modal, sebagian pendapat, salah satunya Profesor Erman Rajagukguk, menyatakan bahwa kepemilikan saham di pasar modal adalah kepemilikan portofolio dan juga merupakan penanaman modal tidak langsung dimana Perpres DNI tidaklah bisa berlaku. Meski begitu, Qtel mematuhi batasan kepemilikan asing pada industri telekomunikasi seluler dan satelit yaitu sebanyak 65%.
Pada tahun 2013, polemik isu penanaman modal dan kepemilikan saham di pasar modal kembali mencuat setelah BKPM menerbitkan Peraturan BKPM No. 5 Tahun 2013 tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Non perizinan Penanaman Modal. Pasal 49 menyatakan bahwa perusahaan terbuka yang dikendalikan oleh pihak asing yang dikategorikan sebagai perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) harus mempunyai Izin Prinsip/Izin Prinsip Perubahan. Komentar pun bermunculan dari kalangan pasar modal dengan alasan yang serupa di atas. Akhirnya, BKPM merevisi peraturan tadi melalui Peraturan BKPM No. 12 Tahun 2013. Pasal 49 pun dihapus.
Polemik isu ini pun muncul lagi pada kepemilikan saham perusahaan pertunjukan film PT Graya Layar Prima Tbk. Proses penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO) perusahaan yang sebelumnya dikenal sebagai Blitz Megaplex (sekarang CGV Blitz) menjadi perdebatan. Masuknya investor asing asal Korea Selatan dan Hong Kong yang kemudian menguasai 26,41% saham Blitz dianggap melanggar Perpres DNI, meski kepemilikan saham tersebut merupakan hasil konversi utang Blitz terhadap CG CGV Co. Ltd dan IKT Holdings Limited. Perpres DNI menyatakan bahwa bisnis pertunjukkan film haruslah merupakan 100% penanaman modal dalam negeri. Meski begitu, alasan bahwa kepemilikan saham di pasar modal merupakan kepemilikan portofolio kembali mengemuka walaupun kenyataannya terdapat perubahan komposisi manajemen dengan masuknya ekspatriat Korea Selatan dalam jajaran direksi Blitz.
Adanya kontroversi isu tersebut di atas dengan perbedaan perspektifnya serta situasi yang pernah terjadi menjadi salah satu faktor pendorong BKPM untuk melakukan revisi atas Perpres DNI 2014.
Situasi-situasi tersebut di atas menggambarkan bahwa sebenarnya selama ini terdapat pemisahan dan pembedaan antara FDI dan FPI di Indonesia. Padahal, dalam kenyataannya dua jenis penanaman modal ini saling beririsan dan bersinggungan. Meski pada dasarnya perdagangan saham di pasar modal merupakan perdagangan portofolio, pengalihan saham dalam jumlah signifikan, misalnya 25%, dapat menyebabkan perubahan pengendalian. Perubahan pengendalian pada hakikatnya adalah perubahan siapa pemilik sesungguhnya atas sebuah perusahaan dan berdampak kepada perubahan komposisi manajemen dan kebijakan perusahaan. Hal ini jelaslah merupakan penanaman modal langsung. Secara administratif, pemenuhan izin perubahan penanaman modal berlaku bagi perusahaan yang bersangkutan.
Pendapat lain datang dari Kimberly Evans dari Amerika Serikat. Dalam presentasinya pada Global Forum on International Investment 2002 yang diselenggarakan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), baik FDI maupun FPI menyediakan dan meningkatkan keuntungan ekonomi. Meskipun terdapat perbedaan antara FDI dan FPI, keduanya tidak boleh diperlakukan secara berbeda dan terpisah. Dengan kebijakan yang tepat, FDI dan FPI dapat memberikan kontribusi positif terhadap ekonomi yang kuat dan sehat. Pendapat para ahli di atas mendukung OECD Benchmark atas FDI yang menetapkan bahwa setiap kepemilikan saham di atas 10% mesti diperlakukan sebagai FDI, sedangkan kepemilikan saham di bawah 10% mesti diperlakukan sebagai
Selain pendapat ahli dan definisi dari OECD, penjelasan mengenai definisi penanaman modal pada ASEAN Comprehensive Investment Agreement (ACIA), dimana Indonesia ikut menandatangani, juga bisa dipertimbangkan. Berdasarkan Pasal 4 perjanjian ini, yang dimaksud dengan investasi atau penanaman modal adalah setiap aset yang dimiliki atau dikontrol oleh seorang investor dimana diantaranya adalah saham, obligasi, surat hutang dan setiap bentuk partisipasi atas badan hukum dan hak atas keuntungan yang berasal dari aset tersebut. Definisi berdasarkan Pasal 4 ini cukup luas. Meskipun tidak ada ketentuan yang spesifik terhadap aset-aset tadi, investasi di pasar modal dapat tercakup dalam definisi tadi.
Muhammad Faiz Aziz (Peneliti pada Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK))
Penulis
Caecilia Aletheia
Natasya Ayu Savira
I Wayan Agus Eka
Krisna Bayu Aji