Belakangan ini sering terjadi manuver politik. Rakyat seakan disuapi pemberitaan ramai dari aktor elite politik Indonesia. Pimpinan partai politik beberapa pekan terakhir sibuk bergerak. Mulai dari silaturahmi, membentuk koalisi, bahkan sampai saling sindir antar pengurus partai. Partai Nasdem banyak mendapat kunjungan dari partai politik, seperti Partai Golkar, Partai Gerindra, PKS, sampai Partai Demokrat. Begitu pun PKB dan Partai Demokrat bertamu ke Partai Gerindra. Sebelumnya, telah terbentuk Koalisi Indonesia Bersatu yang diinisiasi oleh tiga partai politik, yaitu Partai Golkar, PAN, dan PPP. Langkah tersebut menjadi perbincangan rakyat golongan atas, menengah sampai bawah. Obrolan di warung kopi, terminal, dan pasar tidak lepas dari peristiwa tersebut. Menariknya, media dan pengamat politik ikut pula meramaikan dengan berbagai pemberitaan dan aneka tafsir. Kondisi ini semakin melengkapi hidangan politik yang disajikan bagi masyarakat. Pertanyaannya, apa yang melatarbelakangi tindakan politik itu? Adanya ambang batas pencalonan Presiden atau presidential threshold. Mengapa presidential threshold? Kunjungan antar elite partai politik dan pembentukan koalisi bagian dari strategi menuju Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2024. Sangat aneh jika pertemuan antar partai politik itu hanya membahas seputaran Pemilihan Legislatif (Pileg). Mengingat pada Pileg, antar partai justru saling berkompetisi beradu rencana. Kuat dugaan untuk menyongsong Pilpres karena banyak partai politik yang terhalang presidential threshold. Ketentuan presidential threshold saat ini masih konstitusional. Menurut Mahkamah Konstitusi dalam putusannya mengemukakan bahwa presidential threshold sebagai open legal policy atau kebijakan hukum terbuka dari pembentuk undang-undang. Artinya ada atau tidaknya presidential threshold, dan berapa jumlah presidential threshold, diserahkan kepada pembentuk undang-undang, yaitu Pemerintah dan DPR.
Presidential threshold secara normatif ditentukan oleh pembentuk undang-undang untuk menerjemahkan sekaligus melaksanakan konstitusi UUD NRI Tahun 1945 Pasal 6A ayat (2) yang menyatakan bahwa “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Ketentuan tersebut tercermin pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), yaitu “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”. Pasal 222 ini sebagai presidential threshold. Artinya hanya partai politik atau gabungan partai politik yang mempunyai suara 20% di DPR yang dapat mencalonkan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Walaupun ada opsi 25% suara sah secara nasional. Tapi opsi tersebut cukup berat dan rumit untuk dilaksanakan. Opsi paling realistis menggunakan jumlah kursi yang ada di DPR.
Jika melihat keadaan sekarang dengan jumlah 575 kursi anggota DPR. Hanya PDI Perjuangan yang dapat melawati presidential threshold secara mandiri untuk mengusung Calon Presiden dan Wakil Presiden. Tidak heran jika kemudian PDI Perjuangan tidak ikut-ikutan untuk saling berkunjung atau membentuk koalisi. Jumlah kursi PDI Perjuangan di DPR sebanyak 128 (22,26%). Urutan kedua ada Partai Golkar jumlah kursi 85 (14,78%). Urutan ketiga Partai Gerindra 78 kursi (13,56%), disusul Partai Nasdem sebanyak 59 kursi (10,26%), PKB sejumlah 58 kursi (10,08%). Partai Demokrat memperoleh 54 kursi (9,39%) dan PKS 50 kursi (8,69%). PAN mempunyai 44 kursi (7.65%) serta PPP sejumlah 19 kursi (3,30%). Peta persentase jumlah kursi di DPR tersebut membuat mayoritas partai politik harus melakukan koalisi atau bergabung agar dapat mengusung pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden pilihan mereka. Bandingkan jika tidak ada presidential threshold. Para ketua umum partai politik tidak akan sesibuk itu. Seluruh partai politik berhak mengusung pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Apakah mereka terjebak oleh presidential threshold? Mengingat penyusun pengaturan presidential threshold salah satunya DPR, dan anggota DPR juga anggota partai politik. Mahfud MD dalam buku Politik Hukum di Indonesia (2012) mengemukakan relasi antara hukum dan politik. Ada setidaknya tiga relasi yang terjadi. Pertama, politik determinan terhadap hukum. Maksudnya pembentukan hukum kerap dipengaruhi politik yang ada. Aktor-aktor politik dapat ikut mempengaruhi produk hukum. Kedua, hukum determinan terhadap proses politik. Artinya hukum menentukan terjadinya proses politik. Ketiga, politik dan hukum interdeterminan atau saling menentukan. Politik menentukan dan mempengaruhi produk hukum. Hukum juga menentukan dan mempengaruhi proses politik. Ini merupakan hubungan yang interdeterminan (Mahfud MD, 2012).
Mengamati Indonesia kini, tampak politik dan hukum interdeterminan. Penentuan dan pengaturan adanya presidential threshold akibat pengaruh politik terhadap hukum. Aktor politik di DPR salah satu pembentuk hukum (undang-undang) menginginkan adanya presidential threshold. Inilah politik berpengaruh terhadap produk hukum. Namun kesibukan para pemimpin partai politik akhir-akhir ini akibat hukum yang mempengaruhi politik. Presidential threshold telah menjadi hukum harus dipatuhi dan dilaksanakan. Proses politik harus mengikuti aturan presidential threshold. Itu sudah konsekuensi wajib diikuti aktor politik. Masalah mereka terjebak atau tidak pada presidential threshold. Hanya mereka yang tahu. Mengingatkan kalimat “belum tentu apa yang menurut kita baik, baik bagi kita”.
Ayon Diniyanto, S.H., M.H. (Dosen Hukum Tata Negara IAIN Pekalongan)
Penulis
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu
Dea Aura Aprilia