Peran parlemen sebagai lembaga legislatif memiliki peran strategis dalam mewakili kepentingan dan aspirasi rakyat. Namun, dalam konteks Indonesia, keberhasilan parlemen tidak hanya ditentukan oleh jumlah partai politik yang duduk di dalamnya. Sejumlah kajian akademis mengungkapkan bahwa efektivitas parlemen lebih terkait dengan kualitas pengkaderan politik dan struktur sistem kepartaian daripada jumlah partai politik yang hadir.
Sebagai contoh, pada Pemilu 1999, meskipun terdapat 21 (dua puluh satu) partai politik di DPR, efektivitas pengambilan keputusan lebih baik dibandingkan dengan DPR hasil Pemilu 2009 yang berjumlah 9 (sembilan), DPR hasil pemilu 2014 berjumlah 10 (sepuluh), dan DPR 2019 berjumlah 9 (sembilan) yang memiliki partai politik lebih sedikit. Hal ini menegaskan bahwa efektivitas parlemen tidak hanya bergantung pada jumlah partai politik, tetapi lebih dipengaruhi oleh struktur sistem kepartaian yang terbentuk melalui hasil pemilu.
Pengaruh partai politik di parlemen dipelopori oleh dua faktor utama, yakni kualitas kader yang diusung dan jumlah anggota fraksi partai politik di DPR. Kualitas kader sangat penting dalam memastikan kontribusi yang berkualitas dalam pengambilan keputusan. Sebaliknya, jumlah anggota fraksi memiliki peran penting dalam mekanisme musyawarah dan pengambilan keputusan di parlemen.
Buruknya proses pengkaderan yang dilakukan partai politik setidaknya terlihat jelas pada Pemilu 2024. Misalnya Kaesang Pangarep yang tiba-tiba diangkat menjadi ketua umum oleh PSI setelah dua hari bergabung menjadi kader partai atau persoalan Aldi Taher yang terdaftar menjadi caleg dari dua partai politik yang berbeda. Hal ini tentu menunjukkan betapa tidak berjalannya pengaderan yang baik di partai tersebut.
Selain itu, proses yang demikian tidak akan pernah terjadi di partai-partai dengan pengaderan yang baik dan memiliki basis pendukung yang jelas. Tidak hanya itu, jauh-jauh hari sebelum masa kampanye, sejumlah partai juga sibuk memublikasi kader-kadernya melalui spanduk bertuliskan jargon-jargon, tetapi minim gagasan. Hasil dari kampenye demikian sudah dapat ditebak. Tidak menarik bagi pemilih dan sistem pemilu seakan menjadi ajang demokrasi “sampah” karena polusi visual di mana-mana.
Partai politik hanya fokus pada persaingan dalam sistem kepartaian yang terlalu banyak daripada meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Padahal, kualitas kader partai politik menjadi penentu utama dalam memastikan pengaruh partai politik di parlemen. Jika proses pengkaderan di internal partai politik tidak berjalan dengan baik, kader yang terpilih ke dalam DPR hanya akan menjadi pelengkap tanpa daya pengaruh yang signifikan atau tidak memiliki kekuatan (power) apapun. Oleh karena itu, perbaikan sistem pengkaderan tentu menjadi hal krusial agar perwakilan yang dikirimkan ke parlemen memiliki kinerja yang tidak mengecewakan.
Selain itu, jumlah anggota fraksi juga memainkan peran krusial dalam pengambilan keputusan. Mungkin hal ini tidak banyak berpengaruh terhadap kualitas produk hukum (Undang-Undang) yang dilahirkan, namun jumlah anggota cukup berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Setidaknya bila mekanisme musyawarah tidak tercapai sehingga harus dilakukan mekanisme voting, jumlah anggota fraksi akan sangat menentukan hasil. Tapi banyaknya jumlah anggota ini tidak akan menutup lubang persoalan yang muncul karena pengkaderan partai politik yang buruk.
Evaluasi terhadap Parliamentary Threshold
Berdasarkan kondisi tersebut, penerapan Parliamentary Threshold (PT) perlu dievaluasi agar dapat memberikan kontribusi positif dalam memperbaiki kualitas pengkaderan politik dan efektivitas parlemen. Melalui putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengakui perlunya perubahan terhadap PT, khususnya dengan menaikkan nilai ambang batas 4% (empat persen) suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam pembagian kursi di parlemen pada Pemilu 2029.
Namun, perubahan ambang batas tidak boleh semata-mata menghilangkan PT, melainkan harus mengarah pada peningkatan nilai ke angka yang lebih proporsional. MK, dalam putusannya, menyatakan bahwa kebijakan penyederhanaan kepartaian melalui electoral threshold maupun parliamentary threshold tidak bertentangan dengan konstitusi, selama tidak merugikan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.
MK, dalam putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023, menegaskan bahwa ketentuan PT 4% (empat persen) yang ada sebelumnya tidak memiliki dasar rasionalitas yang jelas. Angka ambang batas parlemen yang berubah-ubah dapat memberikan ketidakpastian dan tidak memberikan landasan yang kuat bagi partai politik untuk berkompetisi secara adil. Oleh karena itu, perubahan nilai ambang batas perlu didasarkan pada metode dan argumentasi yang memadai agar dapat memberikan kepastian hukum dan landasan yang kuat bagi partai politik.
Meskipun MK menyatakan bahwa ambang batas yang terdapat di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum untuk Pemilu 2029 bersifat inkonstitusional, hal ini tidak menghentikan kemungkinan pengaturan ambang batas parlemen. MK tetap membuka peluang asalkan penentuan besaran angkanya dilakukan dengan metode dan argumentasi yang memadai. Oleh karena itu, evaluasi terhadap besaran nilai ambang batas perlu dilakukan dengan fokus pada perketatan persyaratan partai politik agar dapat masuk ke Parlemen.
Optimalisasi Sistem Pengkaderan Partai Politik
Sejalan dengan evaluasi nilai ambang batas, perbaikan sistem pengkaderan partai politik menjadi esensial. Tak peduli seberapa tinggi ambang batas yang ditetapkan, hasilnya tidak akan optimal apabila partai politik tidak mampu melakukan pengkaderan yang berkualitas. Dalam konteks ini, perwakilan politik tidak dapat dipisahkan secara fungsional dari badan perwakilan rakyat. Jika lembaga perwakilan diisi oleh orang-orang yang hanya direkrut berdasarkan popularitas tanpa pemahaman tugas dan fungsi lembaga legislatif, maka tujuan penyederhanaan jumlah partai politik untuk mempermudah pengambilan keputusan akan sulit tercapai.
Seberapa banyak partai politik yang duduk di DPR tidak akan memberikan dampak positif selama kader yang diutus tidak memiliki kualitas. Oleh karena itu, peningkatan nilai ambang batas perlu ditemani dengan upaya serius dalam memperbaiki sistem pengkaderan partai politik. Partai politik harus merekrut kader berdasarkan kualitas, pemahaman, dan komitmen, bukan hanya popularitas semata.
Dalam konteks penerapan ambang batas parlemen, peningkatan nilai ambang batas dapat memberikan tekanan kepada partai politik untuk lebih selektif dalam mengusung calon legislatif. Ambang batas yang lebih tinggi mendorong partai politik untuk lebih memilih calon yang berkualitas, menarik minat pemilih, dan memiliki komitmen yang kuat. Hal ini dapat menghindarkan praktek politik "sampah" yang kerap terjadi dalam merekrut kader partai politik, di mana popularitas lebih diutamakan daripada kualitas.
Kesimpulan
Dalam menghadapi tantangan dalam meningkatkan kualitas pengkaderan politik dan efektivitas parlemen di Indonesia, perubahan nilai PT menjadi langkah strategis. Evaluasi terhadap nilai ambang batas perlu dilakukan dengan fokus pada peningkatan persyaratan bagi partai politik yang ingin masuk ke dalam parlemen. Peningkatan nilai ambang batas seharusnya bukan sekadar untuk mempermudah proses pengambilan keputusan, melainkan juga sebagai alat untuk membenahi sistem politik Indonesia secara menyeluruh.
Peningkatan kualitas kader partai politik melalui optimalisasi sistem pengkaderan menjadi kunci keberhasilan, sekaligus menjamin bahwa parlemen dapat berfungsi efektif sebagai wakil rakyat. Ambang batas yang lebih tinggi harus menjadi dorongan bagi partai politik untuk memprioritaskan kualitas daripada popularitas dalam merekrut kader. Dengan demikian, Indonesia dapat menuju kepada sistem politik yang lebih baik, di mana kualitas pengkaderan politik menjadi kunci utama dalam mewujudkan parlemen yang efektif dan representatif.
Muhammad Afif
Penulis
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu
Dea Aura Aprilia