Putusan Praperadilan Pasca Putusan MK
Kewenangan praperadilan untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penetapan tersangka akhir-akhir ini sempat menjadi sorotan publik. Berawal dari Putusan Hakim Sarpin sebagai hakim tunggal pada sidang praperadilan yang diajukan Komjen Pol. Budi Gunawan (BG) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam putusan perkara nomor 04/Pid/Prap/2015/PN Jkt Sel, Hakim Sarpin menyatakan penetapan status tersangka BG oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak sah dan yang bersangkutan tidak termasuk penegak hukum. Walaupun ada sebagian pengamat yang menyatakan bahwa putusan ini merupakan terobosan atau penemuan hukum baru terkait putusan praperadilan, tetapi pendapat yang lain menyatakan bahwa putusan ini dinilai sebagai putusan yang kontroversial, karena dianggap telah melampaui kewenangan praperadilan yang diatur di dalam Pasal 1 angka 10 dan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (UU HAP).
Akan tetapi perdebatan apakah lembaga praperadilan berwenang untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penetapan tersangka akhirnya terjawab sudah, Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 28 April 2015 melalui Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 (Putusan MK) telah memutus diantaranya bahwa lingkup kewenangan praperadilan yang diatur dalam Pasal 77 huruf (a) UU HAP mencakup juga sah atau tidaknya penetapan tersangka (halaman 110 Putusan MK). Putusan MK ini artinya telah memperluas kewenangan praperadilan itu sendiri, yang dahulu mencakup sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan, saat ini diperluas diantaranya pula mencakup mengenai memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penetapan status tersangka seseorang.
Pasca Putusan MK ini tercatat beberapa tersangka korupsi telah mengajukan permohonan praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka. Adapun kasus yang cukup mengundang perhatian masyarakat adalah permohonan praperadilan mantan Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas perkara kasus dugaan korupsi terkait kerja sama kelola dan transfer untuk instalasi PDAM Kota Makassar. Dalam putusannya, Hakim Upiek menyatakan, penetapan Ilham Arief sebagai tersangka tidak sah karena KPK tidak bisa menunjukkan alat bukti yang cukup (http://news.liputan6.com/read/2241279/kpk-terima-salinan-putusan-praperadilan-eks-walikota-makassar).
Kasus lainnya adalah Hakim Haswandi yang mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan Hadi Poernomo, tersangka penyalahgunaan wewenang dalam mengabulkan keberatan pajak PT Bank Central Asia, yang memutuskan proses penyelidikan, penyidikan, dan penyitaan oleh KPK tak sah karena penyelidik dan penyidik komisi antikorupsi illegal (http://www.tempo.co/read/fokus/2015/05/28/3182/ma-pertanyakan-putusan-praperadilan-hadi-poernomo), serta banyak lagi kasus-kasus serupa yang akan dimohonkan untuk diperiksa atau telah diputus dalam praperadilan.
Kasus-kasus di atas tidak hanya mengundang keprihatinan dari publik, tetapi juga dapat dimaknai sebagai upaya perlawanan balik dari para koruptor terhadap usaha-usaha pemberantasan korupsi yang selama ini telah dilakukan oleh penegak hukum, khususnya oleh KPK. Selain itu, terdapat putusan praperadilan mengenai sah atau tidaknya penetapan status tersangka yang dinilai juga cukup kontroversial karena dirasa telah melampaui kewenangannya yang terlihat dari putusan dan pertimbangan yang disampaikan.
Pada dasarnya penetapan seseorang sebagai tersangka belum merupakan suatu tindakan paksa yang merampas kemerdekaan dan/atau merampas HAM seseorang. Tindakan- tindakan yang mengikuti penetapan seseorang sebagai tersangkalah yang baru dapat dikatakan sebagai suatu tindakan merampas kemerdekaan, misalnya penangkapan dan penahanan. Untuk itu, rasanya perlu diulas hal-hal apa saja yang menjadi pertimbangan MK dan mengapa materi mengenai pemeriksaan sah atau tidaknya penetapan tersangka ini dapat menjadi lingkup kewenangan praperadilan.
Pertimbangan MK
MK melalui putusannya telah menyatakan antara lain bahwa penetapan sah atau tidak tersangka menjadi obyek dari kewenangan praperadilan. Adapun beberapa pertimbangan MK dalam memutus perkara tersebut adalah, pertama: sesuai dengan amanat Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, dimana asas due process of law sebagai salah satu perwujudan pengakuan HAM dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak terutama bagi lembaga penegak hukum (Putusan MK, hal 100).
Kedua, sistem yang dianut dalam UU HAP adalah “akusatur”, yaitu tersangka atau terdakwa diposisikan sebagai subjek manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Dalam rangka melindungi hak tersangka atau terdakwa, UU HAP memberikan mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang penyidik atau penuntut umum melalui pranata praperadilan (Putusan MK, hal 101). Ketiga, UU HAP tidak memiliki check and balance system atas tindakan penetapan tersangka oleh penyidik, karena UU HAP tidak mengenal mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti dan tidak menerapkan prinsip pengecualian (exclusionary) atas alat bukti yang diperoleh secara tidak sah (Putusan MK, hal 102).
Keempat, hakikat keberadaan pranata praperadilan adalah sebagai bentuk pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan HAM, namun dalam perjalanannya ternyata lembaga praperadilan tidak dapat berfungsi secara maksimal karena tidak mampu menjawab permasalahan yang ada dalam proses pra-ajudikasi (Putusan MK, hal 104). Kelima, pada saat disahkannnya UU HAP, masalah penetapan tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Upaya paksa pada masa itu secara konvensional dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan, namun pada masa sekarang bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai perkembangan atau modifikasi yang salah satu bentuknya adalah “penetapan tersangka oleh penyidik” yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian label atau status tersangka pada seseorang tanpa adanya batas waktu yang jelas, sehingga seseorang tersebut dipaksa oleh negara untuk menerima status tersangka tanpa tersedianya kesempatan baginya untuk melakukan upaya hukum untuk menguji legalitas dan kemurnian tujuan dari penetapan tersangka tersebut (Putusan MK, halaman 104).
Keenam, ketika penetapan tersangka tidak dilakukan secara ideal dan benar, dimana seseorang yang sudah ditetapkan menjadi tersangka memperjuangkan haknya dengan ikhtiar hukum bahwa ada yang salah dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap HAM maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya. Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar (Putusan MK, hal. 106).
Penerapan Putusan Kedepan
Dari putusan terhadap penetapan status tersangka di atas serta mencermati pertimbangan putusan MK terkait hal tersebut, dapat disarikan bahwa upaya paksa pada masa awal pembentukan UU HAP secara konvensional dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan, namun pada masa sekarang bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai perkembangan atau modifikasi yang salah satu bentuknya adalah “penetapan tersangka oleh penyidik” yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian label atau status tersangka pada seseorang tanpa adanya batas waktu yang jelas, sehingga seseorang tersebut dipaksa oleh negara untuk menerima status tersangka tanpa tersedianya kesempatan baginya untuk melakukan upaya hukum untuk menguji legalitas dan kemurnian tujuan dari penetapan tersangka tersebut. Pengenaan status tersangka terhadap seseorang tersangka dapat menimbulkan akibat hukum, yaitu berupa pemberhentian sementara, misalnya kepada anggota Polri dan pimpinan KPK, yang mengakibatkan hilangnya hak anggota Polri atau pimpinan KPK tersebut untuk menjalankan kewenangan berdasarkan jabatannya. Disisi lain tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya. Sehingga kewenangan praperadilan untuk memeriksa dan memutus terhadap sah atau tidaknya penetapan tersangka terhadap seseorang telah memenuhi asas due process of law sekaligus penghormatan terhadap HAM.
Hanya saja tidak bisa dipungkiri bahwa implikasi dari putusan ini akan membawa dampak terhadap pelaksanaan hukum acara di Indonesia yaitu akan memperpanjang tahapan peradilan dan menuntut antisipasi kesiapan aparat penegak hukum dalam menghadapi gelombang permohonan praperadilan. Disisi lain, hal ini dapat mendorong perlindungan yang lebih baik dari tindakan para penyidik di kemudian hari sekaligus menjadi koreksi (check and balance system) atas tindakan penyidik selama ini yang dilakukan dengan mengatasnamakan untuk kepentingan penegakan hukum. Dengan demikian dapat dipastikan tindakan abuse of power atau penyalagunaan kewenangan yang kadang kala dilakukan penyidik dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka bisa dihindari dengan adanya mekanisme kontrol melalui praperadilan, terutama ketika penyidik menetapkan seseorang menjadi tersangka. Untuk itu kedepan penegak hukum dituntut untuk lebih profesional dan berhati-hati dalam menetapkan status tersangka terhadap seseorang.
Untuk menjamin pelaksanaan dan menghindari dari potensi penyimpangan terhadap kewenangan praperadilan yang baru tersebut, diperlukan aturan yang lebih terinci sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum khususnya hakim di dalam memutus perkara dimaksud yang dapat berupa Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) tentang petunjuk teknis pelaksanaan beracara di praperadilan pasca putusan MK, yang salah satunya terkait dengan pemeriksaan sah atau tidaknya penetapan status tersangka seseorang. Hal lain yang perlu dilakukan adalah dengan mempercepat pembahasan mengenai penyempurnaan UU HAP, sehingga pasal-pasal yang di putus oleh MK khususnya terkait dengan kewenangan parperadilan dalam memeriksa dan memutuskan penetapan tersangka seseorang beserta pasal-pasal terkait lainnya dapat dirumuskan ulang dan direstrukturisasi kembali.