Mahkamah Konstitusi telah membacakan putusan atas pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dengan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang diajukan oleh enam Pemohon. Adapun menurut pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK), yakni permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima, sedangkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI dikabulkan untuk sebagian. Setidaknya ada 11 (sebelas) permohonan pengujian UU Cipta Kerja yang telah dibacakan oleh MK pada hari yang sama baik pengujian formil maupun materil. Dari kesebelas perkara tersebut yang pertama kali diputus oleh MK adalah putusan perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Di dalam putusannya, Hakim MK yaitu Aswanto, Wahiduddin Adams, Hakim Suhartoyo, Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih mengabulkan pengujian formil terhadap UU Cipta Kerja dengan menyatakan bahwa UU Cipta Kerja bersifat inkonstitusional dan memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen. Sebagaimana putusan yang diambil oleh MK secara bulat, ada pendapat berbeda (dissenting opinion) yang diajukan oleh empat dari 9 (sembilan) orang Hakim Konstitusi yaitu Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Anwar Usman, Manahan M.P. Sitompul, dan Daniel Yusmic P. Foekh. Keempat hakim konstitusi tersebut pada intinya berpendapat bahwa UU Cipta Kerja konstitusional dan menolak pengujian formil yang dilakukan oleh pemohon. Dalam pendapatnya, Arief Hidayat dan Anwar Usman menilai praktik omnibus law yang menjadi hukum kebiasaan di sistem common law. Metode tersebut dipandang baik untuk diterapkan dalam sistem hukum di Indonesia sebagai upaya penyederhanaan dan keterpaduan undang-undang yang saling berkaitan. Pendekatan omnibus law juga diharapkan bisa mengatasi permasalahan hyper regulation peraturan perundang-undangan yang mengatur hal yang sama dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih dan memberikan ketidakpastian hukum. Pendekatan hukum yang bersifat positif legalistik dan linier sangat sulit dan selalu tertinggal untuk menjawab persoalan hukum yang berkembang didalam masyarakat yang sedang berubah. Oleh karena itu pendekatan hukum sebagaimana diutarakan oleh Satjipto Rahardjo dengan menggunakan pendekatan baru yang bersifat out of the box sangat relevan digunakan dalam rangka mengantisipasi perubahan-perubahan. Pendekatan hukum progresif mengandung semangat melepaskan dari tradisi berhukum yang konvensional (Putusan MK, 2020). Daniel dan Manahan dalam pendapatnya menilai ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) tidak secara eksplisit menyebutkan metode tertentu yang harus digunakan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Menurut Daniel sepanjang sejarah berdirinya Mahkamah, belum terdapat adanya penilaian yuridis terkait metode apa yang baku dan bersesuaian dengan UUD 1945. Sehingga jika dinilai penyusunan peraturan perundang-undangan yang menggunakan metode omnibus law penyusunannya pada sistem hukum nasional lebih efektif dan efisien maka diperbolehkan. Oleh karena itu, UU Cipta Kerja bersifat konstitusional karena UU PPP tidak mengatur metode omnibus law. Pada dasarnya UU Cipta Kerja memang didesain untuk memiliki kerangka teori pada Doktrin Hukum dan Pembangunan. Dikarenakan terjadi fenomena peneguhan hukum untuk akumulasi kapital, UU Cipta Kerja mengusung Law and Development Doctrine sebagai paradigmanya. Hal ini, sebagai subset dari Teori Modernisasi. Secara sederhana, sebagaimana diungkapkan oleh Talcott Parsons, teori ini percaya bahwa ketertinggalan negara-negara berkembang disebabkan oleh fitur-fitur hukum dan kelembagaan yang masih tradisional. Untuk itu dibutuhkan transplantasi maupun duplikasi fitur-fitur moderen, termasuk substansi dan institusi hukum (Agung Wardana, 2020). Apabila ditelisik lebih mendalam dari Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 merupakan sikap untuk mencari jalan tengah disebabkan adanya 5 (lima) hakim MK yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional dan 4 (empat) hakim yang lain melakukan (dissenting opinion) dengan menyatakan bahwa UU Cipta Kerja adalah konstitusional. Sebenarnya apa yang dilakukan oleh MK dengan membuat putusan tersebut dilandasi dengan sikap menahan diri (judicial restraint). Sikap menahan diri di sini yaitu strategi yang diterapkan oleh MK untuk mengurangi ketegangan politik dengan lembaga negara lain adalah dengan menunda keberlakuan putusan. Sifat putusan peradilan yang berlaku secara umum adalah bahwa putusan memiliki kekuatan hukum mengikat setelah dibacakan dalam sidang terbuka. Akan tetapi, MK melakukan penyimpangan atas asas umum ini dengan menunda berlakunya putusan demi memberi waktu bagi parlemen untuk mengubah kebijakannya. Strategi mengambil jarak dengan menahan diri dan memberi ruang gerak kepada pembentuk undangh-undang merupakan upaya untuk mengurangi ketegangan politik antar lembaga negara. Sikap menahan diri adalah terjemahan bebas dari (judicial self restraint). Tidak ada padanan istilah dalam bahasa Indonesia yang menjelaskan konsep yang sama. Dalam kajian literatur, istilah judicial restraint bermula dari artikel yang ditulis oleh James Thayer di tahun 1983 yang mengungkapkan pentingnya judicial restraint demi tercapainya administrasi pemerintahan yang mandiri (James B. Thayer, 1983 : 129-159). Setelah itu, konsep judicial restraint dipadankan dengan beragam istilah oleh beragam ilmuwan hukum dan politik yang memiliki makna yang tidak jauh berbeda. Alexander Bickel memperkenalkan istilah passive virtues ketika melihat lembaga peradilan menghindari untuk melampaui kewenangannya dalam menguji suatu kebijakan (Alexander M. Bickel, 1962:488). Selain itu, banyak kajian yang ditulis dengan maksud agar lembaga peradilan mengambil sikap menahan diri dan tidak mengambil sikap berhadap-hadapan (vis a vis) dengan lembaga negara lain dalam melakukan pengujian suatu UU atau ketika menafsirkan arti konstitusi. Secara umum, istilah judicial restraint sendiri sulit untuk diberikan batasan yang tegas karena mengandung makna yang luas. Richard A. Posner mengasosiasikannya dengan bunglon/chameleon (Richard A. Posner, 2012 : 521). Istilah ini dapat digunakan pada konteks yang berbeda. Lebih lanjut, Posner mengkaji secara dalam istilah judicial self restraint dan melakukan pengelompokkan atas kajian-kajian yang telah dilakukan dalam tiga kategori, yaitu: (1) Legalism, (2) Modesty, dan (3) Constitutional Restraint. Yang dimaksud dengan legalism adalah aliran yang secara tegas memisahkan bahwa kewenangan hakim adalah menerapkan hukum, hakim tidak membuat hukum (judges apply law, they don’t make it). Modesty adalah aliran yang menandaskan bahwa pada batas-batas tertentu, hakim harus menghormati keputusan yang diambil oleh lembaga negara lain. Sedangkan constitutional restraint adalah aliran yang mengharamkan lembaga peradilan untuk membatalkan keputusan dari pemerintah maupun parlemen (Richard A. Posner, 2012 : 521). Terlepas dari pengelompokkan aliran dalam konsep judicial restraint, tujuan penerapan konsep ini adalah satu, yaitu agar lembaga peradilan berhati-hati dalam menggunakan kewenangannya untuk menguji suatu kebijakan (Richard A. Posner, 1966 : 314-334). Selanjutnya Kelsen membedakan peranan parlemen dan MK dalam membuat hukum. Parlemen adalah positive legislators. Parlemen memiliki kewenangan untuk membuat aturan hukum secara bebas berdasarkan rujukan kebijakan pilihannya yang hanya dibatasi oleh konstitusi. Sedangkan MK adalah negative legislators dimana kewenangannya terbatas pada pembatalan keberlakuan UU yang bertentangan dengan konstitusi. Kelsen membedakan peran parlemen dan MK dengan didasarkan pada tiadanya ketentuan hak konstitusional yang dapat ditegakkan. Berdasarkan asumsi Kelsen bahwa terdapat potensi yang berbahaya bila hak menjadi dasar pengujian suatu peraturan. Dalam upayanya menelaah lingkup dari hak-hak tersebut, MK akan menjadi omnipotent superlegislators. Akan tetapi, peringatan Kelsen ini diabaikan oleh pengikutnya sendiri. Akibatnya, sebagaimana pengamatan Stone Sweet “... constitutional judges have become positive legislators to the extent that they, in fact, protect rights.” (Alec Stone Sweet, 2007 : 84). Di dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yakni dibutuhkan adanya partisipasi masyarakat yang lebih. Dengan setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu: pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas. Pada dasarnya, penyelenggara negara memang memiliki kewenangan dalam melahirkan suatu peraturan perundangan-undangan dalam rangka merubah tatanan dan tertib sosial yang dikehendaki oleh negara. Tetapi tidak bisa serta merta melahirkan begitu saja dengan mengedepankan pembangunan tanpa mempertimbangkan kebutuhan hukum masyarakat. Pembentukan undang-undang tentu menjadi bagian dari aktivitas dalam mengatur masyarakat yang terdiri dari atas gabungan individu-individu manusia dengan segala dimensinya (Satjipto Rahardjo, 1998:3-5). Dalam pembangunan terdapat hal-hal yang harus dipelihara dan dilindungi, di lain pihak hukum diperlukan untuk menciptakan pola-pola yang sesuai dengan pembangunan dan agar perubahan yang diakibatkan oleh pembangunan berjalan dengan tertib dan teratur (Otje Salman, 1993:1-2). Perkembangan globalisasi menuntut pemerintah menyiapkan diri dalam segala hal. Terutama menyiapkan kebijakan dalam rangka meningkatkan pembangunan. Regulasi yang dibangun harus mampu menyeimbangkan berbagai kepentingan. Pembangunan nasional yang dilancarkan negara pada hakikatnya merupakan usaha moderenisasi dalam berbagai bidang kehidupan. Kondisi ini dapat diartikan sebagai suatu usaha transformasi total dari pola kehidupan tradisional kepada pola kehidupan moderen sesuai dengan kemajuan jaman serta didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam rangka mencapai sasaran pembangunan tersebut, hukum harus menampakkan perannya (Asip Suyadi, 2018 : 9). Era persaingan global memaksa semua negara untuk berlomba membangun dan memperkuat sistem perekonomian masing-masing. Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berjuang menarik investasi sebesar-besarnya untuk membangun sistem perekonomian nasional menghadapi tantangan yang sama di tengah persaingan tersebut (Sunaryati Hartono, 1996 : 12). Dalam rangka merespon tantangan tersebut pemerintah Indonesia secara terus-menerus berupaya untuk menaikkan peringkat kemudahan berusaha (bpkm.go.id., 5 Desember 2020). UU Cipta Kerja menganut inisiatif hukum dan pembangunan terutama berbentuk transplantasi institusi dan kode hukum barat ke negara berkembang, bekerja untuk mendirikan pendidikan hukum dan organisasi profesi berbasis pada model barat. Inisiatif ini dengan cepat dilihat sebagai kegagalan. Elite akan mengkooptasi hukum atau merusak reformasi hukum yang mengancam untuk melemahkan kekuasaan mereka, korupsi mewabah di kalangan pejabat hukum, hukum institusi tidak berfungsi, dan kode hukum hanya sedikit dari kata-kata di atas kertas (Brian Z Tamanaha, 2011:211). Brian Z Tamanaha mengatakan bahwa: Many who write on law and development appear to consider it a "field." "With a recognizable set of activities that make up the rule-of-law assistance domain," Carothers writes, "rule-of-law assistance has taken on the character of a coherent field of aid." Conceiving of law and development as a field, I will argue, is a conceptual mistake that perpetuates confusion. The multitude of countries around the world targeted for law and development projects differ radically from one another. No uniquely unifying basis exists upon which to construct a "field"; there is no way to draw conceptual boundaries to delimit it. Law and development work is more aptly described as an agglomeration of projects advanced by motivated actors and supported by external funding. Law and development activities are driven and shaped by the flow of money that supports it and by the agendas of the people who secure this funding (Brian Z Tamanaha, 2011:220). Mengenai fungsi hukum dalam pembangunan nasional yang digambarkan dengan ungkapan “sebagai sarana pembaharuan masyarakat atau sebagai sarana pembangunan” dapat secara singkat dikemukakan pokok-pokok pikiran sebagai berikut: Pertama, bahwa hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat didasarkan atas anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaharuan itu merupakan sesuatu yang diinginkan atau bahkan dipandang (mutlak) perlu. Kedua, bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan. Kedua fungsi tersebut diharapkan dapat dilakukan oleh hukum di samping fungsinya yang tradisional, yakni untuk menjamin adanya kepastian dan ketertiban (Mochtar Kusumaatmadja, 2002:87-88). Selain itu, teori hukum pembangunan pasca reformasi akan memiliki daya laku yang efektif di saat masyarakat terlibat dan ikut serta dalam proses penyusunan suatu peraturan perundang-undangan dan aktif menyuarakan hak-haknya dalam peraturan perundang-undangan tersebut (Wahyu Nugroho, 2017:374). Karena aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat merupakan salah satu alasan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf (e) UU PPP bahwa materi muatan yang harus diatur melalui UU harus disesuaikan dengan pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Putusan MK dengan Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 merupakan putusan yang dilandasi dengan sikap menahan diri (judicial restraint). Judicial restraint yaitu strategi yang diterapkan oleh MK untuk mengurangi ketegangan politik dengan lembaga negara lain adalah dengan menunda keberlakuan putusan. Mahkamah Konstitusi memberikan putusan dengan menunda berlakunya putusan untuk memberikan waktu bagi parlemen dan pemerintah untuk memperbaiki kebijakannya.
Agung Susanto, S.H. (Mahasiswa Magister Ilmu Hukum, Universitas Gadjah Mada)
Penulis
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu
Dea Aura Aprilia