Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan salah satu perwujudan peran Pemerintah di bidang ekonomi yang mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peran pemerintah dalam bidang ekonomi idealnya dijalankan dalam hal swasta belum dapat menyelenggarakan kegiatan ekonomi tersebut, sehingga peran pemerintah lebih mengarah kepada penyediaan barang/jasa publik untuk memenuhi segala kebutuhan masyarakat. Peran pemerintah dalam penyelenggaraan kegiatan ekonomi tersebut diterjemahkan sebagai bentuk “pioneering” (perintis) usaha sehingga membuat BUMN menjadi agen pembangunan (agent of development). Pada perkembangannya latar belakang pembentukan BUMN menjadi lebih bervariasi seperti latar belakang politik pada masa orde lama yang menghasilkan BUMN melalui nasionalisasi ex perusahaan-perusahaan asing, latar belakang skala ekonomi seperti Perusahaan Listrik Negara (PLN), perkeretaapian, telekomunikasi, dan latar belakang yang berkaitan dengan persediaan sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti Pertamina atau BUMN lain di bidang pertambangan.
BUMN merupakan salah satu pelaku ekonomi dalam perekonomian nasional yang didasarkan pada prinsip demokrasi ekonomi sehingga mempunyai peran penting sebagai penggerak perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Guna mewujudkan kesejahteraan rakyat, BUMN mempunyai fungsi untuk memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional dan penerimaan negara serta meningkatkan penyelenggaraan kemanfaatan umum dalam bentuk penyediaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup orang banyak.
BUMN mempunyai peran strategis sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan swasta besar, dan ikut membantu pengembangan usaha kecil/koperasi. Agar pelaksanaan peran strategis dari BUMN ini berjalan optimal maka BUMN harus terus dikembangkan bukan hanya demi kelangsungan hidupnya tetapi juga bagi keberlangsungan sistem ekonomi itu sendiri. Tata kelola perusahaan yang baik merupakan hal wajib untuk dilakukan dalam pengembangan BUMN agar kinerja BUMN meningkat dan berdaya saing dengan perusahaan lain, khususnya dalam menghadapi persaingan global. Tanpa tata kelola perusahaan yang baik mustahil bagi BUMN mampu bersaing dengan perusahaan lain. Perusahaan yang bermutu dan berdaya saing ditunjang oleh kebijakan pemerintah yang berlandaskan pada mutu terutama dalam hal penerapan Total Quality Management (TQM).
Tata Kelola Perusahaan
Tata kelola perusahaan merupakan terjemahan dari corporate governance. Governance berasal dari bahasa Perancis “gubernance” yang berarti pengendalian, selanjutnya kata tersebut digunakan dalam konteks kegiatan perusahaan sehingga menjadi corporate governance. Sejarah corporate governance berawal dari 200 tahun yang lalu, ketika Blackstone menggambarkan perusahaan sebagai little republic. Dengan analogi tersebut maka suatu perusahaan harus dikelola sebagaimana mengelola republik atau suatu negara, dimana ada pemisahan fungsi dan kepentingan di antara para pihak dalam suatu perusahaan yaitu pihak yang menyediakan modal atau pemegang saham dan pengelola atau pelaksana sehari-hari perusahaan. Inheren dengan analogi Blackstone, James D. Wolfensohn (President of The World Bank, 1999) memberikan pernyataan bahwa “the proper governance of companies will become as crucial to the world economies as the proper governing of countries”.
Dengan adanya corporate governance maka pengelolaan perusahaan harus memenuhi standar usaha dan memenuhi prinsip-prinsip manajemen sebagaimana harusnya berjalan pada suatu perusahaan. Corporate governance dalam implementasinya berkembang menjadi konsep Good Corporate Governance (GCG) yang merupakan sistem untuk mengatur dan mengendalikan perusahaan dalam rangka mencapai nilai tambah bagi semua stakeholder.
Stakeholder dibagi menjadi dua, yaitu:
Tata kelola perusahaan tidak selalu memiliki pedoman yang sama antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya, tergantung pada budaya dan tujuan dari perusahaan tersebut, sebagaimana diungkapkan oleh Hon. Justice Owen (Commissioner of Australian Royal Comission), “by its very nature corporate governance is not something where one size fits all…..”. Namun demikian, GCG memiliki prinsip-prinsip yang sama, yaitu keadilan (fairness), transparansi/keterbukaan
Tata Kelola BUMN
BUMN berfungsi sebagai agent of development dan penggerak perekonomian nasional sehingga harus dikelola dengan baik dan benar agar memperoleh serta memberikan manfaat secara optimal. Pengelolaan BUMN secara empiris dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu property right approach dan public service approach. Dengan property right approach, BUMN mempunyai tujuan mencapai keuntungan maksimum untuk dibagikan kepada pemilik dan pendekatan public service approach yang tidak semata-mata memperoleh keuntungan maksimum tetapi lebih kepada pengendalian dan pelaksanaan fungsi-fungsi BUMN di sektor-sektor yang menyangkut pelayanan publik.
Hal tersebut berarti bahwa penjelasan bukan merupakan norma yang mengikat secara hukum sebagaimana layaknya norma dalam batang tubuh undang-undang. Pelaksanaan dan penegakan UU BUMN menjadi tidak efektif dalam hal aturan tata kelola BUMN berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik, karena aturan tersebut hanya diberikan ruang pada penjelasan UU BUMN yang notabene tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Tarik menarik antara hukum publik dan hukum privat dalam pengelolaan BUMN seharusnya sudah dapat terjawab, dengan catatan bahwa ketentuan pengelolaan BUMN berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik tidak ditempatkan pada penjelasan, melainkan ditempatkan sebagai norma dalam batang tubuh undang-undang, agar setiap pendekatan pembinaan, pengawasan dan evaluasi hasil kinerja BUMN berlandaskan pada prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
Permasalahan lain dalam tata kelola BUMN selain dari pengaturan tata kelola dalam UU BUMN, adalah pelaksanaan pemeriksaan tata kelola BUMN terutama pengelolaan keuangan BUMN. Perdebatan terjadi antara administrasi perusahaan negara dan administrasi negara, apakah kedua hal tersebut sama atau berbeda berdasarkan sudut pandang hukum publik dan hukum privat, mana yang lebih tepat digunakan dalam pengelolaan administrasi BUMN. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dulu harus dilihat apakah setiap BUMN adalah perusahaan negara atau sebaliknya perusahaan negara belum tentu BUMN.
Pasal 1 angka 1 UU BUMN menyatakan bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Pasal 1 angka 2 menentukan bahwa Persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Kemudian Pasal 4 ayat (3) UU BUMN mengatur bahwa setiap penyertaan modal negara dalam rangka pendirian BUMN atau perseroan terbatas yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ditetapkan (APBN) dengan Peraturan Pemerintah (PP), ini artinya BUMN didirikan berdasarkan PP karena dananya berasal dari APBN.
Berdasarkan norma pasal-pasal tersebut, dapat dikatakan bahwa yang disebut dengan BUMN yaitu modalnya dimiliki negara melalui penyertaan secara langsung dari kekayaan negara yang dipisahkan dan didirikan berdasarkan PP karena dananya berasal dari APBN. Syarat penyertaan langsung dan pendirian BUMN berdasarkan PP ini menimbulkan masalah pada implementasinya, karena artinya anak perusahaan BUMN tidak dapat dikatakan sebagai BUMN disebabkan dua hal, pertama, penyertaan modal kepada anak perusahaan yang diambil dari induk perusahaan BUMN bukan merupakan penyertaan langsung dari kekayaan negara yang dipisahkan dan kedua, anak perusahaan tidak didirikan berdasarkan PP.
Kemudian berbicara mengenai Persero yang modalnya terbagi atas saham yang seluruh atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU BUMN juga menjadi permasalahan. Syarat BUMN yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara diberikan batasan lebih lanjut bagi besaran sebagian besar, yaitu 51% dalam Pasal 1 angka 2 UU BUMN, timbul pertanyaan bagaimana dengan kepemilikan negara terhadap suatu perusahaan di mana kepemilikan negara terhadap modal tersebut di bawah 51% saham, apakah perusahaan itu disebut dengan perusahaan negara saja atau BUMN adalah perusahaan negara. Dilihat dari ketentuan pasal-pasal yang telah diuraikan, maka disimpulkan bahwa BUMN adalah perusahaan negara karena modalnya seluruh atau sebagian besarnya dimiliki oleh negara, tetapi perusahaan negara belum tentu BUMN karena ada syarat yang yang harus dipenuhi untuk dapat dikatakan BUMN yaitu penyertaan langsung dari kekayaan negara yang dipisahkan dan didirikan oleh PP serta untuk BUMN Persero, negara harus memiliki 51% sahamnya.
Fokus dalam uraian tulisan ini yaitu pada tata kelola perusahaan negara yang merupakan BUMN terutama BUMN Persero. Menurut pandangan dari sisi hukum publik, secara de jure, administrasi perusahaan negara merupakan bagian dari administrasi negara berdasarkan titik tolak dari konsep kepemilikan. Konsep kepemilikan membawa konsekuensi hubungan antara administrasi perusahaan negara dengan administrasi negara. Performa perusahaan negara lebih banyak ditentukan oleh pengaruh yang ditimbulkan oleh hubungan perusahaan negara dengan negara sebagai pemilik. Pengaruh tersebut dapat berupa pengaruh positif atau negatif, tergantung pada sejauh mana apresiasi yang diangkat untuk membedakan administrasi negara dengan administrasi perusahaan negara.
Konsep perusahaan dalam administrasi perusahaan dapat dikatakan sebagai suatu hal yang terpisah dan berdiri sendiri sehingga dapat mengambil keputusan yang absolut karena kewenangan mengambil keputusan terletak pada perusahaan itu sendiri. Konsep perusahaan dalam administrasi perusahaan negara tidak demikian. Dalam administrasi perusahaan negara, suatu perusahaan negara harus dipandang sebagai anggota dari “keluarga besar” perusahaan negara yang nasibnya akan ditentukan oleh antarhubungan dan antara keterkaitan sesama perusahaan negara dan dengan lembaga-lembaga yang ada dalam sistem administrasi negara yang melingkupinya.
Administrasi perusahaan negara berkaitan dengan administrasi negara tetapi tetap ada perbedaan dalam beberapa hal, yaitu:
Dari sisi hukum privat, administrasi negara dan administrasi perusahaan negara tidak dapat disamakan dan tidak berkaitan satu sama lain. Hal ini disebabkan karena perusahaan merupakan badan hukum sehingga perusahaan adalah subjek hukum tersendiri pemegang hak dan kewajiban. Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sendiri, seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para anggotanya dan sebagainya serta badan hukum dimungkinkan dapat dibubarkan.
Perusahaan mempunyai kekayaan yang terlepas dari para anggotanya, sehingga konsekuensi kekayaan terpisah adalah pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perusahaan melebihi saham yang dimiliki dan secara otomatis, harta kekayaan yang terpisah itu menjadi harta kekayaan perusahaan dan pengelolaannya harus berdasarkan prinsipprinsip pengelolaan perusahaan yang baik. Jadi, antara perusahaan dan pemilik, yaitu pemegang saham, secara jelas sudah terpisah, tidak memiliki keterkaitan kecuali pertanggungjawaban terhadap kerugian hanya sebatas saham yang dimilikinya.
Dari konsep perusahaan sebagai badan hukum dalam sudut pandang hukum privat, maka administrasi negara harus terpisah dari administrasi perusahaan karena negara dan perusahaan negara merupakan entitas yang berbeda. Pendirian dan pengesahan badan hukum harus memuat maksud dan tujuan serta kegiatan usaha, maka di sini jelas terlihat bahwa kegiatan usaha dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan sehingga administrasi perusahaan dilakukan untuk mencapai maksud dan tujuan perusahaan dalam mencapai keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik. Administrasi negara mempunyai maksud dan tujuan untuk mengelola negara secara baik dan benar sehingga dapat memberikan kesejahteraan dan manfaat bagi sebanyakbanyaknya orang (prinsip utilitarian). Dilihat dari maksud dan tujuan antara perusahaan negara dan negara yang jelas berbeda, maka dengan tegas hukum privat memisahkan administrasi negara dan administrasi perusahaan negara.
Dilema BUMN dalam tata kelola ada pada hadirnya kepemilikan negara terhadap perusahaan tersebut. BUMN tunduk pada berbagai peraturan perundang-undangan yang mempunyai sudut pandang government judgment rule, karena memandang keuangan BUMN termasuk ke dalam keuangan negara, diantaranya Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Permasalahan muncul apabila terjadi kerugian perusahaan yang dianggap sebagai kerugian negara sehingga harus dilakukan pemeriksaan oleh BPK dalam pengelolaan keuangan BUMN. Selama ini BPK melakukan pendekatan government judgment rule dalam melakukan pemeriksaan keuangan BUMN. Pemeriksaan oleh BPK semestinya dilakukan dengan menggunakan pendekatan business judgment rule dalam melakukan pemeriksaan keuangan BUMN karena walaupun keuangan BUMN masuk ke dalam ranah keuangan negara tetapi pengelolaannya berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik, artinya pengelolaan keuangan perusahaan tidak sama dengan pengelolaan keuangan negara.
Bagaimana mungkin pelaksanaan pengelolaan keuangan yang berbeda tetapi melakukan pendekatan pemeriksaan keuangan yang sama, karena tolak ukur pengelolaan keuangan negara adalah government judgment rule sedangkan tolak ukur pengelolaan keuangan perusahaan adalah business judgment rule. Solusi paling mudah bagi pertentangan ini adalah merubah pendekatan dan paradigma BPK dalam pemeriksaan keuangan BUMN, dari government judgment rule menjadi business judgment rule, terutama apabila terjadi kerugian pada BUMN.
Febry Liany (Tenaga Fungsional Perancang Perundang-Undangan pada Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia)
Penulis
Caecilia Aletheia
Natasya Ayu Savira
I Wayan Agus Eka
Krisna Bayu Aji