Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) akhir-akhir ini membuat heboh publik khususnya bagi kalangan pekerja. Kehebohan tersebut karena Menaker mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (Permenaker 2/2022). Permen tersebut menghebohkan karena substansi atau materi pengaturannya menimbulkan pro dan kontra, terutama tentang tata cara pembayaran Jaminan Hari Tua (JHT). Pasal 2 Permenaker 2/2022 menyatakan bahwa pembayaran JHT dapat dilakukan apabila (a) mencapai usia pensiun; (b) mengalami cacat total tetap; atau (c) meninggal dunia. Terkait dengan yang dimaksud usia pensiun menurut Pasal 3 Permenaker 2/2022 yaitu saat usia mencapai 56 tahun. Artinya pembayaran JHT dapat dilakukan saat pekerja telah mencapai usia pensiun (56 tahun). Kecuali mengalami cacat total atau meninggal, maka JHT dapat dibayarkan tanpa menunggu usia pensiun. Pembayaran JHT yang harus menunggu usia pensiun terlebih dahulu, membuat kalangan pekerja merespon secara kuat. Pekerja yang mayoritas adalah peserta JHT banyak yang tidak sepakat dengan adanya Permenaker 2/2022. Salah satu alasannya adalah bahwa uang JHT yang ada dan dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan merupakan hak penerima kerja (pekerja). Uang JHT diambil dari iuran pekerja dan pemberi kerja. Logikanya, uang JHT tersebut dapat diambil kapan saja ketika pekerja sudah tidak lagi bekerja. Tanpa harus menunggu usia pensiun. Apalagi jika pekerja mengundurkan diri atau mengalami pemutusan hubungan kerja sebelum usia pensiun. Pekerja dapat membutuhkan uang JHT sebagai modal atau keperluan lain setelah tidak lagi bekerja. Logika tersebut yang membuat salah satu alasan pekerja menolak Permenaker 2/2022. Menaker juga menjawab terkait dengan adanya polemik pembayaran JHT. Menaker melalui bawahannya menyatakan bahwa pembayaran JHT di usia pensiun bertujuan agar ada jaminan untuk hari tua. Dana JHT diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pekerja setelah pensiun. Jawaban tersebut selaras dengan konsideran menimbang huruf (a) Permenaker 2/2022 yang menyatakan bahwa manfaat jaminan hari tua diberikan dengan tujuan untuk menjamin agar peserta menerima uang tunai jika memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Jawaban dari pihak Menaker dapat dikatakan masih bersifat normatif. Pendapat pekerja dan pihak Menaker tersebut jelas sekali belum menemukan titik temu kesamaan. Dua pendapat di atas juga dapat dikatakan benar semua jika dilihat dari masing-masing perspektif. Pendapat dari pekerja yang logis tersebut tentu tidak dapat disalahkan. Hal tersebut karena pada dasarnya JHT adalah hak dari pekerja. Begitu juga dengan pendapat dari pihak Menaker yang tentu dianggap benar dari filosofi dan definisi JHT. Namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa Permenaker 2/2022 harus diterbitkan sehingga menjadi polemik? Dahlan Iskan dalam tulisannya di Disway.id menyatakan bahwa Permenaker 2/2022 tersebut memang harus dibuat. Hal itu karena Permenaker 2/2022 merupakan amanat dari Undang-Undang Ketenagakerjaan (maksudnya Sistem Jaminan Sosial Nasional). Jadi pembentukan peraturan tentang pembayaran JHT, kata Dahlan Iskan hanya menunggu waktu saja. Jika seperti itu, mengapa Permenaker 2/2022 dalam konsideran mengingat (hukum) tidak menyebutkan Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional sebagai dasar hukum pembentukan Permenaker 2/2022. Bahkan undang-undang yang terkait dengan pekerja atau JHT juga tidak ada. Permenaker 2/2022 dalam konsideran mengingat hanya menyebutkan satu undang-undang saja yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Undang-undang tersebut jelas mengatur terkait dengan kementerian negara, tidak ada urusan yang mendasar dengan JHT. Karena Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara tentu berkaitan dengan pengaturan tentang Kementerian Negara. Permenaker 2/2022 secara kuat hanya berdasar dari amanat Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (PP JHT). PP JHT tersebut yang menjadi cantolan utama dari Permenaker 2/2022. PP JHT dibentuk karena amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). Secara yuridis Permenaker 2/2022 telah sesuai dengan amanat Pasal 35 ayat (2) UU SJSN, yang menyatakan Jaminan hari tua diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin agar peserta menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Artinya pembentukan Permenaker 2/2022 untuk memenuhi amanat peraturan perundang-undangan di atasnya. Hal ini tentu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3). Salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan. Asas tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf c UU P3. Jadi pembentukan Permenaker 2/2022 dapat dikatakan telah memenuhi asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan dengan UU SJSN. Pertanyaannya adalah mengapa baru saat ini Pemerintah melalui Menaker melaksanakan amanat UU SJSN? Mengapa tidak dari dahulu saja dilaksanakan, jika memang merupakan amanat yang harus ditunaikan? Apakah selama ini Menaker tidak menjalankan amanat UU SJSN terkait pembayaran JHT? Pertanyaan tersebut yang akhirnya membuat kecurigaan, karena selama ini tidak ada polemik dalam pembayaran JHT, walaupun tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Satjipto Rahardjo dalam gagasan tentang hukum progresif pernah mengatakan bahwa hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Pernyataan tersebut dapat mempunyai arti bahwa hukum tidak boleh mengekang manusia apabila tidak mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Hukum harus mampu memberi keadilan dan kesejahteraan manusia. Jika hukum tidak mampu memberi keadilan dan kesejahteraan kepada manusia, maka hukum bukan hal yang tabu atau sakral untuk diubah agar dapat memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi manusia (Rahardjo, 2006: 154). Jika kita mendefinsikan manusia sebagai masyarakat, maka seperti yang Satjipto Rahardjo kemukakan menjadi hukum untuk masyarakat, bukan masyarakat untuk hukum. Mengakhiri polemik tentang pembayaran JHT dengan menggunakan teori hukum progresif dari Satjipto Rahardjo. Sebaiknya regulasi terkait dengan tata cara pembayaran JHT secara hierarki dari atas ke bawah harus diubah. Hal ini semata-mata agar hukum benar-benar untuk masyarakat dan pada akhirnya hukum untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Itulah yang dicita-citakan oleh kita semua termasuk pekerja dan pemerintah.
Ayon Diniyanto, S.H., M.H. (Dosen Jurusan Hukum Tata Negara IAIN Pekalongan)
Penulis
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu
Dea Aura Aprilia