Pasangan Calon Tunggal Dalam Pilkada
Pelaksanaan pilkada serentak tahap pertama yang akan diselenggarakan pada tanggal 9 Desember 2015 ternyata mengalami banyak kendala di dalam pelaksanaannya. Setelah tarik menarik dan perdebatan politik di DPR tentang apakah pilkada tetap diselenggarakan pada tahun 2015 atau tidak, beberapa kelemahan dan permasalahan yang menimpa dalam persiapannya, terakhir adalah hal yang sama sekali tidak diprediksi pada saat pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada), yaitu adanya kemungkinan pasangan calon tunggal dalam suatu pilkada. Polemik ini terus berlanjut, setelah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) melalui surat Nomor 0213/Bawaslu/VIII/2015
Fenomena pasangan calon tunggal dalam pilkada ini terjadi karena, pertama, sangat kuatnya petahana atau salah satu pasangan calon peserta pilkada, sehingga pasangan calon lain melakukan kalkulasi ulang politik apakah akan terus maju mengikuti pilkada atau tidak; kedua, semakin pragmatisnya para calon dalam berpolitik, akibat biaya pilkada yang besar dan juga tuntutan untuk memberikan mahar kepada parpol pengusung. Hal ini tidak jarang membuat calon potensial urung ikut dalam pilkada, selain juga gagalnya kaderisasi di tingkat parpol karena calon yang diajukan harus dibebani kontribusi untuk membiayai kendaraan politik atau oprasional parpol, dibandingkan untuk dijadikan ajang menguji kematangan kader parpol dalam berpolitik; ketiga, Undang- Undang mengetatkan persyaratan untuk menjadi calon kada baik dari parpol atau gabungan parpol yaitu 20% (dua puluh persen) kursi DPRD atau 25% (dua puluh lima persen perolehan suara) atau dari jalur persorangan yang menetapkan persyaratan 6,5% (enam setengah persen) sampai dengan 10 persen (sepuluh persen) berdasarkan cluster jumlah penduduk (Pasal 40 dan Pasal 41 UU Pilkada); dan keempat, putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015 yang menyatakan anggota DPR, DPD, dan DPRD untuk mengundurkan diri sejak calon ditetapkan memenuhi persyaratan oleh KPU sebagai calon kada.
Kekosongan Pengaturan Dalam Undang- Undang dan Perppu
Polemik terjadinya calon tunggal dalam pilkada ini berawal dari adanya kekosongan hukum di dalam UU Pilkada yang luput dari antisipasi pembentuk UU (Pemerintah dan DPR), yang tidak mengatur kondisi apabila hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon dalam suatu pilkada. Disisi lain, apabila kondisi ini dibiarkan berlarut- larut maka akan mengancam legalitas dalam pelaksanaan pilkada serentak 2015 pada daerah yang hanya memiliki 1 (satu) calon pasangan. Ini terjadi karena diskresi yang dilakukan oleh Bawaslu maupun KPUD dalam memperpanjang atau menunda penyelenggaraan pilkada terhadap suatu daerah yang hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon pilkada rawan untuk dipermasalahkan secara hukum, akibat tidak diatur secara jelas dalam UU Pilkada. Sementara apabila menunggu UU Pilkada direvisi untuk menjadi dasar hukum terhadap calon tunggal maka hal ini tidak memungkinkan karena pembentukan UU memerlukan waktu relatif lama dan prosedur yang cukup panjang, sementara disisi lain tahapan pilkada akan terus bergulir dan harus segera dilaksanakan serta memerlukan payung hukum segera.
Untuk itu diperlukan terobosan hukum yang sifatnya segera agar pelaksanaan pilkada di daerah yang hanya terdapat pasangan calon tunggal memiliki dasar hukum dan memperoleh legitimasi yang kuat. Adapun terobosan hukum tersebut adalah dengan menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang- undang (perppu) yang mengatur mekanisme penentuan pasangan calon tunggal dalam pilkada di suatu daerah. Hal ini dilakukan karena, pertama, terdapat adanya unsur "kegentingan yang memaksa" sebagaimana diamanatkan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang menyatakan: "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak mentapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang". Merujuk pada Putusan MK Nomor 138-VII/2009, memberi rambu atau parameter adanya kegentingan memaksa bagi presiden untuk mengeluarkan perppu, yaitu: (i) adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah cepat berdasarkan UU; (ii) UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai; (iii) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu cukup lama, sementara keadaan mendesak tersebut perlu segera mendapatkan penyelesaian. Tiga unsur yang disyaratkan oleh putusan MK agar presiden dapat menerbitkan perppu dalam konteks calon tunggal pilkada ini sudah benar-benar terpenuhi, yaitu (i) adanya keadaan atau kondisi dimana untuk beberapa daerah yang akan menyelenggarakan pilkada hanya terdapat satu pasangan calon, apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut maka tidak akan terdapat penyelesaian akibat perpanjangan pendaftaran yang dilakukan bertentangan dengan UU Pilkada, tidak ada jaminan penundaan yang dilakukan akan mendapatkan calon pasangan yang lain, dan tidak memberikan kepastian atau jaminan hukum terhadap pasangan calon tunggal yang sudah mendaftar; (ii) di dalam UU Pilkada terdapat kekosongan hukum, karena tidak mengatur mekanisme pemilihan dan penetapan calon tunggal dalam pilkada; (iii) apabila menunggu payung hukum untuk mengatur hal ini melalui perubahan UU Pilkada maka secara teknis hal ini tidak dimungkinkan, karena untuk merubah suatu UU memerlukan prosedur, waktu, dan tahapan yang relatif lama, disisi lain tahapan pilkada terus bergulir dan memerlukan payung hukum yang jelas agar hasilnya nanti tidak dipermasalahkan secara hukum.
Kedua, walaupun perpanjangan pendaftaran calon peserta pilkada dapat dipandang sebagai niat baik untuk menyelesaikan permasalahan, tetapi dasar hukum perpanjangan waktu pendaftaran
Solusi Pengaturan Ke Depan
Sambil menunggu waktu yang cukup untuk melakukan amandemen terhadap UU Pilkada, yang salah satu substansinya mengatur mekanisme penentuan kepala daerah dalam hal terdapat hanya 1 (satu) calon pasangan dalam pilkada disuatu daerah, untuk memberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaan pilkada serentak tahun 2015 dan menjamin hak dan memberikan kepastian hukum terhadap peserta calon tunggal yang mengikuti pilkda, sebaiknya presiden segera menetapkan perpu terhadap hal ini. Agar materi pengaturan mengenai calon tunggal ini tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat
Terkait dengan perubahan RUU Pilkada, pertama, revisi UU Pilkada ke depan tidak saja hanya mengatur adanya calon tunggal, tetapi harus dilakukan secara komprehensif dan berorientasi pada peningkatan kualitas pilkada dan calon pemimpin terpilih; kedua, memuat sanksi baik itu berbentuk administratif maupun pidana bagi parpol atau orang yang meminta uang mahar kepada calon, yang dalam banyak kasus dapat menyebabkan keengganan sejumlah tokoh potensial untuk mencalonkan diri; ketiga, harus dapat memperkuat tujuan pilkada untuk menghasilkan pemimpin daerah yang berkualitas, sehingga revisi hendaknya fokus kepada penguatan, pengetatan, dan persyaratan kualifikasi personal calon disuatu sisi, dan pelonggaran /peringanan syarat dukungan disisi yang lain, sehingga akan lahir banyak alternatif kepala daerah yang berkualitas (Farouk Muhammad, Kompas, Selasa 1 September 2015).
Zaqiu Rahman (tenaga fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan Bidang Industri dan Perdagangan di Sekretariat Jenderal DPR RI)
Penulis
Sri Muliana Azhari
Vinda Ramadhanty
Enjelita Tamba
Ulfia Pamujiningsih