Presiden Joko Widodo dalam pidatonya menyambut peringatan HUT RI yang ke-70 menyatakan bahwa salah satu fokus pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi adalah melalui pembangunan infrastruktur. Hal tersebut satu nafas dengan nawacita, dimana pemerintah berjanji untuk melakukan percepatan terhadap pembangunan infrastruktur. Banyak proyek besar yang disiapkan oleh pemerintah dalam percepatan pembangunan infrastruktur lima tahun ke depan. Dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, pemerintah berniat membangun 15 bandara baru, 24 pelabuhan baru, serta jalur kereta api sepanjang 3.258 km yang tersebar di Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Akan dibangun pula jalan tol sepanjang 1.000 km dan jalan nasional baru 2.650 km dengan total kebutuhan dana untuk seluruh pembangunan infrastruktur tersebut diperkirakan mencapai Rp 5.500 triliun.
Proyek besar pembangunan infrastruktur tentunya membutuhkan biaya yang besar. Sebuah realitas bahwa negara tidak dapat sendirian untuk memenuhi semua kebutuhan masyarakatnya, termasuk pemenuhan terhadap kebutuhan infrastruktur. Banyak negara di wilayah Asia khususnya belum mempunyai dana yang cukup untuk pembangunan infrastruktur. Sehingga mereka masih kekurangan sarana dan prasarana baik berupa jalan, air, listrik, perangkat telekomunikasi dan lain sebagainya sehingga berimbas pada lambatnya pembangunan ekonomi.
Menghadapi tantangan tersebut, pemerintah berusaha menggandeng pihak swasta dalam usaha pemenuhan kebutuhan infrastruktur dengan meluncurkan berbagai model atau skema kerjasama bisnis antara pihak swasta dengan pemerintah, dengan harapan mampu menarik partisipasi dan investasi mereka dalam pembangunan infrastruktur. Namun sampai sejauh ini upaya tersebut dirasakan masih belum optimal. Hal tersebut wajar saja terjadi, karena pembangunan infrastruktur membutuhkan investasi yang besar dengan jangka waktu yang panjang.
Pemerintah Tiongkok, berkaca pada pengalaman di negaranya sendiri dalam hal pemenuhan akan infrastruktur pada akhirnya mencoba untuk menginisiasi lahirnya bank infrastruktur Asia. Tiongkok bersama dengan beberapa negara di wilayah Asia Pasifik mendirikan sebuah lembaga keuangan yang khusus bergerak di bidang infrastruktur, Asian Infrastruktur Investment Bank (AIIB). AIIB merupakan bank infrastruktur di Asia yang sama levelnya dengan Asia Development Bank (ADB) namun khusus di bidang infrastruktur, area prioritas AIIB mencakup transportasi, energi, komunikasi, industri, dan pertanian. Faktor inilah yang membedakan AIIB dengan ADB yang menitikberatkan pada pembangunan, pendidikan, serta infrastruktur. AIIB dirancang untuk memberikan dukungan pembiayaan bagi pembangunan infrastruktur di wilayah Asia, baik kepada institusi pemerintah maupun swasta. Banyak kalangan di bidang perbankan menilai hadirnya AIIB sebagai saingan bagi Internasional Monetary Fund (IMF).
Lalu apa keuntungannya bagi Indonesia ?
Indonesia ternyata merupakan salah satu negara yang hadir pada saat penandatanganan MOU pendirian AIIB oleh 21 negara pada tanggal 23-24 Oktober 2014. Pada kesempatan tersebut Indonesia tidak dapat ikut menandatangani dikarenakan masih dalam proses transisi pemerintahan baru. Namun Indonesia hadir dan bertindak sebagai potential founding member yang diberikan fleksibilitas waktu khusus oleh Tiongkok. Akhirnya pada tanggal 25 November 2014, pemerintah Indonesia yang diwakili oleh menteri keuangan melakukan penandatanganan MoU pendirian AIIB di Jakarta. Selanjutnya, Indonesia bersama 21 negara lainnya akan terlibat dalam persiapan operasional pembentukan AIIB untuk menyusun rancangan Articles of Agreement (AoA) dan memberikan dukungan teknis terkait dengan proses negosiasi AoA. (http://www.kemenkeu.go.id)
Keputusan pemerintah Indonesia untuk bergabung dalam AIIB bukanlah keputusan yang tiba-tiba, sebab tawaran untuk berpartisipasi dengan AIIB sudah dilakukan oleh Presiden Tiongkok, Xi Jinping kepada Presiden Indonesia pada saat itu, Susilo Bambang Yodoyono. Inisiatif pembentukan AIIB pun telah lama dipaparkan oleh pemerintah Tiongkok pada berbagai forum seperti ASEAN, APEC dan beberapa forum bilateral. Pada setiap forum pertemuan, inisiatif tersebut mendapat sambutan positif karena isu pembangunan infrastruktur merupakan salah satu isu penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia dan adanya financing gap dalam pembiayaan infrastruktur. Melalui AIIB diharapkan pembangunan ekonomi dan integrasi Asia melalui promosi investasi pada sektor infrastruktur dapat dipercepat. Terlepas dari semua itu, adalah hal yang wajar ketika kemunculan sebuah lembaga keuangan baru selalu disertai dengan kecurigaan. Hal tersebut berlaku juga pada AIIB, tidak sedikit negara yang curiga bahwa AIIB merupakan “politik uang” Tiongkok. Tentunya hal tersebut merupakan tantangan bagi para pendiri AIIB untuk segera menunjukkan betapa pentingnya kehadiran AIIB.
Hingga saat ini sudah 50 lebih negara baik di wilayah Asia maupun Eropa yang bergabung dengan AIIB karena melihat peluang bisnis yang sangat besar. Khusus untuk Indonesia sendiri, keuntungan yang akan didapat jika bergabung ke dalam bank ini adalah kemudahan mencari dana untuk pembangunan infrastruktur. Walaupun pemerintah telah berusaha menggandeng swasta dengan penggunaan pola Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) atau Public Private Partnership (PPP) untuk pembangunan infrastruktur sejak tahun 2005, namun hingga sekarang belum ada tanda-tanda keberhasilan pola tersebut dalam menyediakan infrastruktur nasional. Pembentukan AIIB dapat menjadi sumber pembiayaan alternatif bagi menambah pendanaan infrastruktur (infrastructure financing) juga sebagai sarana menjaring investor dari luar negeri.
Kehadiran AIIB juga menambah jumlah lembaga keuangan global, sehingga pilihan bagi para peminjam dana pun bertambah. Calon nasabah dapat membandingkan dari sisi suku bunga yang ditawarkan termasuk juga kemudahan persyaratan peminjaman. Indonesia, sebagai negara yang sedang giat melakukan pembangunan adalah calon nasabah potensial AIIB. Penting bagi Indonesia untuk mengetahui dan mempelajari sejak awal skema-skema kerja sama yang akan dikembangkan sehingga mampu menguntungkan semua pihak. AIIB diharapkan membawa skema dan filosofi saling menguntungkan, sehingga tidak ada intervensi ataupun eksploitasi terhadap penyelenggaraan perekonomian Indonesia. Sebagai negara merdeka sudah seharusnya Indonesia berdaulat secara ekonomi, hal ini dapat diartikan bahwa kerja sama yang terjalin mestinya tak menimbulkan ketergantungan.
Agar Indonesia dapat menikmati keuntungan yang optimal dengan adanya AIIB tentunya perlu segera dipersiapkan beberapa hal terkait regulasi yang mendukung, terutama perlindungan dan pergerakan investasi di bidang infrastruktur. Berdasarkan hasil kajian studi kasus Indonesia infrastructure roundtable 2013-2014, khusus untuk pembangunan di bidang infrastruktur terdapat beberapa pokok persoalan selain keterbatasan pendanaan dari pemerintah.Terdapat beberapa regulasi yang perlu segera dipersiapkan misalnya dibidang penjaminan adalah paket kebijakan apa yang sebaiknya disiapkan oleh pemerintah dalam menjamin investasi di bidang infrastruktur. Selain itu regulasi pada proses penyelenggaraan tender, pengadaan dan pembebasan lahan tanah serta perizinan perlu mendapat perhatian khusus untuk segera dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi. Tidak kalah penting adalah pemerintah harus segera menyiapkan regulasi yang memuat poin penting tentang prosedur atau mekanisme pengawasan oleh aparat penegak hukum dalam pengambilan keputusan terkait pembangunan proyek infrastruktur. Ketika sisi kebutuhan dana bukan lagi menjadi hambatan dengan kehadiran AIIB, dimana Indonesia dapat mengambil keuntungan terhadap percepatan pembangunan infrastruktur. Maka kesiapan baik perbaikan maupun pengadaan regulasi yang bisa mengakselerasi pembangunan infrastruktur harus segera dilakukan oleh pemerintah.
Tyas Dian Anggraeni (Kasubbid. Penelitian Kebutuhan Hukum di Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, BPHN, Kementerian Hukum dan HAM RI)
Penulis
Caecilia Aletheia
Natasya Ayu Savira
I Wayan Agus Eka
Krisna Bayu Aji