Sudah menjadi pandangan yang biasa kemacetan di kota-kota besar setiap harinya, yang disebabkan menumpuknya jumlah kendaraan bermotor dan kaum pekerja yang pergi ke kantor. Sebagai contoh, Jakarta sebagai ibukota Negara yang juga menjadi pusat kota perdagangan dan pemerintahan di negara ini, sudah cukup sesak oleh jumlah tenaga kerja yang bekerja. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia pada Februari 2014 mencapai 118,2 juta orang atau bertambah 1,7 juta orang dibandingkan kondisi pada Februari 2013 (antaranews.com), sedangkan untuk di DKI Jakarta sendiri, tercatat pada bulan Februari 2015, jumlah angkatan kerja tercatat 5,55 juta orang, meningkat sebanyak 359,16 ribu orang dibanding keadaan Februari 2014 (www.jakarta.go.id).
Hal ini diperparah lagi dengan jumlah kendaraan bermotor yang melintas di jalanan kota besar. Untuk DKI Jakarta, tercatat jumlah unit kendaraan bermotor hingga akhir 2014 sebanyak 17.523.967 unit yang didominasi oleh kendaraan roda dua dengan jumlah 13.084.372 unit. Diikuti dengan mobil pribadi sebanyak 3.226.009 unit, mobil barang 673.661 unit, bus 362.066 unit, dan kendaraan khusus 137.859 unit (www.antaranews.com). Hal ini tentunya menimbulkan ketidakefisienan bagi produktifitas tenaga kerja yang bekerja di kantor atau instansi pemerintah. Bahkan menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Bappenas tahun 2006 menunjukkan bahwa kemacetan di Jakarta menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp. 7 Trilyun/tahun yang dihitung untuk 2 (dua) sektor saja, yakni energi (Rp. 5,57 T/tahun) dan kesehatan (Rp. 1,7 T/tahun). Sementara Yayasan Pelangi memperkirakan kerugian bisa membengkak hingga Rp. 43 Trilyun per tahun akibat menurunnya produktivitas kerja, pemborosan BBM dan pencemaran udara (www.pu.go.id).
Beberapa solusi telah dikemukakan dan dijalankan di antaranya dengan mengembangkan transportasi multi-moda, MRT System, KA Bandara Soekarno-Hatta, pengembangan Intelligent Transport System (ITS), perubahan struktur pajak kendaraan bermotor, dan perbaikan manajemen transportasi. Namun hal itu semua belum menemukan hasil yang signifikan untuk mengurangi kemacetan. Adalah remote office, salah satu alternatif yang bisa dijadikan solusi untuk mengurangi kemacetan dan meningkatkan produktifitas bagi kaum pekerja khususnya yang berada di kota besar seperti Jakarta.
Pada dasarnya konsep remote office merupakan konsep memindahkan para pekerja yang asalnya bekerja bersama–sama secara fisik dalam suatu tempat menjadi bekerja dari rumah atau tempat– tempat lainnya. Penerapan konsep remote office memiliki banyak manfaat, baik dari segi ekonomis, lingkungan hidup, dan dari segi industri, perusahaan, atau instansi itu sendiri. Dari segi ekonomis, konsep remote office memiliki manfaat yaitu mengurangi pemakaian bahan bakar minyak (BBM) pada kendaraan bermotor, menghemat penggunaan listrik, mengurangi biaya sewa dan pemeliharaan gedung untuk ruang usaha atau kantor, serta mengurangi biaya transportasi. (www.pstid.com)
Selanjutnya dari segi lingkungan hidup, konsep remote office memiliki manfaat yaitu mengurangi tingkat polusi dan efek rumah kaca, mengurangi penggunaan kertas sehingga menurunkan tingkat penebangan hutan, dan mengurangi limbah perkantoran, seperti plastik, kertas, toner, karbon, barang elektronik dan air buangan AC. Sedangkan, dari segi industri, perusahaan, atau instansi penerapan konsep remote office memiliki manfaat dengan menguranginya beberapa komponen atau unsur dalam industri, perusahaan, atau instansi, yaitu mengurangi biaya komunikasi, biaya sewa kendaraan operasional, serta biaya rumah sakit atau pengobatan. Akan tetapi konsep remote office dalam industri, perusahaan, atau instansi juga dapat meningkatkan produktifitas kerja para karyawan dan loyalitas pekerja terhadap perusahaan.
Dalam pelaksanaan pada aparatur sipil negara, wacana penerapan remote office dapat dimungkinkan untuk diterapkan. Namun, penerapannya tidak untuk semua jenis pekerjaan pegawai aparatur sipil negara. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), yang dinamakan Pegawai Aparatur Sipil Negara (Pegawai ASN) adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang- undangan. Untuk itu Pegawai ASN, sebagaimana diatur dalam dalam Pasal 11 UU ASN, bertugas melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas, serta mempererat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tentunya dalam melaksanakan tugas tersebut, tidak mungkin semua Pegawai ASN menjalankan pekerjaan secara remote office. Untuk pekerjaan yang bersifat pelayanan publik tentunya konsep remote office tidak dapat dijalankan, karena pelayanan publik pada prinsipnya hampir semuanya pekerjaan atau kegiatannya membutuhkan pelayanan secara langsung, khususnya pelayanan administratif, pelayanan barang, dan pelayanan jasa. Hal ini sebagaimana pengertian Pelayanan Publik yang didefinisikan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang menyatakan bahwa kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Untuk beberapa pekerjaan lainnya dari Pegawai ASN yang bersifat pelaksanaan kebijakan publik yang bersifat substanstif dapat dilakukan pekerjaan dengan konsep remote office, seperti peneliti, perancang peraturan perundang-undangan, dosen, perencana dan sebagainya.
Dalam mewujudkan penerapan konsep remote office bagi Pegawai ASN tentunya membutuhkan beberapa upaya yang harus dilakukan. Pertama, perlu mengatur legalisasi pemberlakukan konsep remote office bagi sebagian Pegawai ASN dalam sebuah peraturan perundang-undangan, mengingat saat ini hampir seluruh Pegawai ASN mewajibkan kehadiran fisik di kantor atau instansi sebagai salah satu bentuk kinerja Pegawai ASN disamping hasil pekerjaan yang dilakukan. Kedua, perlu penyediaan infrastruktur yang menunjang diberlakukannya konsep remote office bagai Pegawai ASN. Penyediaan infrastruktur untuk menjang konsep ini tentunya bukanlah suatu hal yang mudah, perlu dukungan anggaran keuangan negara yang cukup untuk menunjang konsep ini. Infrastruktur yang dibutuhkan di antaranya berupa jaringan internet yang cukup cepat beserta pengadaan modem external/portable untuk karyawan yang mendapat keleluasaan bekerja secara remote, pengadaan server yang memiliki spesifikasi tinggi untuk mendapatkan kinerja yang cepat, serta tentunya pengadaan laptop atau notebook untuk karyawan yang bekerja secara remote.
Pemberlakuan wacana remote office sudah selayaknya dapat diterapkan bagi Pegawai ASN di Indonesia, mengingat manfaat yang akan dirasakan cukup besar bagi negara dan Pegawai ASN itu sendiri. Bagi Negara hal yang didapat dengan pemberlakukan konsep remote office ini berupa penghematan keuangan negara, sedangkan bagi Pegawai ASN manfaat yang akan terasa adalah optimalisasi dan efisiensi dalam mengerjakan tugas pekerjaan ASN. Namun demikian konsep remote office ini harus dibarengi dengan konsep dan mekanisme yang jelas karena jika tidak dikhawatirkan konsep ini justru akan kontraproduktif dengan yang diharapkan.