Selama beberapa tahun terakhir, proses pembentukan undang-undang di Indonesia acapkali dinilai bermasalah, terutama sejak periode Oktober 2019 lalu hingga situasi pandemi saat ini (Indra, 2021: 124). Dalam kurun waktu tersebut, proses legislasi nasional dianggap berlangsung terburu-buru dan cenderung tertutup, sehingga menghasilkan kualitas undang-undang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan ataupun menyelesaikan permasalahan di tengah-tengah masyarakat itu sendiri (Bayu et. al, 2021: 188). Sebagaimana dikutip dari situs laman resmi Mahkamah Konstitusi, sejak kurun waktu tahun 2019 lalu, tercatat jumlah perkara pengujian undang-undang yang diajukan ke MK bersifat fluktuatif dan hampir selalu meningkat dari tahun ke tahun, yaitu 85 kasus (2019), 109 kasus (2020), 71 kasus (2021), dan 72 kasus (per Juni 2022).
Dengan berdasar pada data jumlah perkara pengujian undang-undang selama 3 tahun terakhir, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang yang tergolong paling banyak/sering diujikan kepada MK (Indra, 2021: 124). Pada periode 2019 hingga 2022 (per tanggal 30 Juni), kelima undang-undang ini telah diuji sebanyak 53 kali, dimana Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 diujikan sebanyak 11 kali, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 sebanyak 10 kali, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 sebanyak 7 kali, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 sebanyak 5 kali, serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 sebanyak 20 kali.
Segenap pemaparan di atas sejatinya menunjukkan kecenderungan proses legislasi nasional yang tidak dilakukan dengan proses deliberasi (tahapan sosialisasi komunikasi publik) secara cukup. Maraknya aksi protes yang diadukan masyarakat kepada MK atas kejanggalan dalam pemberlakuan suatu undang-undang menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang tidak mampu menampung aspirasi publik ketika merancang produk hukum tersebut, sehingga berujung pada ketidakpercayaan masyarakat atas produk hukum hasil kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR tersebut (Jimly Asshiddiqie, 2020: 48). Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa fenomena berikut sebenarnya timbul oleh karena segenap rangkaian pembentukan undang-undang hanya dipandang sebagai cerminan kerja politik koalisi semata. Meskipun suatu ketentuan undang-undang dapat diperbaiki/diubah melalui putusan MK yang menyatakan undang-undang tersebut bersifat inkonstitusional, tetapi perlu dipahami bahwa kekuasaan pembentukan undang-undang sebenarnya berada pada kekuasaan lembaga eksekutif dan legislatif sebagaimana dinyatakan pada pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 UUD NRI 1945.
Ketika terdapat begitu banyak produk undang-undang yang diujikan ke MK, maka akan terjadi pelimpahan pembahasan diskursus publik dari yang seharusnya berada di DPR tetapi kemudian malah berpindah ke MK. Kecenderungan ini justru akan meningkatkan tendensi yudisialisasi politik yang malah menciptakan situasi sulit bagi MK oleh karena pembentuk undang-undang terkesan berupaya membuat pola intervensi kooperatif terhadap lembaga peradilan itu ketika menjadi Termohon dalam perkara pengujian undang-undang, yang berkepentingan untuk mempertahankan produk undang-undang tersebut.
Fast-Track Legislation sebagai suatu Konsep Pembentukan Undang-Undang
Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat beberapa kondisi tertentu yang membutuhkan undang-undang dalam waktu cepat sebagai mekanisme penyelesaiannya. Kondisi-kondisi seperti kekosongan hukum, krisis sosial-ekonomi, serta keberlangsungan gejolak sosial-politik menjadi beberapa contoh situasi yang penyelesaiannya membutuhkan pembentukan undang-undang baru dalam waktu segera demi meminimalisir besarnya dampak buruk apabila kondisi tersebut dibiarkan berlarut-larut. Meskipun Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 telah mewadahi keresahan ini dengan memungkinkan Presiden untuk membentuk Perppu dalam kondisi darurat, perlu dipahami bahwa keberadaan produk hukum tersebut tidaklah serupa dengan undang-undang yang merupakan produk kekuasaan legislatif. Terlepas dari kekuatan pemberlakuannya yang menurut pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 jo. Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan) berada setingkat dengan undang-undang, perlu disadari bahwa Perppu sejatinya merupakan suatu produk hukum hasil kekuasaan eksekutif yang berdasar pada prinsip constitutional decree authority semata, sehingga tentu berbeda dengan konsep pemberlakuan undang-undang (Ibnu, 2021: 129-133).
Maka dari itu, dikembangkanlah suatu konsep bernama fast-track legislation, yang memungkinkan pembentukan undang-undang dalam waktu singkat secara resmi/legal (Ibnu, 2021: 130). Mekanisme pengimplementasian konsep ini hadir dalam dua bentuk, yaitu antara memangkas tahapan prosedural tertentu dari proses pembentukan undang-undang, atau cenderung hanya memperpendek jangka waktu pelaksanaan masing-masing tahap (sehingga tiap tahapan pembentukan undang-undang tetap ada dan dipertahankan). Pada sisi lain, pengaturan pengimplementasiannya sendiri terbagi ke dalam tiga pemahaman, yaitu antara dimuat secara filosofis dalam konstitusi, dinyatakan dalam undang-undang, atau sebatas diatur pada peraturan teknis yang melaksanakan ketentuan undang-undang terkait pembentukan peraturan perundang-undangan di negara tersebut (Ibnu, 2021: 134).
Dalam rangka memperoleh pemahaman mengenai rancangan pengimplementasiannya dalam sistem hukum Indonesia, maka perlu dilakukan komparasi terhadap beberapa negara yang memang telah mengamini pelaksanaan mekanisme ini dalam tata hukum nasionalnya, yaitu Inggris, Prancis, AS (Amerika Serikat), Ekuador, dan Selandia Baru (Ibnu, 2021: 125). Masing-masing negara ini memiliki karakteristik yang berbeda di satu sisi dan cenderung sama di sisi lain ketika hendak menerapkan konsep.
Sebagai contoh, dI negara Inggris penggunaan mekanisme fast-track legislation dibatasi hanya untuk 7 kondisi yang menyasar substansi materiil, yaitu upaya pemulihan kepercayaan masyarakat dalam memperoleh hidup aman dan tentram, keberlangsungan krisis ekonomi, percepatan upaya perdamaian dengan negara lain, perbaikan ketentuan undang-undang yang menimbulkan protes publik, mengisi kekosongan hukum, pelaksanaan putusan pengadilan yang ditengarai akan menimbulkan pengaturan baru, serta upaya memastikan pemberlakuan suatu undang-undang dalam kondisi tertentu yang terjadi secara tiba-tiba (United Kingdom House of Lords Constitution Committee: 18-24). Sementara itu, Amerika Serikat cenderung mengamini konsep pengimplementasian yang lebih dinamis, yaitu berdasar pada ketentuan House Rules and Manual yang disusun oleh Kongres – berupaya menganalisis tujuan yang ingin dicapai dari rancangan undang-undang tersebut terlebih dahulu (Bach, 2001: 5-6). Serupa dengan Inggris dan AS, Selandia Baru juga mengamini bahwa pertimbangan penerapan konsep pembentukan undang-undang ini didasarkan pada kewenangan house’s standing orders yang melekat pada lembaga legislatif, yang pada intinya mencakup suatu pertimbangan untuk merancang produk undang-undang (Geiringer et. al, 2011: 21-23). Dalam hal ini, pembentuk undang-undang harus mampu membuktikan bahwa terdapat suatu urgensi yang mendesak untuk membentuk undang-undang tersebut dengan pendekatan fast-track legislation (Geiringer et. al, 2011: 24). Namun, berbeda dengan konsep umum fast-track legislation yang hendak memperpendek jangka waktu pembentukan undang-undang, prinsip fast-track legislation di negara ini justru lebih berupaya memadatkan materi rancangan undang-undang tersebut (Geiringer et. al, 2011: 1).
Di sisi lain, baik Prancis maupun Ekuador cenderung memahami bahwa dasar pertimbangan prinsip fast-track legislation justru harus didasarkan pada secara filosofis pada konstitusi. Pada konstitusi Prancis, mekanisme fast-track legislation sejatinya menjadi bentuk pemberian wewenang kepada pemerintah agar mampu bertindak secara fleksibel ketika menghadapi krisis stabilitas, terutama terkait dengan suasana hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif (Ibnu, 2021: 132-133). Sementara dalam konstitusi Ekuador, pemberlakuan pembentukan undang-undang secara fast-track legislation sejatinya cenderung dibatasi hanya terkait dengan situasi/keadaan mendesak yang timbul akibat gejolak ekonomi nasional (Ibnu, 2021: 133).
Pandemi COVID-19 sebagai Salah Satu Kondisi yang Memungkinkan Pemberlakuan Mekanisme Fast-Track Legislation
Dalam rangka menentukan apakah situasi pandemi COVID-19 dapat digolongkan sebagai suatu kondisi mendesak/darurat yang mendasari pemberlakuan fast-track legislation dalam sistem pembentukan undang-undang di Indonesia, perlu dipahami bahwa ketentuan Pasal 23 UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sejatinya telah mengamini suatu konsep pembentukan undang-undang yang hampir serupa dengan semangat fast-track legislation. Pada ketentuan undang-undang tersebut, dimungkinkan agar suatu rancangan undang-undang dapat masuk ke dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) dalam waktu seketika, yaitu apabila terdapat keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam, serta keadaan tertentu lain yang memerlukan urgensi nasional. Namun, konsep pengaturan pasal ini sebenarnya hanya berupaya memastikan bahwa suatu rancangan undang-undang dapat dimasukkan ke dalam Prolegnas secara seketika apabila terdapat kondisi-kondisi tertentu, tetapi tahapan pembentukan undang-undangnya sendiri tetalh berlangsung secara normal.
Dengan berdasar pada pemahaman/penafsiran pengimplementasian konsep fast-track legislation yang berjalan dan berlaku di beberapa negara sebagaimana telah dianalisis sebelumnya, maka dapat dipahami bahwa keberlangsungan pandemi COVID-19 sejatinya dimungkinkan untuk tergolong sebagai kondisi yang mendasari diberlakukannya prinsip pembentukan undang-undang secara kilat, yaitu dalam hal kaitannya dengan eksistensi kekosongan hukum yang acapkali terjadi, seperti misalnya pengaturan mengenai pembatasan aktivitas masyarakat di luar rumah, pemfokusan APBN untuk menangani COVID-19, penyaluran bantuan sosial bagi para pelaku usaha yang terdampak pandemi COVID-19, kewajiban mengikuti program vaksinasi sebagai syarat dalam bepergian, dan serangkaian perkembangan/perubahan kehidupan masyarakat lain yang semata-mata terjadi oleh karena penyebaran virus ini. Secara lebih lanjut, tingkat kedaruratan pandemi COVID-19 sebagai suatu keadaan luar biasa yang memerlukan urgensi penanganan berskala nasional dapat dilihat pada eksistensi Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran COVID-19 sebagai Bencana Nasional.
Maka dari itu, dapat dipahami bahwa pengimplementasian konsep fast-track legislation sejatinya memungkinkan pembentukan undang-undang dalam waktu singkat yang tetap mempertahankan kualitas proses deliberasi secara cukup di dalamnya (Bayu et. al, 188: 2021). Dengan melembagakan konsep ini ke dalam UU Pembentukan Undang-Undangan, maka kesewenang-wenangan pembuat undang-undang ketika hendak membentuk undang-undang dalam waktu singkat dapat diminimalisir/dicegah, mengingat syarat penerapannya telah dibatasi serta digariskan secara jelas dan rigid dalam suatu ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yobel Manuel Oktapianus Rajagukguk (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia)
Penulis
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu
Dea Aura Aprilia