Mahkamah Konstitusi kembali tidak dapat menerima permohonan uji materi Undang-Undang (judicial review) terkait dengan ambang batas pencalonan Presiden (presidential threshold). Hal itu jelas tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XIX/2021. Mahkamah Konstitusi dalam konklusinya menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan uji materi tentang presidential threshold. Akibatnya pokok permohonan dari Pemohon tidak dipertimbangkan oleh majelis. Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa yang mempunyai legal standing dalam judicial review aturan terkait presidential threshold adalah partai politik atau gabungan partai politik. Hal ini karena pencalonan Presiden dan Wakil Presiden adalah domain dari partai politik atau gabungan partai politik, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 6A ayat (2) yang menyatakan bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
Ketentuan tersebut yang menjadi salah satu alasan Mahkamah Konstitusi tidak menerima permohonan pemohon. Karena pemohon dalam perkara Nomor 70/PUU-XIX/2021 adalah perseorangan, bukan merupakan partai politik atau gabungan partai politik, sehingga dinyatakan tidak mempunyai legal standing. Putusan Mahkamah Konstitusi 70/PUU-XIX/2021 berisi judicial review Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Pasal 222 menyatakan bahwa “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”. Pasal 222 dianggap oleh pemohon bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XIX/2021 merupakan putusan ke 23 (dua puluh tiga) yang berkaitan dengan judicial review pengaturan presidential threshold. Menariknya, dari dua puluh tiga permohonan tentang presidential threshold, ada sembilan permohonan yang dinyatakan ditolak dan 14 (empat belas) dinyatakan tidak diterima. Menariknya lagi, seperti yang diungkapkan pemohon perkara Nomor 70/PUU-XIX/2021 dalam pokok permohonan mengemukakan bahwa Mahkamah Konstitusi berdasarkan 9 (sembilan) putusan yang ditolak setidaknya mempunyai dua argumen. Pertama, presidential threshold merupakan penguatan terhadap sistem pemerintahan presidensial. Presidential threshold dapat menyederhanakan partai politik. Presidential threshold diperlukan karena Presiden membutuhkan dukungan parlemen yang berasal dari partai politik. Kedua, presidential threshold merupakan suatu kebijakan hukum terbuka pembentuk Undang-Undang (open legal policy). Artinya pengaturan tentang ada tidaknya dan jumlah angka dalam presidential threshold merupakan kewenangan dari pembentuk Undang-Undang, dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang sampai dengan saat ini belum menyatakan presidential threshold inkonstitusional merupakan putusan yang konsisten. Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang sampai saat ini melegalkan presidential threshold secara konstitusional, sebenarnya dari aspek sistem ketatanegaraan perlu dikaji lebih mendalam. Terlebih seperti yang diuraikan oleh pemohon perkara Nomor 70/PUU-XIX/2021 yang dalam rangkuman terhadap beberapa putusan Mahkamah Konstitusi tentang presidential threshold dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi, salah satunya adalah penguatan sistem pemerintahan presidensial. Hal ini memang diamini oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUUXV/2017. Mahkamah Konstitusi dalam perimbangan hukum putusan tersebut salah satunya menyatakan secara tersirat bahwa presidential threshold adalah bagian dari penguatan sistem pemerintahan presidensial.
Pertanyaanya adalah apakah benar presidential threshold merupakan penguatan terhadap sistem pemerintahan presidensial? Penulis berargumen bahwa presidential threshold bukan penguatan terhadap sistem pemerintahan presidensial justru dapat memperlemah sistem pemerintahan presidensial. Hal ini sesuai dengan makna atau definisi dari sistem pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan adalah penyelenggaraan pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan dilakukan oleh kepala pemerintahan. Artinya pusat dari sistem pemerintahan adalah Presiden atau Perdana Menteri atau sebutan lain selaku Kepala Pemerintahan. Lebih jauh definisi sistem pemerintahan adalah hubungan antara cabang kekuasaan eksekutif (Pemerintah) dengan cabang kekuasaan lain seperti cabang kekuasaan legislatif (Asshiddiqie, 2005: 203-204). Di sini dapat dipahami bahwa sistem pemerintahan terkait erat dengan kepala pemerintahan dan merupakan hubungan cabang kekuasaan pemerintah dengan cabang kekuasaan lainnya.
Sistem pemerintahan sendiri setidaknya terdiri dari empat sistem yaitu (1) sistem pemerintahan presidensial; (2) sistem pemerintahan parlementer; (3) sistem pemerintahan campuran; dan (4) sistem pemerintahan collegial. Sistem pemerintahan presidensial merupakan sistem pemerintahan yang mempunyai hubungan setara antara presiden dengan parlemen (legislatif). Kedudukan dan kewenangan presiden setara dengan parlemen. Presiden tidak dapat didikte oleh parlemen. Begitu juga sebaliknya, Presiden tidak dapat mendikte parlemen. Hubungan yang setara secara horisontal ini membuat adanya pemisahan kekuasaan yang jelas. Kesetaraan tersebut juga membuat hubungan antara presiden dengan parlemen menjadi check and balances (Muhtada dan Diniyanto, 2018: 60-61).
Berangkat dari definisi tentang sistem pemerintahan presidensial seperti yang dikemukakan sebelumnya, maka agak janggal jika presidential threshold merupakan penguatan sistem pemerintahan presidensial. Padahal kita tahu dalam Pasal 222 UU Pemilu telah nyata bahwa syarat untuk diusulkan menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden harus oleh partai politik atau gabungan partai politik yang mempunyai suara 20% dari jumlah kursi di DPR atau 25% dari suara nasional Pemilu anggota DPR sebelumnya. Kondisi tersebut mau tidak mau harus berurusan dengan DPR sebagai parlemen Indonesia. Sangat sulit untuk tidak berurusan dengan parlemen, walaupun ada opsi 25% dari suara nasional partai politik atau gabungan partai politik. Pertanyaannya adalah apakah ada partai politik atau gabungan partai politik yang suaranya mencapai 25% secara nasional tidak mempunyai kursi di DPR? Kondisi tersebut sangat sulit untuk terjadi.
Melihat situasi tersebut, dapat dikatakan bahwa presidential threshold akan berhubungan erat dengan parlemen. Bahkan di awal pencalonan Presiden dan Wakil Presiden harus mendapat terlebih dahulu persetujuan dari parlemen yang dituangkan dalam partai politik. Karena seperti yang telah disinggung bahwa sangat sulit ada partai politik atau gabungan partai politik yang mendapatkan suara nasional 25% tidak mempunyai kursi di parlemen. Adanya syarat tersebut jelas sekali membuat calon Presiden dan Wakil Presiden tidak setara dengan parlemen. Kedudukan parlemen melalui partai politik atau gabungan partai politik sudah determinan atau dominan terlebih dahulu dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini tentu tidak sesuai dengan definisi atau makna dari sistem pemerintahan presidensial yang mensyaratkan adanya kesetaraan antara pemerintah dalam hal ini Presiden dengan parlemen.
Melihat adanya determinasi atau dominasi parlemen dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden melalui adanya presidential threshold. Kemudian juga adanya ketidaksetaraan hubungan di awal pencalonan Presiden dan Wakil Presiden karena presidential threshold. Penulis berkesimpulan dan berargumen bahwa presidential threshold merupakan pelemahan sistem pemerintahan presidensial. Calon Presiden dan Wakil Presiden sudah tidak setara di awal. Setelah terpilih dapat dimungkinkan terjadi ketidaksetaraan yang berkelanjutan, di mana parlemen determinan atau dominan terhadap Presiden. Kondisi ini yang sebenarnya tidak diharapkan dalam kerangka penguatan sistem pemerintahan presidensial.
Ayon Diniyanto, S.H., M.H. (Dosen Jurusan Hukum Tata Negara IAIN Pekalongan)
Penulis
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu
Dea Aura Aprilia