Isu pengisian pejabat kepala daerah menjadi krusial menjelang tahun politik. Mengingat agenda pemilihan kepala daerah dan wakilnya (pilkada) serentak seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan bulan November tahun 2024 menurut ketentuan peralihan Pasal 201 ayat (8) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang dan ditegaskan kembali sebagai hasil rapat kerja dan dengar pendapat antara Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tanggal 13 April 2022, memutuskan hari pemungutan suara pilkada serentak nasional akan digelar Rabu, 27 November 2024.
Masa transisi menuju pilkada serentak nasional tahun 2024 memberikan konsekuensi logis penundaan pilkada sejumlah daerah tahun 2022. Berdasarkan siklus periodesasi kepemimpinan kepala daerah, tercatat 101 kepala daerah mengakhiri masa jabatannya pada tahun 2022, meliputi 7 kepala daerah tingkat provinsi, 76 kepala daerah tingkat kabupaten dan 18 kepala daerah tingkat kota. Menghindari kekosongan kepemimpinan kepala daerah definitif, akan diisi pejabat transisi demi penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Secara yuridis, kekosongan jabatan kepala daerah diatur Pasal 201 ayat (9) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, menyatakan bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang berakhir masa jabatannya tahun 2022, diangkat pejabat kepala daerah sampai dengan terpilihnya kepala daerah melalui pilkada serentak nasional tahun 2024. Undang-Undang ini juga membatasi masa jabatan pejabat kepala daerah hanya untuk masa jabatan 1 (satu) tahun dan diperpanjang 1 (satu) tahun berikutnya dengan orang yang sama atau berbeda. Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, mengatur pejabat yang dapat mengisi kekosongan jabatan gubernur, akan diangkat pejabat yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya, sedangkan untuk mengisi jabatan bupati/walikota, diangkat pejabat yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama.
Penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf b dan huruf c UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, menyebutkan jabatan pimpinan tinggi madya, meliputi sekretaris jenderal kementerian, sekretaris kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga nonstruktural, direktur jenderal, deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri, kepala sekretariat presiden, kepala sekretariat wakil presiden, sekretaris militer presiden, kepala sekretariat dewan pertimbangan presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara. Sedangkan jabatan pimpinan tinggi pratama, meliputi direktur, kepala biro, asisten deputi, sekretaris direktorat jenderal, sekretaris inspektorat jenderal, sekretaris kepala badan, kepala pusat, inspektur, kepala balai besar, asisten sekretariat daerah provinsi, sekretaris daerah kabupaten/kota, kepala dinas/kepala badan provinsi, sekretaris dewan perwakilan rakyat daerah, dan jabatan lain yang setara.
Pasal 78 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf a Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tidak mengatur secara khusus teknis penunjukan pejabat maupun pengisian penggantian kepala daerah definitif. Selama ini pengisian pejabat kepala daerah hanya menggunakan ketentuan Pasal 86 ayat (2), itupun untuk pengisian pejabat gubernur, di mana presiden menetapkan pejabat gubernur atas usul menteri, ayat (3) untuk pengisian pejabat bupati/walikota, menteri menetapkan pejabat bupati/walikota atas usul gubernur. Hal ini sama dengan ketentuan Pasal 130 PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, Dan Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah. Undang-Undang dan peraturan pemerintah tersebut mengatur pengisian pejabat gubenur/bupati/walikota yang diberhentikan sementara, bukan diberhentikan karena selesai masa jabatannya.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah menetapkan beberapa substansi penting, antara lain putusan MK No. 67/PUU- XIX/2021: Pertama, MK menegaskan bahwa proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah secara demokratis sesuai Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Pemerintah perlu menetapkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, sehingga terakomodir mekanisme pemilihan terbuka, transparan, profesional, sinergi, inovatif dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas sesuai aspirasi daerah. Selama ini pengisian pejabat hanya mencakup lingkup pemerintah, tanpa pelibatan partisipasi masyarakat daerah secara langsung. Kedua, menurut MK, peran sentral kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan mempertimbangkan masa jabatan, perlu pemberian kewenangan pejabat kepala daerah masa transisi menuju pilkada serentak secara nasional yang sama dengan kepala daerah definitif demi akselerasi perkembangan pembangunan daerah.
Jika pejabat kepala daerah transisi diberikan kewenangan yang sama dengan kepala daerah definitif, sebaiknya dikaji kembali. Mengingat kepala daerah definitif dan pejabat kepala daerah transisi sebagai hasil yang berbeda, kepala daerah definitif dari proses politik melalui pemilihan langsung oleh rakyat, sedangkan pejabat kepala daerah transisi dari aparatur sipil negara yang diangkat atau diusulkan oleh kekuasaan eksekutif.
Putusan MK No. 15/PUU-XX/2022 menyatakan prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari keprajuritan. Sedangkan anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) boleh menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Menurut MK, UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara membuka peluang pengisian jabatan pimpinan tinggi madya maupun pimpinan tinggi pratama di instansi pemerintah pusat dan daerah, dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan, melalui proses terbuka dan kompetitif.
Secara yuridis, TNI dan Polri yang menduduki jabatan pimpinan tinggi madya dan pimpinan tinggi pratama serta tidak aktif dalam kedinasan memiliki landasan konstitusional untuk diangkat menjadi pejabat kepala daerah dan diperkuat dengan putusan MK, tetapi perlu difokuskan lagi proses pengisian untuk menduduki jabatan tersebut.
Polemik pengisian pejabat kepala daerah butuh tindakan pemerintah menindaklanjuti putusan MK melalui penetapan regulasi teknis pengisian pejabat kepala daerah tahun 2022 dan 2023 guna menghindari konflik kepentingan.
M. Rezky Habibi R, S.H., M.H (Alumni Fakultas Hukum, Universitas Lambung Mangkurat)
Penulis
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu
Dea Aura Aprilia