Mahkamah Konstitusi akhirnya memutus permohonan judicial review terhadap UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi memutuskan mengabulkan sebagian pengujian formil UU Ciptaker. Dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Cipta Kerja dinilai cacat formil dan inkonstitusional bersyarat dengan menentukan beberapa implikasi atas berlakunya UU tersebut. Uraian singkat berikut memberikan analisis singkat dampak/hasil putusan tersebut yang dilihat dari perspektif konstitusi dan kekuasaan kehakiman.
Menegaskan Pengujian Formil Undang-Undang Menjadi Salah Satu Kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai The Guardian of Constitution.
Seperti yang telah diketahui bersama, kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, antara lain mengadil pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum.
Dalam melaksanakan kewenangan pengujian undang-undang Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan pengujian formil dan Materiil. Terhadap kewenangan Mahkamah melakukan Pengujian Formil Undang-undang diatur dalam Pasal 51A ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan:
“dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian formil, pemeriksaan dan putusan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi di dasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan”.
Kemudian mengenai apa saja yang menjadi tolok ukur pengujian formil, MK dalam putusan terdahulu yaitu Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009, Paragraf [3.19], halaman 82-83, yang menyatakan:
“[3.19] Menimbang bahwa oleh karenanya sudah sejak Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, Mahkamah berpendapat Peraturan Tata Tertib DPR RI Nomor 08/DPR RI/I/2005.2006 (yang selanjutnya disebut Tatib DPR) adalah merupakan bagian yang sangat penting dalam perkara a quo untuk melakukan pengujian formil UU 3/2009 terhadap UUD 1945, karena hanya dengan berdasarkan Peraturan Tata Tertib DPR tersebut dapat ditentukan apakah DPR telah memberikan persetujuan terhadap RUU yang dibahasnya sebagai syarat pembentukan Undang-Undang yang diharuskan oleh UUD 1945”.
Sehingga memberikan jawaban bahwa menurut Mahkamah jika tolok ukur pengujian formil harus selalu berdasarkan pasal-pasal UUD 1945 saja, maka hampir dapat dipastikan tidak akan pernah ada pengujian formil karena UUD 1945 hanya memuat hal-hal prinsip dan tidak mengatur secara jelas aspek formil-proseduralnya. Oleh sebab itu, sepanjang Undang-Undang, tata tertib produk lembaga negara, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme atau formil-prosedural itu mengalir dari delegasi kewenangan menurut konstitusi, maka peraturan perundang-undangan itu dapat dipergunakan atau dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji dalam pengujian formil. Terkait alasan pengujian formil UU, utamanya berkaitan dengan bagaimana proses pembentukan UU a quo dengan pengaturan dalam Pasal 20 ayat (4) dan Pasal 22A UUD 1945 serta UU terkait pembentukan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini secara ius constitutum nya adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan beserta perubahan-perubahannya.
Mengenai siapa saja yang dapat menjadi Pemohon dalam perkara pengujian formil, terjadi sedikit perbedaan dengan Pemohon dalam perkara pengujian materiil. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 bertanggal 16 Juni 2010 pada halaman 68, berkaitan dengan kedudukan hukum, Mahkamah berpendapat: “bahwa untuk membatasi agar supaya tidak setiap anggota masyarakat secara serta merta dapat melakukan permohonan uji formil di satu pihak serta tidak diterapkannya persyaratan legal standing untuk pengujian materiil di pihak lain, perlu untuk ditetapkan syarat legal standing dalam pengujian formil Undang-Undang, yaitu bahwa Pemohon mempunyai hubungan pertautan yang langsung dengan Undang-Undang yang dimohonkan. Adapun syarat adanya hubungan pertautan yang langsung dalam pengujian formil tidaklah sampai sekuat dengan syarat adanya kepentingan dalam pengujian materiil sebagaimana telah diterapkan oleh Mahkamah sampai saat ini, karena akan menyebabkan sama sekali tertutup kemungkinannya bagi anggota masyarakat atau subjek hukum yang disebut dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK untuk mengajukan pengujian secara formil. Dalam kasus konkrit yang diajukan oleh para Pemohon perlu dinilai apakah ada hubungan pertautan yang langsung antara para Pemohon dengan Undang-Undang yang diajukan pengujian formil.”
Selain itu, telah ada kriteria standar penilaian pengujian formil yang tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019, yaitu:
1. pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan undang-undang, baik dalam pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan atas rancangan suatu undang-undang menjadi undang-undang;
2. pengujian atas bentuk (format) atau sistematika undang-undang;
3. pengujian berkenaan dengan wewenang lembaga yang mengambil keputusan dalam proses pembentukan undang-undang; dan
4. pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.
Uraian diatas menunjukkan bahwa dikabulkannya meskipun sebagian pengujian formil perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Formil UU Cipta Kerja menjadi momentum awal berhasilnya uji formil UU, yang akan memberikan hak konstitusi kepada warga negara untuk dapat mengawal dan mengawasi kinerja anggota legislatif dalam merancang suatu UU yang pro-rakyat.
Pengaturan Pembentukan Undang-Undang yang Terdapat Dalam UUD 1945 Masih Bersifat General
Bahwa setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD 1945), secara konstitusional, proses pembentukan undang-undang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945. Selain itu, pembentukan undang-undang yang berkaitan dengan wewenang Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diatur dalam Pasal 22D UUD 1945. Sementara itu, berkenaan dengan pengaturan lebih rendah (delegasi), hal demikian ditentukan dalam norma Pasal 22A UUD 1945. pembentukan undang-undang adalah merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara berkesinambungan yang terdiri dari 5 (lima) tahapan, yaitu: (i) pengajuan rancangan undang-undang; (ii) pembahasan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD 1945; (iii) persetujuan bersama antara DPR dan presiden; (iv) pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-undang; dan (v) pengundangan. Hal ini menunjukkan bahwa pengaturan lebih lanjut secara rinci mengenai mekanisme pembuatan UU didelegasikan kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah kedudukannya daripada Konstitusi, yakni Undang-Undang yang dalam masa sekarang ada dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan beserta perubahan-perubahannya. Fungsi konstitusi salah satunya sebagai fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara, dalam hal ini dapat diwujudkan melalui adanya undang-undang sebab Indonesia adalah negara hukum (Asshiddiqie, 2002). Mahkamah menilai bahwasannya UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan saat ini tidak menyinggung mengenai pembentukan perundang-undangan dengan metode omnibus law. Menurut Penulis, perlu adanya pengaturan yang lebih memberi garis besar terkait proses pembentukan undang-undang pada level konstitusi sehingga hal ini dapat menjadi satu usulan bahasan perubahan pada amandemen kelima UUD 1945 kelak, agar rezim pembentukan perundang-undangan tidak bersifat lentur mengikuti kepentingan Penguasa.
Adanya Independensi Hakim Konstitusi dalam Ranah Kekuasaan Kehakiman
Independensi adalah suatu hal yang wajib dan menjadi keharusan dalam sebuah kekuasaan kehakiman. Independensi kekuasaan kehakiman juga merupakan salah satu prinsip dasar dalam negara hukum baik Rule of Law maupun Rechtstaat. Menurut Muhammad Ridha Hakim (2018), Independensi kekuasaan kehakiman yang mengemuka dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang merupakan perwujudan dari Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar meliputi: 1) setiap orang hakim memiliki kedudukan yang sama dalam sebuah majelis pada saat memutus sebuah perkara yang dihadapkan padanya sehingga tidak terpengaruh oleh jabatan struktural; 2) diterapkannya periodisasi masa jabatan yang lebih pendek dikhawatirkan akan mengganggu independensi & konsistensi hakim sehingga sebaiknya hanya satu periode dengan jangka waktu lebih lama; 3) kekuasaan kehakiman harus diminimalisir dari pengaruh kekuatan politik seperti dalam proses seleksi hakim agung yang tidak lagi memberi peluang bagi DPR untuk memilih orang namun hanya melakukan uji kelayakan; 4) independensi kekuasaan kehakiman harus terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya baik dari paksaan, intervensi, maupun intimidasi dari pihak ekstra-yudisial; 5) independensi kekuasaan kehakiman tercermin dari ketidaktergantungan pada lembaga lain dalam bidang tertentu; dan 6) independensi hakim bukan merupakan privilege hakim melainkan merupakan hak yang melekat pada hakim dalam rangka menjamin pemenuhan hak asasi dari warga negara untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak berpihak (fair trial).
Dari pertimbangan hakim yang diputuskan, tidak semua pandangan DPR dan Pemerintah di terima. Hal ini menandakan adanya independensi Hakim Konstitusi. Dengan demikian Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi juga tidak perlu mengikuti pandangan DPR-Pemerintah untuk menilai secara objektif permasalahan yang ada pada proses pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja, sekalipun kita semua sama-sama mengetahui bahwa secara ketatanegaraan terdapat Hakim Konstitusi yang dipilih oleh lembaga tersebut.
Independensi hakim konstitusi juga terlihat dari adanya dissenting opinion diantara para Hakim Konstitusi dalam memutus perkara a quo. Diantara 5 (lima) Hakim Konstitusi menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, terdapat 4 (empat) Hakim yang memiliki pendapat berbeda, yaitu Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, yang pada intinya menyatakan bahwa Undang-Undang a quo adalah konstitusional sebab merupakan terobosan hukum meskipun belum diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Lefri Mikhael (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret)
Penulis
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu
Dea Aura Aprilia