Netralitas Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut sebagai ASN) merupakan salah satu isu krusial dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (selanjutnya disebut Pemilu). Dalam upaya menjaga netralitas ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN, serta dapat memusatkan segala perhatian, pikiran dan tenaga pada tugas yang dibebankan, ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik, serta mencalonkan diri dengan syarat yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
ASN merupakan bagian dari Warga Negara Indonesia (selanjutnya disingkat WNI). Hal ini kemudian diatur dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut UU ASN) yang mengisyaratkan bahwa Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja merupakan seorang Warga Negara Indonesia. Kedudukan ASN sebagai WNI memiliki konsekuensi, bahwa ASN juga memiliki hak-hak konstitusional yang dilindungi oleh UUD 1945. Hak yang dimaksud adalah hak berpolitik, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 28E ayat (3) UUD RI 1945 bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Keterlibatan netralitas ASN dalam Pemilu, telah diatur di dalam UU-ASN. Pasal 2 Huruf f menyebutkan bahwa “penyelenggaraan kebijaksanaan dan manajemen ASN berdasarkan pada asas netralitas”. Asas netralitas yang dimaksud adalah bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh mana pun dan tidak memihak kepada kepentingan siapa pun. Netralitas ASN berkaitan dengan hak politik. Hak politik dalam tataran teori merupakan hak yang dimiliki oleh setiap orang secara legal untuk meraih kekuasaan, kedudukan dan/atau kekayaan yang bermanfaat bagi seorang warga negara. Salah satu bentuk dari hak politik yang diatur oleh UUD RI 1945 adalah hak untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu dan Pilkada sebagaimana telah dijelaskan di dalam Pasal 28D ayat (3) UUD RI 1945.
Hak memilih dan dipilih dalam Pemilu sebagai bagian hak politik yang diakui oleh UUD RI 1945, yang secara tataran internasional terdapat di dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (yang selanjutnya disebut DUHAM). Hal ini kemudian terdapat di dalam Pasal 21 ayat (1), (2), dan (3). Konsep hak politik untuk memilih dan dipilih dalam pemilu menurut DUHAM merupakan bentuk dari HAM untuk menduduki jabatan publik yang menunjukkan telah tercapainya suatu kebebasan bagi rakyat di suatu negara untuk mengimplementasikan hak politik dan sipil yang dimilikinya.
Hak-hak yang dijelaskan di Pasal 1 ayat (1), kemudian diperjelas di Pasal 21 “Hak untuk berkumpul secara damai harus diakui. Tidak ada pembatasan yang dapat dikenakan terhadap pelaksanaan hak ini kecuali yang ditentukan sesuai dengan hukum, dan yang diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan politik publik, atau ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan atau moral masyarakat, atau perlindungan atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain”.
UUD RI 1945 mengatur mengenai kelompok hak yang dapat dibatasi penerapannya dalam Pasal 28I ayat (1), hak tersebut antara lain “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.
Sedangkan dalam hal pengimplementasian hak-hak warga negara yang ada, UUD RI 1945 memberikan amanat sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keagamaan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Hak seorang ASN untuk memilih dan dipilih, sebagaimana telah diatur di dalam UU ASN, yang mana di dalam UU ASN terdapat sistem pengawasan, yang mana sistem tersebut sangat dibutuhkan untuk memastikan ASN dalam melaksanakan tugasnya mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku, guna menciptakan birokrasi yang profesional dan akuntabel. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya mewujudkan good governance dan reformasi birokrasi. Melalui upaya tersebut, maka dibentuklah sebuah lembaga non-struktural, yaitu adanya Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Mengacu Pasal 27 UU ASN disebutkan bahwa “KASN merupakan lembaga non struktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik untuk menciptakan pegawai ASN yang profesional dan berkinerja, memberikan pelayanan secara adil dan netral, serta menjadi perekat dan pemersatu bangsa”. Salah satu tujuan dari dibentuknya KASN berdasarkan Pasal 28 huruf d UU ASN adalah mewujudkan pegawai ASN yang netral. Tumpuan terbesar bagi KASN salah satunya bertugas menjaga harkat, martabat dan marwah ASN untuk selalu berlaku netral untuk kepentingan negara
Bagaimana Pengaturan Netralitas Aparatur Sipil Negara dalam Pemilihan Umum ditinjau dari Peraturan Perundang-Undangan.
Persoalan netralitas ASN selalu menjadi persoalan krusial di setiap momentum Pemilu. Sebagai kebijakan yang mengatur netralitas politik ASN, salah satu bentuk kebijakan netralitas politik ASN yang dimaksud, telah tertuang dengan dikeluarkannya dalam beberapa peraturan, hal ini kemudian dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 3.1
Regulasi Netralitas Aparatur Sipil Negara Dalam Pemilu
|
Undang-Undang
|
Pasal Yang Mengatur
|
|
Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN)
|
Pasal 2 huruf f, menyatakan bahwa salah satu asas penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN adalah “Netralitas”. Asas Netralitas ini berarti bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh mana pun dan tidak memihak kepada kepentingan siapa pun. Pasal 119, menyatakan bahwa pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon. Pasal 123 ayat (3), menyatakan bahwa Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon. |
|
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang. |
Pasal 70 ayat (1) huruf b; menyatakat bahwa pasangan calon dilarang melibatkan Aparatur Sipil Negara, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Anggota Tentara Nasional Indonesia. Pasal 71 ayat 1, menyatakan bahwa pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. |
|
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum |
Pasal 240 ayat (1) huruf k, menyatakan bahwa mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali; |
|
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 Tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil |
Pasal 11 huruf c menyatakan bahwa dalam hal etika terhadap diri sendiri PNS wajib menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok ataupun golongan. |
|
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil |
Pasal 4 Ayat (12) menyatakan bahwa PNS dilarang memberikan dukungan dengan cara ikut sebagai pelaksana kampanye untuk calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. |
|
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil |
Pasal 254 ayat (1) PNS wajib mengundurkan diri sebagai PNS pada saat ditetapkan sebagai calon Presiden dan Wakil presiden, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Gubernur dan Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota oleh lembaga yang bertugas melaksanakan pemilihan umum |
Sumber: Analisis Penulis
Dengan penjelasan di atas, maka poin yang dapat diberikan, terkait netralitas ASN dalam Pemilu adalah ASN harus bersikap netral, yakni terhadap keikutsertaan dalam pemilu, baik dalam hak memilih dan hak dipilih, maka ASN harus mengundurkan diri terlebih dahulu sebelum mencalonkan diri dalam pemilihan. ASN tidak ikut serta dalam kampanye terhadap salah satu pasangan calon dan ASN dilarang melakukan pendekatan terhadap partai politik.
Permasalahan netralitas ASN adalah salah satu isu hukum yang bersinggungan dengan esensi dari kebebasan berserikat, hal ini diatur dalam UUD RI 1945. Maka DPR bersama pemerintah dengan kewenangannya masing-masing membuat suatu batasan untuk aktivitas ASN, yaitu pembatasan aktivitas ASN atau netralitas. Adanya hal ini bertujuan untuk memberikan bentuk kepastian hukum, kedayagunaan dan keadilan guna membatasi kekuasaan terhadap kemungkinan geraknya kekuasaan yang didasari oleh kepentingan pribadi dan berujung abuse of power.
Salah satu persoalan besar bangsa ini dalam kehidupan bernegara adalah persoalan netralitas pegawai negeri, karena secara teoretis sulit ditemukan landasan yang dapat memberikan alasan pembenar bagi dimungkinkannya pegawai negeri untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik praktis. Untuk mengoptimalisasi pelayanan publik guna mewujudkan good governance adalah dengan memaksimalkan dan mengoptimalkan kinerja ASN, hal ini termasuk sebagai unsur pelaksana yang menjadi bagian terpenting dan tak terpisahkan dari UU ASN.
Pada bagian diktum UU ASN dinyatakan perlu dibangun ASN yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD-RI 1945.
Abdhy Walid Siagian (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas)
Penulis
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu
Dea Aura Aprilia